Oleh : Alfian Hamzah
Vila Serdadu
TENTARA di Aceh tinggal di pos-pos sepanjang jalan provinsi. Jaraknya
cukup rapat. Kendati belum dapat menyamai kerapatan pos tentara di Timor
Timur dulu. Di sana, setiap tiga desa ada satu pos tentara. Sementara
di Aceh ini, satu pos kadang bertugas mengamankan belasan desa.
Tiap pos mempunyai nama tersendiri. Dalam percakapan radio, pasukan Rajawali di Aceh Barat menamai posnya dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan langit seperti Halilintar dan Pelangi. Yang pasukan teritorial meminjam nama hewan penghuni kebun binatang seperti Serigala, Cobra, dan Arwana.
Sekeliling pos dibalut dengan kotak pengaman. Ada yang terbuat dari papan dan sela-selanya diuruk tanah uruk atau pasir. Tingginya rata-rata satu meter dengan ketebalan setengah meter. Selama bukan mortir atau granat, ia mampu meredam laju proyektil apa saja.
Saya pernah melihat pos tentara yang dipagari dengan potongan-potongan batang kelapa setinggi dua meter. Sudah dipagari dengan batang kelapa luar dalam, sela-sela kotak ditimbuni pasir pula.
Awalnya, saya kagum dengan kekuatan orang pos. Memancang batang pohon kelapa sedalam siku dan menguruki sela-selanya bukan pekerjaan ringan. Tapi setelah melihat proses pembukaan sebuah pos, saya jadi tahu kalau selalu ada keringat warga yang ikut bercucuran. Makin besar kotaknya, makin banyak peluh yang menetes. Orang pos kadang mengerahkan warga desa untuk itu.
Dengan segala kekurangannya, serdadu Indonesia memilih menggunakan kata "vila" untuk menyebut pos yang mereka tinggali. Kalau "vila" sudah diberi kotak pengaman, mereka menetapkan di bagian mana pos jaga didirikan dan lalu menyusun alarm stealing. Denah ini berisi ilustrasi kemungkinan dari mana datangnya serangan.
Urusan "vila" beres, perhatian tentara beralih ke kendaraan. Ini bukan mengada-ada. Hampir semua tentara di Aceh pernah merasakan penghadangan di atas kendaraan. Yang teranyar terjadi medio Oktober silam, menimpa dua kompi Kopassus dari Grup II Solo yang melintas di Aceh Barat untuk penugasan di Aceh Selatan.
Namanya pasukan baru datang ke Aceh (saya kira ini pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta sana), kesiagaan mereka sudah terlihat dari pakaiannya. Masing-masing mengenakan helm dan rompi baja dengan motif darah mengalir. Khas Kopassus. Di bak mobil, laras-laras menonjol kaku ke segala arah kemungkinan datangnya tembakan.
Tapi GAM sepertinya tak ambil pusing. Saat konvoi melintas di kawasan-sering-penghadangan Krueng No, GAM memuntahkan 11-12 kali amunisi AK-47. Orang Komando membalasnya dengan menembakkan 10 biji TP. Tak ada lagi AK yang menyalak dari kejauhan sana.
Mereka memang tidak dihadang, hanya diganggu. Ini sambutan khas GAM untuk setiap pasukan yang baru datang. Dan gangguan itu sudah cukup berkesan bagi pasukan yang belum sehari menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah.
Sekitar dua jam setelahnya, saat konvoi melintas di Calang, seorang serdadu menertawakan rekan-rekannya yang "tinggal helmnya saja yang kelihatan dari jalan." Saya kira dia juga menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kecemasannya saat dihadang GAM pertama kali datang ke Aceh.
Seringnya penghadangan membuat tentara seolah berlomba melapisi kendaraannya dengan baja. Ada banyak macam kendaraan tentara di Aceh. Yang paling sering saya naiki adalah truk buatan Mercedes-Benz. Mobil ini bekerja dengan sistem hidrolik. Kalau tekanan angin di mesin kurang, dia jadi onggokan besi. Tak bisa diapa-apakan. Stir, gas, stater .... semuanya terkunci.
Panjang bak truk lima meter, cukup untuk mengangkat satu peleton serdadu. Bila ditambah dengan panjang kabin sopirnya, totalnya mencapai tujuh meter dengan lebar 2,5 meter. Dari tanah hingga terpal truk, tingginya ada tiga meter. Baknya sulit dinaiki. Tingginya sedada orang dewasa. Kalau di bak tidak ada pijakan kaki, Anda perlu berpegang pada seseorang di atas untuk naik.
Setelah dilapisi baja, berat mobil bertambah dua kali lipat menjadi sekitar 10 ton. Ban cepat kalah. Truk jadi sukar bermanuver di jalan sempit.
Saya sempat melihat metamorfosis sebuah truk Mercedes-Benz yang dari Jawa hanya diselimuti baja tiga milimeter. Baja itu tak cukup tebal. Jika mobil dalam keadaan diam, dia bisa dijebol proyektil AK-47 dari jarak sekitar 200 meter.
Setelah di Aceh, pelan-pelan ketebalan baja truk ditambah. Dari tiga milimeter menjadi delapan milimeter tiga bulan kemudian. Semua bagian vital truk seperti tangki bahan bakar, ruang mesin, dan tangki angin dilapisi baja. Bahkan seandainya ban bisa dibaja, saya yakin itu juga akan dilakukan.
Baja yang paling tebal biasanya dipasang di kabin sopir. Saya lihat ada yang sampai 10 milimeter. Kalau sudah dibaja, truk seperti ganti kulit saja. Orang Jerman yang membuatnya mungkin akan sukar mengenalinya lagi.
Persoalan baru bagi orang di kabin. Pembajaan hanya menyisakan sedikit lubang bagi sopir dan pembantu sopir untuk mengintip jalan di depan. Lubang intip hanya seukuran dua batu bata disambung. Masing-masing satu di depan sopir dan keneknya. Kadang lubang intip sopir dimodeli seperti alis. Tapi tetap saja, pandangan mereka terbatas. Sopir dan keneknya tak dapat melihat jarak tiga meter dari bumper. Untuk melihat kaca spion kanan, sopir di kiri hanya bisa mengandalkan mata kenek. Pokoknya, kenek tidak bisa berleha-leha.
Persoalan lainnya jika ada kerusakan di bagian radiator depan, montir akan susah menjamah bagian-bagian dalam. Geraknya dibatasi lempeng baja yang hanya bisa dilepas jika dipotong dengan las. Sebuah pekerjaan mahabesar. Sirkulasi udara di dalam kabin ikut rusak karena baja itu. Sopir dan kenek kegerahan setiap kali jalan siang.
Selain Mercedes-Benz, tentara punya truk Unimog dan Reo. Dari segi perwajahan kabin, Mercedes yang potongannya kaku seperti balok kalah dari Unimog. Yang terakhir seperti peranakan biawak. Mulutnya panjang. Segala jenis medan, truk ini jalan menanjak oke, lumpur dan sungai sepinggang boleh.
Dari ujung ke ujung, panjang Unimog sekitar lima meter. Dimuati 20 serdadu dia kelimpungan.
Kalau jalan di sawah, Unimog meliuk-liuk seperti biawak. Pernya pakai per keong. Persenelannya delapan. Sekali dorong gigi, mesti empat supaya melaju. Seperti Mercedes, mesinnya mengandalkan tekanan angin. Macet sedikit di situ, berabe urusannya.
Banyak tentara lebih suka naik Unimog karena baknya tinggi, hampir 1,5 meter ketimbang Mercedes yang baknya hanya setinggi pinggang orang dewasa. Nah soal tinggi bak, Reo lebih gila lagi. Ini mobil dilihat dari jarak 10 meter seperti banteng saja. Bannya 10 biji. Delapan roda belakang dan dua di depan. Untuk pergerakan pasukan dalam jumlah besar, dia dan Mercedes bisa diandalkan. Beda dengan Mercedes, setir Reo di kanan. Produksi Korea.
Supaya tak berkarat, lempengan baja tambahan itu dicat. Umumnya hijau. Ada yang warna daun nangka tua ada juga hijau tahi sapi. Yang Reo biasanya dicat hitam. Kalau ada serdadu yang pintar menggambar, truk-truk itu biasanya dilukis dan diberi nama. Pasukan Rajawali, misalnya, menggambar burung Rajawali besar-besar. Orang Kopassus mengecat kabin mobilnya dengan warna bendera republik ini: merah putih. Ada juga yang menggambar kaligrafi berisi penggalan ayat-ayat al-Quran.
Kalau akan ada pergeseran pasukan (serpas), tentara biasanya pilih-pilih mobil. Biasanya mereka akan melirik mobil yang paling tebal bajanya. Kalau mobil yang tersedia ketebalan bajanya sama, mereka akan mencari yang baknya dicor. Ini memang favorit: truk yang sudah dibaja lalu dicor lagi. Biasanya, baja paling luar ukurannya empat milimeter dan selang sejengkal ke dalam ada pelat baja yang ketebalannya sama. Ruang di antaranya itu yang dicor. Tebal bak bisa membengkak hingga 10 centimeter. Saya kira dihajar GLM pun untung kalau baknya bisa lobang.
GAM juga kalau mau menghadang pilih-pilih. Favorit mereka serdadu yang menggunakan truk Toyota Dyna. Ini mobil orang Korem yang kadang dipinjamkan ke pasukan. Tak dibaja. Ada mungkin lima kali saya naik mobil ini. Semua serdadu dari semua jenis pasukan di Aceh akan mikir 100 kali kalau disuruh komandannya naik mobil ini. "Siapa mau setor nyawa di mobil krupuk," kata seorang prajurit Kostrad dari Batalyon 433, Makassar. Tapi kalau sudah perintah, mobil kerupuk itu tetap digunakan. Biasanya, tentara berebut tempat di pojok. "Biar kalau ada apa-apa langsung loncat."
GAM kadang pintar kalau menghadang truk yang sudah dibaja. Biasanya, mereka akan mengarahkan tembakan ke pintu mobil. Jadi serdadu terkurung di bak. Kalau ada tembakan, biar bak mobil sudah dibaja dan dicor 10 centimeter, tetap saja seisi bak tanam kepala. Tiarap, mendekat ke sisi bak asal tembakan.
Tapi GAM akan mikir 100 kali jika akan menghadang truk Mercedes atau Reo atau Unimog yang sudah dipasangi Senapan Mesin Berat (SMB). Di Aceh Barat, saya lihat baru Yonif Linud 305/Kostrad 305 (saya kira ini juga pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta) yang melengkapi beberapa truknya dengan SMB.
Kalau Anda menonton film perang, Anda mungkin pernah melihat sejenis senjata yang dipakai menembaki pesawat terbang. Nah, itu SMB. Dia dipasang di bak dan dilengkapi engsel sehingga bisa diputar-putar.
Panjang larasnya lebih semeter berdiameter sebesar botol kecap. Saya belum pernah mendengar bunyinya. Tapi saya kira akan memekakkan telinga. Panjang amunisinya saja sudah satu jengkal orang dewasa. Selongsongnya sebesar jempol kaki sementara proyektilnya seukuran kelingking dengan ujung lebih runcing. Kalau ada GAM lenggang kangkung dua kilometer di depan sana, peluru itu bisa membuat lobang seukuran bola tenis di dadanya.
GAM juga kemungkinan besar mengurungkan niatnya menghadang konvoi yang di situ ada mobil jenis Rantis (kendaraan perintis). Potongannya mirip-mirip Hornet. Komandan biasanya naik mobil ini. Setahu saya, hanya Kopassus yang punya.
Di atap Rantis ada barang mematikan: Automatic Grenade Launcher (AGL). Barangnya kecil saja, panjangnya paling semeter. Tapi yang keluar dari larasnya adalah granat yang sama yang dipakai di SPG. Keluarnya bukan satu-satu, tapi otomatis.
Kalau AGL sudah menyalak, banyak serdadu yang santai-santai. Yang mau dan punya rokok merokok. Yang bawa ganja melinting "rempah Aceh" itu. Mengisap rokok dalam-dalam sambil menembak, menurut beberapa serdadu, nikmatnya sukar dilukiskan.
Sebenarnya, tak banyak truk yang dibawa pasukan kita ke Aceh. Di Aceh Barat misalnya, di luar mobil 'kerupuk' Korem, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Ambil contoh Batalyon 521 hanya mengandalkan empat biji truk Mercedes untuk membantu mobilisasi pasukan. Yang pasukan gerak, seperti Kostrad dan Kopassus, setiap kompinya hanya punya satu kendaraan.
Reo, Unimog, dan Mercedes kalau makan solar naudzubillah. Satu liter hanya tahan lima kilometer. Untuk Mercedes isi tangkinya bisa sampai 130 liter. Sementara Jakarta setiap bulannya hanya sanggup menyediakan 200 liter solar untuk setiap truk. Jika tangki diisi penuh dan dipakai sekali Dorlok (Pendorongan Logistik), konvoi memang bisa sampai Lambaro tapi tidak bisa kembali ke Meulaboh.
Kita sepertinya harus berterima kasih pada perusahaan swasta di Aceh Barat yang menggratiskan cadangan solarnya untuk truk tentara kita. PT Socfin Indonesia misalnya. Perusahaan kelapa sawit ini setiap bulannya menyediakan tiga sampai enam ton solar untuk tentara dan polisi kita di sana. Dan bahkan menyediakan puluhan lembar lempengan baja dan membayari ongkos lasnya untuk truk serdadu Indonesia.
Lambaian Tangan
SATU-dua kali masuk kolam, tak ada ikan yang berhasil dijaring. Tak ada kontak tembak dengan GAM. Beberapa serdadu mulai percaya kalau setiap wartawan ikut pasti tak ada hasil.
Saya tak ambil pusing. Saya selalu mengikuti ke mana saja truk pergi. Seorang serdadu Kopassus geleng-geleng kepala melihat saya seperti gila naik truk.
"Siapa tahu ada tembakan," kata saya menjawab keheranannya.
"Tuh kan, doanya saja sudah jelek," Dalam hati saya malu. Bagaimana kalau benar terjadi penghadangan dan ada serdadu yang kena?
Roda truk tentara yang mendukung operasi pasukan di Aceh Barat tiap hari berputar. Kadang, dalam sehari, truk singgah di empat sampai lima pos yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan. Truk selalu dalam pengawalan, minimal lima sampai enam serdadu berjaga di bak.
Bepergian dengan truk tentara membutuhkan fisik yang prima dan semangat besar. Kalau badan loyo, rawan masuk angin. Kalau terlalu sering berdiri di truk, orang bisa turun bero. Paling tidak, mata Anda akan memerah dan rambut akan kusam disiram debu dan angin jalan.
Anda akan sering melihat lambaian tangan penduduk di sepanjang jalan. Paling tidak mereka akan melempar senyum. Anak-anak sekolah yang lagi bermain di halaman akan menghentikan permainannya dan berdesak-desakan di pagar sekolahnya hanya untuk melambaikan tangan kepada orang-orang yang, sebenarnya, tak mereka kenal. Ibu-ibu yang menggendong anak kadang setengah berlari keluar rumah agar tak kehilangan kesempatan.
Orang-orang yang di atas truk menikmati pemandangan itu. Mereka selalu membalas dengan tangan kanan. Orang Aceh akan tersinggung berat jika diberi lambaian tangan kiri. Pamali. Tapi biasanya tentara kita yang hiperaktif melambai-lambaikan tangan kalau ada anak dara yang tersenyum di teras rumah.
Tapi ada juga yang acuh melihat anak-anak sekolah. Malah ada yang sinis. "Anak-anak Aceh," kata seorang serdadu, "Hari ini melambaikan tangan tapi kalau besar membidikkan laras ke kita."
Dan kalau truk sudah jalan, rasanya tak ada lagi kendaraan di jalan. Setiap kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan akan menepi di bahu jalan. Tidak peduli apa jenisnya: truk Fuso, L-300, kereta (istilah orang Aceh untuk sepeda motor), motor (kendaraan roda empat), becak motor, dan lain-lain. Semua menepi. Mempersilakan truk bergerak dulu.
Truk tentara kita biasanya melaju kencang. Di tikungan, kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan, kadang panik lalu buru-buru menepi hingga hampir nyungsep.
Seringkali saya geli melihat adegan-adegan itu. "Jangan ditulis mereka takut sama kita," kata seorang sopir berpangkat prajurit kepala memperingatkan, "Mereka itu melihat kepentingan kita lebih besar sehingga pantas didahulukan."
Di atas truk, ada banyak hal yang harus diwaspadai. Yang ringan-ringan: percikan air atau debu jalan. Kalau aspal basah habis diguyur hujan misalnya, putaran roda truk akan mengangkat air ke atas bak. Mereka yang berdiri hingga 1,5 meter dari pintu truk akan terkena percikannya. Kalau sekadar air masih untung. Tapi kalau kebetulan ban menggilas tahi sapi .....
Kedua, tentu saja peluru. Perhatian tentara lebih tertuju pada barang satu ini. Ada kepercayaan di kalangan serdadu Indonesia kalau peluru di Aceh punya Nomor Registrasi Pokok (NRP). Ini jelas merepotkan. Setiap tentara punya NRP tersendiri, terdiri dari sederet angka yang antara lain bisa diketahui kapan seorang serdadu mulai ikut dinas militer berikut tanggal kelahirannya.
Jika sudah di atas truk lalu ada informasi kalau truk akan dihadang, bukan main tegangnya. Nyaris tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Kadang ada yang mencoba mengendorkan ketegangan dengan bersenandung sambil iseng melambai-lambaikan tangan ke bukit-bukit rawan tak berpenghuni di sepanjang jalan. "Daaaaa, dadah sayaaaaaang. Slaaaaa, slamattt jaaaaalan."
Sebenarnya, tentara kita punya bekal yang cukup untuk tak terlampau mengkhawatirkan peluru yang punya NRP itu. Toh mereka sudah dibekali rompi dan mobil lapis baja.
Ada yang mencari tameng tambahan yang diyakini lebih sakti: jimat, dari yang berbentuk barang sampai yang berupa doa tertentu yang harus dirapal secara rutin. Yang percaya memakainya atau paling tidak menuliskan doa-doa itu di rompi baja yang digunakannya, diselipkan di dalam dompet, atau hanya dirapalkan setiap kali akan bergerak.
Ada juga yang sepertinya tak ambil pusing. Seorang serdadu Kopassus malah menuliskan kalimat ini di rompi bajanya: Now I'm Nothing. Dia sebenarnya masih muda. Kalau tak salah ingat kelahiran pada 1979. Saya kira dia termasuk di antara serdadu yang masa mudanya "habis dimakan ransel."
Tapi rasa-rasanya daerah Geurutee punya tuah tersendiri sehingga setiap serdadu, tak peduli dia dari kesatuan mana, ketar-ketir saat melintas di pegunungan yang memisahkan Aceh Besar dan Aceh Barat itu.
Geurutee terkenal dengan jalannya yang berliku. Delapan kilometer panjangnya. Persisnya dari kilometer 64 hingga kilometer 72 dari Banda Aceh arah Meulaboh.
Dari Banda Aceh, kendaraan menanjak sejak kilometer 64. Meliuk-liuk, bermanuver di lereng gunung hingga tiba di Peuyoh Geurutee di kilometer 68. Setelahnya, kendaraan akan bergerak menurun hingga Gle Miga terlihat di ujung kilometer 72.
Jika sempat berhenti di Puncak Geurutee itu, saya yakin Anda akan merasakan sensasi tersendiri. Dari situ, Anda dapat melihat gradasi air laut di bawah sana. Dari yang warnanya biru muda hingga biru pekat. Anda bahkan dapat menghitung berapa saf ombak yang menggulung.
Dari puncak yang sama, Anda juga bisa membayangkan seperti apa jadinya jika, semoga tidak, kendaraan Anda terperosok ke jurang di kanan Geurutee.
Serdadu yang pernah tugas di situ tak dapat memastikan berapa dalamnya jurang di kanan Geurutee. Mereka pernah mencoba menaksir kedalamannya dengan berlomba-lomba melempar baterai PRC yang sudah usang atau menggelundungkan batu besar. Tapi tak seorang pun yang berhasil melihat batu itu sampai ke permukaan laut.
Bukit-bukit di kiri Geurutee juga menyimpan pesona tersendiri. Orang harus mendongak untuk melihat jelas pepohonan apa yang ada di situ karena terjalnya bukit. Tinggi lereng bukit yang tertutupi pepohonan hijau itu mungkin sama dengan kedalaman jurang di bawah sana: 100 meter.
Dari semua pesonanya itu, Geurutee tetap menjadi mimpi buruk bagi setiap tentara yang pernah melintasinya. Nyaris setiap pasukan yang melintasinya pernah dihadang GAM. Bahkan seorang Komandan Korem Teuku Umar nyaris mengembuskan napas terakhir di Geurutee sekiranya proyektil AK-47 yang ditembakkan GAM dari bukit-bukit di kiri jalan menembus kaca Hornet yang ditumpanginya.
Dihadang di Geurutee memang menjengkelkan. Anda tak bisa membalas tembakan karena GAM bersembunyi di tebing-tebing curam. Mereka dapat melihat Anda dengan jelas. Mereka bebas membidik atau melempar granat ke kendaraan yang melintas. Atau tak usah granat, menggelindingkan batu dari atas sana pun Anda yang duduk di bak truk tentara bisa dipastikan akan celaka.
Sementara itu, Anda akan sukar mencari tempat perlindungan jika sudah dihadang. Mau lari ke kanan jurang. Mau lari ke kiri terbentur tebing terjal. Jalan satu-satunya merapatkan badan ke tebing. Tapi kadang kalau sudah disiram tembakan dari atas, biasanya ada yang pantatnya terserempet peluru.
Singkatnya, serdadu praktis hanya bisa berlindung dan berharap semoga GAM segera kehabisan amunisi. Setelah dua jam GAM kehabisan amunisi, baru si serdadu bisa meninggalkan Geurutee.
Menembak saat penghadangan di situ hampir-hampir mustahil. Laras Anda hanya bisa tegak lurus, menembak langit. Kalau hanya kaliber 5,56 yang tertembak ke langit tak terlalu masalah. Tapi kalau TP yang terlempar jadi persoalan besar. Kepala bisa hancur sendiri karena bisa dipastikan TP itu akan kembali ke tempat Anda berdiri.
"Tidak tahu gunung apa itu," kata seorang serdadu dari Makassar, "Selalunya kita takut kalau lewat." Ada juga serdadu yang patah arang dengan Geurutee. Dia berharap suatu waktu nanti GAM yang melakukan konvoi dan TNI yang menghadang.
Tapi belakangan ini pasukan yang melintas di situ tak terlampau khawatir lagi. Sudah ada satu peleton serdadu yang saban harinya mengamankan Geurutee dari kemungkinan disusupi GAM.
Kasihan mereka. Tak ada warga desa yang bisa diajak bergaul. Yang ada hanya deru ombak di bawah sana juga gunung batu dan jurang yang curam. Hiburan satu-satunya adalah melihat kendaraan yang melintas.
"Bukan GAM yang bikin kami kesulitan di sini. Tapi agas," keluh seorang serdadu. Agas sejenis nyamuk tapi badannya jauh lebih lebih ramping. Gigitannya? Alamak .... gatal luar biasa.
Dia selalu datang malam hari dan menyasar kepala dan muka. Makhluk satu itu bisa menembus shebo kendati kepala sudah dibungkus kelambu dan ditutup dengan sarung berlapis. Autan tak mampan. Sakti, cairan antiserangga pembagian TNI, juga impoten. Agas hanya bisa diusir dengan asap rokok.
Geurutee hanya satu di antara ratusan perbukitan di Aceh Barat yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan serdadu yang kebetulan berkendaraan. Dan tentara kita tak kehabisan akal. Agar pandangan tak terhalang dan cepat mengetahui gerak-gerik musuh, mereka menggunduli bukit-bukit tempat GAM sering melakukan penghadangan.
Saat saya bergabung dengan pasukan di Aceh Barat, penghadangan sudah jarang terjadi. Rajawali juga kian kesulitan menemukan "ikan di kolam." Dengar-dengar, GAM merapat ke desa. Menjadi orang desa. Sukar bagi serdadu Indonesia untuk membedakan siapa GAM siapa penduduk biasa kecuali ada informasi intelejen yang memadai.
Di Patek dulu, seorang serdadu gondok luar biasa setelah meminjamkan koreknya kepada seorang warga yang mau membakar rokok. Orang itu ternyata Abu Tausi, salah seorang dedengkot GAM di sana.
Intelijen termasuk di antara kelemahan mendasar pasukan TNI di Aceh.
Sebenarnya, sudah ada Satuan Gabungan Intelijen (SGI) bertanggung jawab untuk urusan itu. Saya sering menguping pembicaraan serdadu di radio dan mendengar "Solo Garut Irian" disebut, ya itulah SGI. Gabungan Sandi Yudha Kopassus dan intel Kostrad.
SGI masuk Aceh pada 1999. Mereka lebih dulu ditanam sebelum Jakarta mulai mengirim kembali pasukan pascapenarikan DOM.
Soal menyamar, SGI memang jagonya. Mereka dibebaskan untuk "berekspresi." Ada yang memilih berambut gondrong, ada yang bertampang ustaz atau kiai, ada yang menjadi petani, nelayan, penjual kacang, dan sebagainya.
Di sebuah acara syukuran pasukan Brigade Mobil-menyusul tewasnya Abu Arafah, salah seorang komandan GAM di Aceh Barat-saya bertemu dengan seorang bapak yang dari dandanannya saya kira camat setempat. Roman mukanya bersih. Sedikit jenggot dan kumis di wajahnya mengesankan orang yang berkecimpung di dalam urusan agama. Dia berpeci hitam dengan setelan jas safari. Senyumnya tak pernah lepas.
Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang letnan dua soal nama camat yang diajaknya berbicara. Serdadu itu tertawa terbahak-bahak. "Bang, dia mengira Abang camat di sini." Bapak itu hanya tersenyum. Dia ternyata komandannya SGI wilayah Calang.
Tapi penyamaran orang-orang SGI sepertinya kurang membuahkan hasil. Jarang-jarang ada pergerakan pasukan tempur dan teritorial yang didasari pada informasi orang SGI. Ada serdadu Indonesia yang bilang, orang SGI bisa apa saja di Aceh ini. Kecuali satu: bahasa Aceh.
Tiap pos mempunyai nama tersendiri. Dalam percakapan radio, pasukan Rajawali di Aceh Barat menamai posnya dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan langit seperti Halilintar dan Pelangi. Yang pasukan teritorial meminjam nama hewan penghuni kebun binatang seperti Serigala, Cobra, dan Arwana.
Sekeliling pos dibalut dengan kotak pengaman. Ada yang terbuat dari papan dan sela-selanya diuruk tanah uruk atau pasir. Tingginya rata-rata satu meter dengan ketebalan setengah meter. Selama bukan mortir atau granat, ia mampu meredam laju proyektil apa saja.
Saya pernah melihat pos tentara yang dipagari dengan potongan-potongan batang kelapa setinggi dua meter. Sudah dipagari dengan batang kelapa luar dalam, sela-sela kotak ditimbuni pasir pula.
Awalnya, saya kagum dengan kekuatan orang pos. Memancang batang pohon kelapa sedalam siku dan menguruki sela-selanya bukan pekerjaan ringan. Tapi setelah melihat proses pembukaan sebuah pos, saya jadi tahu kalau selalu ada keringat warga yang ikut bercucuran. Makin besar kotaknya, makin banyak peluh yang menetes. Orang pos kadang mengerahkan warga desa untuk itu.
Dengan segala kekurangannya, serdadu Indonesia memilih menggunakan kata "vila" untuk menyebut pos yang mereka tinggali. Kalau "vila" sudah diberi kotak pengaman, mereka menetapkan di bagian mana pos jaga didirikan dan lalu menyusun alarm stealing. Denah ini berisi ilustrasi kemungkinan dari mana datangnya serangan.
Urusan "vila" beres, perhatian tentara beralih ke kendaraan. Ini bukan mengada-ada. Hampir semua tentara di Aceh pernah merasakan penghadangan di atas kendaraan. Yang teranyar terjadi medio Oktober silam, menimpa dua kompi Kopassus dari Grup II Solo yang melintas di Aceh Barat untuk penugasan di Aceh Selatan.
Namanya pasukan baru datang ke Aceh (saya kira ini pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta sana), kesiagaan mereka sudah terlihat dari pakaiannya. Masing-masing mengenakan helm dan rompi baja dengan motif darah mengalir. Khas Kopassus. Di bak mobil, laras-laras menonjol kaku ke segala arah kemungkinan datangnya tembakan.
Tapi GAM sepertinya tak ambil pusing. Saat konvoi melintas di kawasan-sering-penghadangan Krueng No, GAM memuntahkan 11-12 kali amunisi AK-47. Orang Komando membalasnya dengan menembakkan 10 biji TP. Tak ada lagi AK yang menyalak dari kejauhan sana.
Mereka memang tidak dihadang, hanya diganggu. Ini sambutan khas GAM untuk setiap pasukan yang baru datang. Dan gangguan itu sudah cukup berkesan bagi pasukan yang belum sehari menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah.
Sekitar dua jam setelahnya, saat konvoi melintas di Calang, seorang serdadu menertawakan rekan-rekannya yang "tinggal helmnya saja yang kelihatan dari jalan." Saya kira dia juga menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kecemasannya saat dihadang GAM pertama kali datang ke Aceh.
Seringnya penghadangan membuat tentara seolah berlomba melapisi kendaraannya dengan baja. Ada banyak macam kendaraan tentara di Aceh. Yang paling sering saya naiki adalah truk buatan Mercedes-Benz. Mobil ini bekerja dengan sistem hidrolik. Kalau tekanan angin di mesin kurang, dia jadi onggokan besi. Tak bisa diapa-apakan. Stir, gas, stater .... semuanya terkunci.
Panjang bak truk lima meter, cukup untuk mengangkat satu peleton serdadu. Bila ditambah dengan panjang kabin sopirnya, totalnya mencapai tujuh meter dengan lebar 2,5 meter. Dari tanah hingga terpal truk, tingginya ada tiga meter. Baknya sulit dinaiki. Tingginya sedada orang dewasa. Kalau di bak tidak ada pijakan kaki, Anda perlu berpegang pada seseorang di atas untuk naik.
Setelah dilapisi baja, berat mobil bertambah dua kali lipat menjadi sekitar 10 ton. Ban cepat kalah. Truk jadi sukar bermanuver di jalan sempit.
Saya sempat melihat metamorfosis sebuah truk Mercedes-Benz yang dari Jawa hanya diselimuti baja tiga milimeter. Baja itu tak cukup tebal. Jika mobil dalam keadaan diam, dia bisa dijebol proyektil AK-47 dari jarak sekitar 200 meter.
Setelah di Aceh, pelan-pelan ketebalan baja truk ditambah. Dari tiga milimeter menjadi delapan milimeter tiga bulan kemudian. Semua bagian vital truk seperti tangki bahan bakar, ruang mesin, dan tangki angin dilapisi baja. Bahkan seandainya ban bisa dibaja, saya yakin itu juga akan dilakukan.
Baja yang paling tebal biasanya dipasang di kabin sopir. Saya lihat ada yang sampai 10 milimeter. Kalau sudah dibaja, truk seperti ganti kulit saja. Orang Jerman yang membuatnya mungkin akan sukar mengenalinya lagi.
Persoalan baru bagi orang di kabin. Pembajaan hanya menyisakan sedikit lubang bagi sopir dan pembantu sopir untuk mengintip jalan di depan. Lubang intip hanya seukuran dua batu bata disambung. Masing-masing satu di depan sopir dan keneknya. Kadang lubang intip sopir dimodeli seperti alis. Tapi tetap saja, pandangan mereka terbatas. Sopir dan keneknya tak dapat melihat jarak tiga meter dari bumper. Untuk melihat kaca spion kanan, sopir di kiri hanya bisa mengandalkan mata kenek. Pokoknya, kenek tidak bisa berleha-leha.
Persoalan lainnya jika ada kerusakan di bagian radiator depan, montir akan susah menjamah bagian-bagian dalam. Geraknya dibatasi lempeng baja yang hanya bisa dilepas jika dipotong dengan las. Sebuah pekerjaan mahabesar. Sirkulasi udara di dalam kabin ikut rusak karena baja itu. Sopir dan kenek kegerahan setiap kali jalan siang.
Selain Mercedes-Benz, tentara punya truk Unimog dan Reo. Dari segi perwajahan kabin, Mercedes yang potongannya kaku seperti balok kalah dari Unimog. Yang terakhir seperti peranakan biawak. Mulutnya panjang. Segala jenis medan, truk ini jalan menanjak oke, lumpur dan sungai sepinggang boleh.
Dari ujung ke ujung, panjang Unimog sekitar lima meter. Dimuati 20 serdadu dia kelimpungan.
Kalau jalan di sawah, Unimog meliuk-liuk seperti biawak. Pernya pakai per keong. Persenelannya delapan. Sekali dorong gigi, mesti empat supaya melaju. Seperti Mercedes, mesinnya mengandalkan tekanan angin. Macet sedikit di situ, berabe urusannya.
Banyak tentara lebih suka naik Unimog karena baknya tinggi, hampir 1,5 meter ketimbang Mercedes yang baknya hanya setinggi pinggang orang dewasa. Nah soal tinggi bak, Reo lebih gila lagi. Ini mobil dilihat dari jarak 10 meter seperti banteng saja. Bannya 10 biji. Delapan roda belakang dan dua di depan. Untuk pergerakan pasukan dalam jumlah besar, dia dan Mercedes bisa diandalkan. Beda dengan Mercedes, setir Reo di kanan. Produksi Korea.
Supaya tak berkarat, lempengan baja tambahan itu dicat. Umumnya hijau. Ada yang warna daun nangka tua ada juga hijau tahi sapi. Yang Reo biasanya dicat hitam. Kalau ada serdadu yang pintar menggambar, truk-truk itu biasanya dilukis dan diberi nama. Pasukan Rajawali, misalnya, menggambar burung Rajawali besar-besar. Orang Kopassus mengecat kabin mobilnya dengan warna bendera republik ini: merah putih. Ada juga yang menggambar kaligrafi berisi penggalan ayat-ayat al-Quran.
Kalau akan ada pergeseran pasukan (serpas), tentara biasanya pilih-pilih mobil. Biasanya mereka akan melirik mobil yang paling tebal bajanya. Kalau mobil yang tersedia ketebalan bajanya sama, mereka akan mencari yang baknya dicor. Ini memang favorit: truk yang sudah dibaja lalu dicor lagi. Biasanya, baja paling luar ukurannya empat milimeter dan selang sejengkal ke dalam ada pelat baja yang ketebalannya sama. Ruang di antaranya itu yang dicor. Tebal bak bisa membengkak hingga 10 centimeter. Saya kira dihajar GLM pun untung kalau baknya bisa lobang.
GAM juga kalau mau menghadang pilih-pilih. Favorit mereka serdadu yang menggunakan truk Toyota Dyna. Ini mobil orang Korem yang kadang dipinjamkan ke pasukan. Tak dibaja. Ada mungkin lima kali saya naik mobil ini. Semua serdadu dari semua jenis pasukan di Aceh akan mikir 100 kali kalau disuruh komandannya naik mobil ini. "Siapa mau setor nyawa di mobil krupuk," kata seorang prajurit Kostrad dari Batalyon 433, Makassar. Tapi kalau sudah perintah, mobil kerupuk itu tetap digunakan. Biasanya, tentara berebut tempat di pojok. "Biar kalau ada apa-apa langsung loncat."
GAM kadang pintar kalau menghadang truk yang sudah dibaja. Biasanya, mereka akan mengarahkan tembakan ke pintu mobil. Jadi serdadu terkurung di bak. Kalau ada tembakan, biar bak mobil sudah dibaja dan dicor 10 centimeter, tetap saja seisi bak tanam kepala. Tiarap, mendekat ke sisi bak asal tembakan.
Tapi GAM akan mikir 100 kali jika akan menghadang truk Mercedes atau Reo atau Unimog yang sudah dipasangi Senapan Mesin Berat (SMB). Di Aceh Barat, saya lihat baru Yonif Linud 305/Kostrad 305 (saya kira ini juga pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta) yang melengkapi beberapa truknya dengan SMB.
Kalau Anda menonton film perang, Anda mungkin pernah melihat sejenis senjata yang dipakai menembaki pesawat terbang. Nah, itu SMB. Dia dipasang di bak dan dilengkapi engsel sehingga bisa diputar-putar.
Panjang larasnya lebih semeter berdiameter sebesar botol kecap. Saya belum pernah mendengar bunyinya. Tapi saya kira akan memekakkan telinga. Panjang amunisinya saja sudah satu jengkal orang dewasa. Selongsongnya sebesar jempol kaki sementara proyektilnya seukuran kelingking dengan ujung lebih runcing. Kalau ada GAM lenggang kangkung dua kilometer di depan sana, peluru itu bisa membuat lobang seukuran bola tenis di dadanya.
GAM juga kemungkinan besar mengurungkan niatnya menghadang konvoi yang di situ ada mobil jenis Rantis (kendaraan perintis). Potongannya mirip-mirip Hornet. Komandan biasanya naik mobil ini. Setahu saya, hanya Kopassus yang punya.
Di atap Rantis ada barang mematikan: Automatic Grenade Launcher (AGL). Barangnya kecil saja, panjangnya paling semeter. Tapi yang keluar dari larasnya adalah granat yang sama yang dipakai di SPG. Keluarnya bukan satu-satu, tapi otomatis.
Kalau AGL sudah menyalak, banyak serdadu yang santai-santai. Yang mau dan punya rokok merokok. Yang bawa ganja melinting "rempah Aceh" itu. Mengisap rokok dalam-dalam sambil menembak, menurut beberapa serdadu, nikmatnya sukar dilukiskan.
Sebenarnya, tak banyak truk yang dibawa pasukan kita ke Aceh. Di Aceh Barat misalnya, di luar mobil 'kerupuk' Korem, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Ambil contoh Batalyon 521 hanya mengandalkan empat biji truk Mercedes untuk membantu mobilisasi pasukan. Yang pasukan gerak, seperti Kostrad dan Kopassus, setiap kompinya hanya punya satu kendaraan.
Reo, Unimog, dan Mercedes kalau makan solar naudzubillah. Satu liter hanya tahan lima kilometer. Untuk Mercedes isi tangkinya bisa sampai 130 liter. Sementara Jakarta setiap bulannya hanya sanggup menyediakan 200 liter solar untuk setiap truk. Jika tangki diisi penuh dan dipakai sekali Dorlok (Pendorongan Logistik), konvoi memang bisa sampai Lambaro tapi tidak bisa kembali ke Meulaboh.
Kita sepertinya harus berterima kasih pada perusahaan swasta di Aceh Barat yang menggratiskan cadangan solarnya untuk truk tentara kita. PT Socfin Indonesia misalnya. Perusahaan kelapa sawit ini setiap bulannya menyediakan tiga sampai enam ton solar untuk tentara dan polisi kita di sana. Dan bahkan menyediakan puluhan lembar lempengan baja dan membayari ongkos lasnya untuk truk serdadu Indonesia.
Lambaian Tangan
SATU-dua kali masuk kolam, tak ada ikan yang berhasil dijaring. Tak ada kontak tembak dengan GAM. Beberapa serdadu mulai percaya kalau setiap wartawan ikut pasti tak ada hasil.
Saya tak ambil pusing. Saya selalu mengikuti ke mana saja truk pergi. Seorang serdadu Kopassus geleng-geleng kepala melihat saya seperti gila naik truk.
"Siapa tahu ada tembakan," kata saya menjawab keheranannya.
"Tuh kan, doanya saja sudah jelek," Dalam hati saya malu. Bagaimana kalau benar terjadi penghadangan dan ada serdadu yang kena?
Roda truk tentara yang mendukung operasi pasukan di Aceh Barat tiap hari berputar. Kadang, dalam sehari, truk singgah di empat sampai lima pos yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan. Truk selalu dalam pengawalan, minimal lima sampai enam serdadu berjaga di bak.
Bepergian dengan truk tentara membutuhkan fisik yang prima dan semangat besar. Kalau badan loyo, rawan masuk angin. Kalau terlalu sering berdiri di truk, orang bisa turun bero. Paling tidak, mata Anda akan memerah dan rambut akan kusam disiram debu dan angin jalan.
Anda akan sering melihat lambaian tangan penduduk di sepanjang jalan. Paling tidak mereka akan melempar senyum. Anak-anak sekolah yang lagi bermain di halaman akan menghentikan permainannya dan berdesak-desakan di pagar sekolahnya hanya untuk melambaikan tangan kepada orang-orang yang, sebenarnya, tak mereka kenal. Ibu-ibu yang menggendong anak kadang setengah berlari keluar rumah agar tak kehilangan kesempatan.
Orang-orang yang di atas truk menikmati pemandangan itu. Mereka selalu membalas dengan tangan kanan. Orang Aceh akan tersinggung berat jika diberi lambaian tangan kiri. Pamali. Tapi biasanya tentara kita yang hiperaktif melambai-lambaikan tangan kalau ada anak dara yang tersenyum di teras rumah.
Tapi ada juga yang acuh melihat anak-anak sekolah. Malah ada yang sinis. "Anak-anak Aceh," kata seorang serdadu, "Hari ini melambaikan tangan tapi kalau besar membidikkan laras ke kita."
Dan kalau truk sudah jalan, rasanya tak ada lagi kendaraan di jalan. Setiap kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan akan menepi di bahu jalan. Tidak peduli apa jenisnya: truk Fuso, L-300, kereta (istilah orang Aceh untuk sepeda motor), motor (kendaraan roda empat), becak motor, dan lain-lain. Semua menepi. Mempersilakan truk bergerak dulu.
Truk tentara kita biasanya melaju kencang. Di tikungan, kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan, kadang panik lalu buru-buru menepi hingga hampir nyungsep.
Seringkali saya geli melihat adegan-adegan itu. "Jangan ditulis mereka takut sama kita," kata seorang sopir berpangkat prajurit kepala memperingatkan, "Mereka itu melihat kepentingan kita lebih besar sehingga pantas didahulukan."
Di atas truk, ada banyak hal yang harus diwaspadai. Yang ringan-ringan: percikan air atau debu jalan. Kalau aspal basah habis diguyur hujan misalnya, putaran roda truk akan mengangkat air ke atas bak. Mereka yang berdiri hingga 1,5 meter dari pintu truk akan terkena percikannya. Kalau sekadar air masih untung. Tapi kalau kebetulan ban menggilas tahi sapi .....
Kedua, tentu saja peluru. Perhatian tentara lebih tertuju pada barang satu ini. Ada kepercayaan di kalangan serdadu Indonesia kalau peluru di Aceh punya Nomor Registrasi Pokok (NRP). Ini jelas merepotkan. Setiap tentara punya NRP tersendiri, terdiri dari sederet angka yang antara lain bisa diketahui kapan seorang serdadu mulai ikut dinas militer berikut tanggal kelahirannya.
Jika sudah di atas truk lalu ada informasi kalau truk akan dihadang, bukan main tegangnya. Nyaris tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Kadang ada yang mencoba mengendorkan ketegangan dengan bersenandung sambil iseng melambai-lambaikan tangan ke bukit-bukit rawan tak berpenghuni di sepanjang jalan. "Daaaaa, dadah sayaaaaaang. Slaaaaa, slamattt jaaaaalan."
Sebenarnya, tentara kita punya bekal yang cukup untuk tak terlampau mengkhawatirkan peluru yang punya NRP itu. Toh mereka sudah dibekali rompi dan mobil lapis baja.
Ada yang mencari tameng tambahan yang diyakini lebih sakti: jimat, dari yang berbentuk barang sampai yang berupa doa tertentu yang harus dirapal secara rutin. Yang percaya memakainya atau paling tidak menuliskan doa-doa itu di rompi baja yang digunakannya, diselipkan di dalam dompet, atau hanya dirapalkan setiap kali akan bergerak.
Ada juga yang sepertinya tak ambil pusing. Seorang serdadu Kopassus malah menuliskan kalimat ini di rompi bajanya: Now I'm Nothing. Dia sebenarnya masih muda. Kalau tak salah ingat kelahiran pada 1979. Saya kira dia termasuk di antara serdadu yang masa mudanya "habis dimakan ransel."
Tapi rasa-rasanya daerah Geurutee punya tuah tersendiri sehingga setiap serdadu, tak peduli dia dari kesatuan mana, ketar-ketir saat melintas di pegunungan yang memisahkan Aceh Besar dan Aceh Barat itu.
Geurutee terkenal dengan jalannya yang berliku. Delapan kilometer panjangnya. Persisnya dari kilometer 64 hingga kilometer 72 dari Banda Aceh arah Meulaboh.
Dari Banda Aceh, kendaraan menanjak sejak kilometer 64. Meliuk-liuk, bermanuver di lereng gunung hingga tiba di Peuyoh Geurutee di kilometer 68. Setelahnya, kendaraan akan bergerak menurun hingga Gle Miga terlihat di ujung kilometer 72.
Jika sempat berhenti di Puncak Geurutee itu, saya yakin Anda akan merasakan sensasi tersendiri. Dari situ, Anda dapat melihat gradasi air laut di bawah sana. Dari yang warnanya biru muda hingga biru pekat. Anda bahkan dapat menghitung berapa saf ombak yang menggulung.
Dari puncak yang sama, Anda juga bisa membayangkan seperti apa jadinya jika, semoga tidak, kendaraan Anda terperosok ke jurang di kanan Geurutee.
Serdadu yang pernah tugas di situ tak dapat memastikan berapa dalamnya jurang di kanan Geurutee. Mereka pernah mencoba menaksir kedalamannya dengan berlomba-lomba melempar baterai PRC yang sudah usang atau menggelundungkan batu besar. Tapi tak seorang pun yang berhasil melihat batu itu sampai ke permukaan laut.
Bukit-bukit di kiri Geurutee juga menyimpan pesona tersendiri. Orang harus mendongak untuk melihat jelas pepohonan apa yang ada di situ karena terjalnya bukit. Tinggi lereng bukit yang tertutupi pepohonan hijau itu mungkin sama dengan kedalaman jurang di bawah sana: 100 meter.
Dari semua pesonanya itu, Geurutee tetap menjadi mimpi buruk bagi setiap tentara yang pernah melintasinya. Nyaris setiap pasukan yang melintasinya pernah dihadang GAM. Bahkan seorang Komandan Korem Teuku Umar nyaris mengembuskan napas terakhir di Geurutee sekiranya proyektil AK-47 yang ditembakkan GAM dari bukit-bukit di kiri jalan menembus kaca Hornet yang ditumpanginya.
Dihadang di Geurutee memang menjengkelkan. Anda tak bisa membalas tembakan karena GAM bersembunyi di tebing-tebing curam. Mereka dapat melihat Anda dengan jelas. Mereka bebas membidik atau melempar granat ke kendaraan yang melintas. Atau tak usah granat, menggelindingkan batu dari atas sana pun Anda yang duduk di bak truk tentara bisa dipastikan akan celaka.
Sementara itu, Anda akan sukar mencari tempat perlindungan jika sudah dihadang. Mau lari ke kanan jurang. Mau lari ke kiri terbentur tebing terjal. Jalan satu-satunya merapatkan badan ke tebing. Tapi kadang kalau sudah disiram tembakan dari atas, biasanya ada yang pantatnya terserempet peluru.
Singkatnya, serdadu praktis hanya bisa berlindung dan berharap semoga GAM segera kehabisan amunisi. Setelah dua jam GAM kehabisan amunisi, baru si serdadu bisa meninggalkan Geurutee.
Menembak saat penghadangan di situ hampir-hampir mustahil. Laras Anda hanya bisa tegak lurus, menembak langit. Kalau hanya kaliber 5,56 yang tertembak ke langit tak terlalu masalah. Tapi kalau TP yang terlempar jadi persoalan besar. Kepala bisa hancur sendiri karena bisa dipastikan TP itu akan kembali ke tempat Anda berdiri.
"Tidak tahu gunung apa itu," kata seorang serdadu dari Makassar, "Selalunya kita takut kalau lewat." Ada juga serdadu yang patah arang dengan Geurutee. Dia berharap suatu waktu nanti GAM yang melakukan konvoi dan TNI yang menghadang.
Tapi belakangan ini pasukan yang melintas di situ tak terlampau khawatir lagi. Sudah ada satu peleton serdadu yang saban harinya mengamankan Geurutee dari kemungkinan disusupi GAM.
Kasihan mereka. Tak ada warga desa yang bisa diajak bergaul. Yang ada hanya deru ombak di bawah sana juga gunung batu dan jurang yang curam. Hiburan satu-satunya adalah melihat kendaraan yang melintas.
"Bukan GAM yang bikin kami kesulitan di sini. Tapi agas," keluh seorang serdadu. Agas sejenis nyamuk tapi badannya jauh lebih lebih ramping. Gigitannya? Alamak .... gatal luar biasa.
Dia selalu datang malam hari dan menyasar kepala dan muka. Makhluk satu itu bisa menembus shebo kendati kepala sudah dibungkus kelambu dan ditutup dengan sarung berlapis. Autan tak mampan. Sakti, cairan antiserangga pembagian TNI, juga impoten. Agas hanya bisa diusir dengan asap rokok.
Geurutee hanya satu di antara ratusan perbukitan di Aceh Barat yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan serdadu yang kebetulan berkendaraan. Dan tentara kita tak kehabisan akal. Agar pandangan tak terhalang dan cepat mengetahui gerak-gerik musuh, mereka menggunduli bukit-bukit tempat GAM sering melakukan penghadangan.
Saat saya bergabung dengan pasukan di Aceh Barat, penghadangan sudah jarang terjadi. Rajawali juga kian kesulitan menemukan "ikan di kolam." Dengar-dengar, GAM merapat ke desa. Menjadi orang desa. Sukar bagi serdadu Indonesia untuk membedakan siapa GAM siapa penduduk biasa kecuali ada informasi intelejen yang memadai.
Di Patek dulu, seorang serdadu gondok luar biasa setelah meminjamkan koreknya kepada seorang warga yang mau membakar rokok. Orang itu ternyata Abu Tausi, salah seorang dedengkot GAM di sana.
Intelijen termasuk di antara kelemahan mendasar pasukan TNI di Aceh.
Sebenarnya, sudah ada Satuan Gabungan Intelijen (SGI) bertanggung jawab untuk urusan itu. Saya sering menguping pembicaraan serdadu di radio dan mendengar "Solo Garut Irian" disebut, ya itulah SGI. Gabungan Sandi Yudha Kopassus dan intel Kostrad.
SGI masuk Aceh pada 1999. Mereka lebih dulu ditanam sebelum Jakarta mulai mengirim kembali pasukan pascapenarikan DOM.
Soal menyamar, SGI memang jagonya. Mereka dibebaskan untuk "berekspresi." Ada yang memilih berambut gondrong, ada yang bertampang ustaz atau kiai, ada yang menjadi petani, nelayan, penjual kacang, dan sebagainya.
Di sebuah acara syukuran pasukan Brigade Mobil-menyusul tewasnya Abu Arafah, salah seorang komandan GAM di Aceh Barat-saya bertemu dengan seorang bapak yang dari dandanannya saya kira camat setempat. Roman mukanya bersih. Sedikit jenggot dan kumis di wajahnya mengesankan orang yang berkecimpung di dalam urusan agama. Dia berpeci hitam dengan setelan jas safari. Senyumnya tak pernah lepas.
Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang letnan dua soal nama camat yang diajaknya berbicara. Serdadu itu tertawa terbahak-bahak. "Bang, dia mengira Abang camat di sini." Bapak itu hanya tersenyum. Dia ternyata komandannya SGI wilayah Calang.
Tapi penyamaran orang-orang SGI sepertinya kurang membuahkan hasil. Jarang-jarang ada pergerakan pasukan tempur dan teritorial yang didasari pada informasi orang SGI. Ada serdadu Indonesia yang bilang, orang SGI bisa apa saja di Aceh ini. Kecuali satu: bahasa Aceh.
TENTARA di Aceh tinggal di pos-pos sepanjang jalan provinsi. Jaraknya
cukup rapat. Kendati belum dapat menyamai kerapatan pos tentara di Timor
Timur dulu. Di sana, setiap tiga desa ada satu pos tentara. Sementara
di Aceh ini, satu pos kadang bertugas mengamankan belasan desa.
Tiap pos mempunyai nama tersendiri. Dalam percakapan radio, pasukan Rajawali di Aceh Barat menamai posnya dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan langit seperti Halilintar dan Pelangi. Yang pasukan teritorial meminjam nama hewan penghuni kebun binatang seperti Serigala, Cobra, dan Arwana.
Sekeliling pos dibalut dengan kotak pengaman. Ada yang terbuat dari papan dan sela-selanya diuruk tanah uruk atau pasir. Tingginya rata-rata satu meter dengan ketebalan setengah meter. Selama bukan mortir atau granat, ia mampu meredam laju proyektil apa saja.
Saya pernah melihat pos tentara yang dipagari dengan potongan-potongan batang kelapa setinggi dua meter. Sudah dipagari dengan batang kelapa luar dalam, sela-sela kotak ditimbuni pasir pula.
Awalnya, saya kagum dengan kekuatan orang pos. Memancang batang pohon kelapa sedalam siku dan menguruki sela-selanya bukan pekerjaan ringan. Tapi setelah melihat proses pembukaan sebuah pos, saya jadi tahu kalau selalu ada keringat warga yang ikut bercucuran. Makin besar kotaknya, makin banyak peluh yang menetes. Orang pos kadang mengerahkan warga desa untuk itu.
Dengan segala kekurangannya, serdadu Indonesia memilih menggunakan kata "vila" untuk menyebut pos yang mereka tinggali. Kalau "vila" sudah diberi kotak pengaman, mereka menetapkan di bagian mana pos jaga didirikan dan lalu menyusun alarm stealing. Denah ini berisi ilustrasi kemungkinan dari mana datangnya serangan.
Urusan "vila" beres, perhatian tentara beralih ke kendaraan. Ini bukan mengada-ada. Hampir semua tentara di Aceh pernah merasakan penghadangan di atas kendaraan. Yang teranyar terjadi medio Oktober silam, menimpa dua kompi Kopassus dari Grup II Solo yang melintas di Aceh Barat untuk penugasan di Aceh Selatan.
Namanya pasukan baru datang ke Aceh (saya kira ini pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta sana), kesiagaan mereka sudah terlihat dari pakaiannya. Masing-masing mengenakan helm dan rompi baja dengan motif darah mengalir. Khas Kopassus. Di bak mobil, laras-laras menonjol kaku ke segala arah kemungkinan datangnya tembakan.
Tapi GAM sepertinya tak ambil pusing. Saat konvoi melintas di kawasan-sering-penghadangan Krueng No, GAM memuntahkan 11-12 kali amunisi AK-47. Orang Komando membalasnya dengan menembakkan 10 biji TP. Tak ada lagi AK yang menyalak dari kejauhan sana.
Mereka memang tidak dihadang, hanya diganggu. Ini sambutan khas GAM untuk setiap pasukan yang baru datang. Dan gangguan itu sudah cukup berkesan bagi pasukan yang belum sehari menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah.
Sekitar dua jam setelahnya, saat konvoi melintas di Calang, seorang serdadu menertawakan rekan-rekannya yang "tinggal helmnya saja yang kelihatan dari jalan." Saya kira dia juga menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kecemasannya saat dihadang GAM pertama kali datang ke Aceh.
Seringnya penghadangan membuat tentara seolah berlomba melapisi kendaraannya dengan baja. Ada banyak macam kendaraan tentara di Aceh. Yang paling sering saya naiki adalah truk buatan Mercedes-Benz. Mobil ini bekerja dengan sistem hidrolik. Kalau tekanan angin di mesin kurang, dia jadi onggokan besi. Tak bisa diapa-apakan. Stir, gas, stater .... semuanya terkunci.
Panjang bak truk lima meter, cukup untuk mengangkat satu peleton serdadu. Bila ditambah dengan panjang kabin sopirnya, totalnya mencapai tujuh meter dengan lebar 2,5 meter. Dari tanah hingga terpal truk, tingginya ada tiga meter. Baknya sulit dinaiki. Tingginya sedada orang dewasa. Kalau di bak tidak ada pijakan kaki, Anda perlu berpegang pada seseorang di atas untuk naik.
Setelah dilapisi baja, berat mobil bertambah dua kali lipat menjadi sekitar 10 ton. Ban cepat kalah. Truk jadi sukar bermanuver di jalan sempit.
Saya sempat melihat metamorfosis sebuah truk Mercedes-Benz yang dari Jawa hanya diselimuti baja tiga milimeter. Baja itu tak cukup tebal. Jika mobil dalam keadaan diam, dia bisa dijebol proyektil AK-47 dari jarak sekitar 200 meter.
Setelah di Aceh, pelan-pelan ketebalan baja truk ditambah. Dari tiga milimeter menjadi delapan milimeter tiga bulan kemudian. Semua bagian vital truk seperti tangki bahan bakar, ruang mesin, dan tangki angin dilapisi baja. Bahkan seandainya ban bisa dibaja, saya yakin itu juga akan dilakukan.
Baja yang paling tebal biasanya dipasang di kabin sopir. Saya lihat ada yang sampai 10 milimeter. Kalau sudah dibaja, truk seperti ganti kulit saja. Orang Jerman yang membuatnya mungkin akan sukar mengenalinya lagi.
Persoalan baru bagi orang di kabin. Pembajaan hanya menyisakan sedikit lubang bagi sopir dan pembantu sopir untuk mengintip jalan di depan. Lubang intip hanya seukuran dua batu bata disambung. Masing-masing satu di depan sopir dan keneknya. Kadang lubang intip sopir dimodeli seperti alis. Tapi tetap saja, pandangan mereka terbatas. Sopir dan keneknya tak dapat melihat jarak tiga meter dari bumper. Untuk melihat kaca spion kanan, sopir di kiri hanya bisa mengandalkan mata kenek. Pokoknya, kenek tidak bisa berleha-leha.
Persoalan lainnya jika ada kerusakan di bagian radiator depan, montir akan susah menjamah bagian-bagian dalam. Geraknya dibatasi lempeng baja yang hanya bisa dilepas jika dipotong dengan las. Sebuah pekerjaan mahabesar. Sirkulasi udara di dalam kabin ikut rusak karena baja itu. Sopir dan kenek kegerahan setiap kali jalan siang.
Selain Mercedes-Benz, tentara punya truk Unimog dan Reo. Dari segi perwajahan kabin, Mercedes yang potongannya kaku seperti balok kalah dari Unimog. Yang terakhir seperti peranakan biawak. Mulutnya panjang. Segala jenis medan, truk ini jalan menanjak oke, lumpur dan sungai sepinggang boleh.
Dari ujung ke ujung, panjang Unimog sekitar lima meter. Dimuati 20 serdadu dia kelimpungan.
Kalau jalan di sawah, Unimog meliuk-liuk seperti biawak. Pernya pakai per keong. Persenelannya delapan. Sekali dorong gigi, mesti empat supaya melaju. Seperti Mercedes, mesinnya mengandalkan tekanan angin. Macet sedikit di situ, berabe urusannya.
Banyak tentara lebih suka naik Unimog karena baknya tinggi, hampir 1,5 meter ketimbang Mercedes yang baknya hanya setinggi pinggang orang dewasa. Nah soal tinggi bak, Reo lebih gila lagi. Ini mobil dilihat dari jarak 10 meter seperti banteng saja. Bannya 10 biji. Delapan roda belakang dan dua di depan. Untuk pergerakan pasukan dalam jumlah besar, dia dan Mercedes bisa diandalkan. Beda dengan Mercedes, setir Reo di kanan. Produksi Korea.
Supaya tak berkarat, lempengan baja tambahan itu dicat. Umumnya hijau. Ada yang warna daun nangka tua ada juga hijau tahi sapi. Yang Reo biasanya dicat hitam. Kalau ada serdadu yang pintar menggambar, truk-truk itu biasanya dilukis dan diberi nama. Pasukan Rajawali, misalnya, menggambar burung Rajawali besar-besar. Orang Kopassus mengecat kabin mobilnya dengan warna bendera republik ini: merah putih. Ada juga yang menggambar kaligrafi berisi penggalan ayat-ayat al-Quran.
Kalau akan ada pergeseran pasukan (serpas), tentara biasanya pilih-pilih mobil. Biasanya mereka akan melirik mobil yang paling tebal bajanya. Kalau mobil yang tersedia ketebalan bajanya sama, mereka akan mencari yang baknya dicor. Ini memang favorit: truk yang sudah dibaja lalu dicor lagi. Biasanya, baja paling luar ukurannya empat milimeter dan selang sejengkal ke dalam ada pelat baja yang ketebalannya sama. Ruang di antaranya itu yang dicor. Tebal bak bisa membengkak hingga 10 centimeter. Saya kira dihajar GLM pun untung kalau baknya bisa lobang.
GAM juga kalau mau menghadang pilih-pilih. Favorit mereka serdadu yang menggunakan truk Toyota Dyna. Ini mobil orang Korem yang kadang dipinjamkan ke pasukan. Tak dibaja. Ada mungkin lima kali saya naik mobil ini. Semua serdadu dari semua jenis pasukan di Aceh akan mikir 100 kali kalau disuruh komandannya naik mobil ini. "Siapa mau setor nyawa di mobil krupuk," kata seorang prajurit Kostrad dari Batalyon 433, Makassar. Tapi kalau sudah perintah, mobil kerupuk itu tetap digunakan. Biasanya, tentara berebut tempat di pojok. "Biar kalau ada apa-apa langsung loncat."
GAM kadang pintar kalau menghadang truk yang sudah dibaja. Biasanya, mereka akan mengarahkan tembakan ke pintu mobil. Jadi serdadu terkurung di bak. Kalau ada tembakan, biar bak mobil sudah dibaja dan dicor 10 centimeter, tetap saja seisi bak tanam kepala. Tiarap, mendekat ke sisi bak asal tembakan.
Tapi GAM akan mikir 100 kali jika akan menghadang truk Mercedes atau Reo atau Unimog yang sudah dipasangi Senapan Mesin Berat (SMB). Di Aceh Barat, saya lihat baru Yonif Linud 305/Kostrad 305 (saya kira ini juga pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta) yang melengkapi beberapa truknya dengan SMB.
Kalau Anda menonton film perang, Anda mungkin pernah melihat sejenis senjata yang dipakai menembaki pesawat terbang. Nah, itu SMB. Dia dipasang di bak dan dilengkapi engsel sehingga bisa diputar-putar.
Panjang larasnya lebih semeter berdiameter sebesar botol kecap. Saya belum pernah mendengar bunyinya. Tapi saya kira akan memekakkan telinga. Panjang amunisinya saja sudah satu jengkal orang dewasa. Selongsongnya sebesar jempol kaki sementara proyektilnya seukuran kelingking dengan ujung lebih runcing. Kalau ada GAM lenggang kangkung dua kilometer di depan sana, peluru itu bisa membuat lobang seukuran bola tenis di dadanya.
GAM juga kemungkinan besar mengurungkan niatnya menghadang konvoi yang di situ ada mobil jenis Rantis (kendaraan perintis). Potongannya mirip-mirip Hornet. Komandan biasanya naik mobil ini. Setahu saya, hanya Kopassus yang punya.
Di atap Rantis ada barang mematikan: Automatic Grenade Launcher (AGL). Barangnya kecil saja, panjangnya paling semeter. Tapi yang keluar dari larasnya adalah granat yang sama yang dipakai di SPG. Keluarnya bukan satu-satu, tapi otomatis.
Kalau AGL sudah menyalak, banyak serdadu yang santai-santai. Yang mau dan punya rokok merokok. Yang bawa ganja melinting "rempah Aceh" itu. Mengisap rokok dalam-dalam sambil menembak, menurut beberapa serdadu, nikmatnya sukar dilukiskan.
Sebenarnya, tak banyak truk yang dibawa pasukan kita ke Aceh. Di Aceh Barat misalnya, di luar mobil 'kerupuk' Korem, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Ambil contoh Batalyon 521 hanya mengandalkan empat biji truk Mercedes untuk membantu mobilisasi pasukan. Yang pasukan gerak, seperti Kostrad dan Kopassus, setiap kompinya hanya punya satu kendaraan.
Reo, Unimog, dan Mercedes kalau makan solar naudzubillah. Satu liter hanya tahan lima kilometer. Untuk Mercedes isi tangkinya bisa sampai 130 liter. Sementara Jakarta setiap bulannya hanya sanggup menyediakan 200 liter solar untuk setiap truk. Jika tangki diisi penuh dan dipakai sekali Dorlok (Pendorongan Logistik), konvoi memang bisa sampai Lambaro tapi tidak bisa kembali ke Meulaboh.
Kita sepertinya harus berterima kasih pada perusahaan swasta di Aceh Barat yang menggratiskan cadangan solarnya untuk truk tentara kita. PT Socfin Indonesia misalnya. Perusahaan kelapa sawit ini setiap bulannya menyediakan tiga sampai enam ton solar untuk tentara dan polisi kita di sana. Dan bahkan menyediakan puluhan lembar lempengan baja dan membayari ongkos lasnya untuk truk serdadu Indonesia.
Lambaian Tangan
SATU-dua kali masuk kolam, tak ada ikan yang berhasil dijaring. Tak ada kontak tembak dengan GAM. Beberapa serdadu mulai percaya kalau setiap wartawan ikut pasti tak ada hasil.
Saya tak ambil pusing. Saya selalu mengikuti ke mana saja truk pergi. Seorang serdadu Kopassus geleng-geleng kepala melihat saya seperti gila naik truk.
"Siapa tahu ada tembakan," kata saya menjawab keheranannya.
"Tuh kan, doanya saja sudah jelek," Dalam hati saya malu. Bagaimana kalau benar terjadi penghadangan dan ada serdadu yang kena?
Roda truk tentara yang mendukung operasi pasukan di Aceh Barat tiap hari berputar. Kadang, dalam sehari, truk singgah di empat sampai lima pos yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan. Truk selalu dalam pengawalan, minimal lima sampai enam serdadu berjaga di bak.
Bepergian dengan truk tentara membutuhkan fisik yang prima dan semangat besar. Kalau badan loyo, rawan masuk angin. Kalau terlalu sering berdiri di truk, orang bisa turun bero. Paling tidak, mata Anda akan memerah dan rambut akan kusam disiram debu dan angin jalan.
Anda akan sering melihat lambaian tangan penduduk di sepanjang jalan. Paling tidak mereka akan melempar senyum. Anak-anak sekolah yang lagi bermain di halaman akan menghentikan permainannya dan berdesak-desakan di pagar sekolahnya hanya untuk melambaikan tangan kepada orang-orang yang, sebenarnya, tak mereka kenal. Ibu-ibu yang menggendong anak kadang setengah berlari keluar rumah agar tak kehilangan kesempatan.
Orang-orang yang di atas truk menikmati pemandangan itu. Mereka selalu membalas dengan tangan kanan. Orang Aceh akan tersinggung berat jika diberi lambaian tangan kiri. Pamali. Tapi biasanya tentara kita yang hiperaktif melambai-lambaikan tangan kalau ada anak dara yang tersenyum di teras rumah.
Tapi ada juga yang acuh melihat anak-anak sekolah. Malah ada yang sinis. "Anak-anak Aceh," kata seorang serdadu, "Hari ini melambaikan tangan tapi kalau besar membidikkan laras ke kita."
Dan kalau truk sudah jalan, rasanya tak ada lagi kendaraan di jalan. Setiap kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan akan menepi di bahu jalan. Tidak peduli apa jenisnya: truk Fuso, L-300, kereta (istilah orang Aceh untuk sepeda motor), motor (kendaraan roda empat), becak motor, dan lain-lain. Semua menepi. Mempersilakan truk bergerak dulu.
Truk tentara kita biasanya melaju kencang. Di tikungan, kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan, kadang panik lalu buru-buru menepi hingga hampir nyungsep.
Seringkali saya geli melihat adegan-adegan itu. "Jangan ditulis mereka takut sama kita," kata seorang sopir berpangkat prajurit kepala memperingatkan, "Mereka itu melihat kepentingan kita lebih besar sehingga pantas didahulukan."
Di atas truk, ada banyak hal yang harus diwaspadai. Yang ringan-ringan: percikan air atau debu jalan. Kalau aspal basah habis diguyur hujan misalnya, putaran roda truk akan mengangkat air ke atas bak. Mereka yang berdiri hingga 1,5 meter dari pintu truk akan terkena percikannya. Kalau sekadar air masih untung. Tapi kalau kebetulan ban menggilas tahi sapi .....
Kedua, tentu saja peluru. Perhatian tentara lebih tertuju pada barang satu ini. Ada kepercayaan di kalangan serdadu Indonesia kalau peluru di Aceh punya Nomor Registrasi Pokok (NRP). Ini jelas merepotkan. Setiap tentara punya NRP tersendiri, terdiri dari sederet angka yang antara lain bisa diketahui kapan seorang serdadu mulai ikut dinas militer berikut tanggal kelahirannya.
Jika sudah di atas truk lalu ada informasi kalau truk akan dihadang, bukan main tegangnya. Nyaris tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Kadang ada yang mencoba mengendorkan ketegangan dengan bersenandung sambil iseng melambai-lambaikan tangan ke bukit-bukit rawan tak berpenghuni di sepanjang jalan. "Daaaaa, dadah sayaaaaaang. Slaaaaa, slamattt jaaaaalan."
Sebenarnya, tentara kita punya bekal yang cukup untuk tak terlampau mengkhawatirkan peluru yang punya NRP itu. Toh mereka sudah dibekali rompi dan mobil lapis baja.
Ada yang mencari tameng tambahan yang diyakini lebih sakti: jimat, dari yang berbentuk barang sampai yang berupa doa tertentu yang harus dirapal secara rutin. Yang percaya memakainya atau paling tidak menuliskan doa-doa itu di rompi baja yang digunakannya, diselipkan di dalam dompet, atau hanya dirapalkan setiap kali akan bergerak.
Ada juga yang sepertinya tak ambil pusing. Seorang serdadu Kopassus malah menuliskan kalimat ini di rompi bajanya: Now I'm Nothing. Dia sebenarnya masih muda. Kalau tak salah ingat kelahiran pada 1979. Saya kira dia termasuk di antara serdadu yang masa mudanya "habis dimakan ransel."
Tapi rasa-rasanya daerah Geurutee punya tuah tersendiri sehingga setiap serdadu, tak peduli dia dari kesatuan mana, ketar-ketir saat melintas di pegunungan yang memisahkan Aceh Besar dan Aceh Barat itu.
Geurutee terkenal dengan jalannya yang berliku. Delapan kilometer panjangnya. Persisnya dari kilometer 64 hingga kilometer 72 dari Banda Aceh arah Meulaboh.
Dari Banda Aceh, kendaraan menanjak sejak kilometer 64. Meliuk-liuk, bermanuver di lereng gunung hingga tiba di Peuyoh Geurutee di kilometer 68. Setelahnya, kendaraan akan bergerak menurun hingga Gle Miga terlihat di ujung kilometer 72.
Jika sempat berhenti di Puncak Geurutee itu, saya yakin Anda akan merasakan sensasi tersendiri. Dari situ, Anda dapat melihat gradasi air laut di bawah sana. Dari yang warnanya biru muda hingga biru pekat. Anda bahkan dapat menghitung berapa saf ombak yang menggulung.
Dari puncak yang sama, Anda juga bisa membayangkan seperti apa jadinya jika, semoga tidak, kendaraan Anda terperosok ke jurang di kanan Geurutee.
Serdadu yang pernah tugas di situ tak dapat memastikan berapa dalamnya jurang di kanan Geurutee. Mereka pernah mencoba menaksir kedalamannya dengan berlomba-lomba melempar baterai PRC yang sudah usang atau menggelundungkan batu besar. Tapi tak seorang pun yang berhasil melihat batu itu sampai ke permukaan laut.
Bukit-bukit di kiri Geurutee juga menyimpan pesona tersendiri. Orang harus mendongak untuk melihat jelas pepohonan apa yang ada di situ karena terjalnya bukit. Tinggi lereng bukit yang tertutupi pepohonan hijau itu mungkin sama dengan kedalaman jurang di bawah sana: 100 meter.
Dari semua pesonanya itu, Geurutee tetap menjadi mimpi buruk bagi setiap tentara yang pernah melintasinya. Nyaris setiap pasukan yang melintasinya pernah dihadang GAM. Bahkan seorang Komandan Korem Teuku Umar nyaris mengembuskan napas terakhir di Geurutee sekiranya proyektil AK-47 yang ditembakkan GAM dari bukit-bukit di kiri jalan menembus kaca Hornet yang ditumpanginya.
Dihadang di Geurutee memang menjengkelkan. Anda tak bisa membalas tembakan karena GAM bersembunyi di tebing-tebing curam. Mereka dapat melihat Anda dengan jelas. Mereka bebas membidik atau melempar granat ke kendaraan yang melintas. Atau tak usah granat, menggelindingkan batu dari atas sana pun Anda yang duduk di bak truk tentara bisa dipastikan akan celaka.
Sementara itu, Anda akan sukar mencari tempat perlindungan jika sudah dihadang. Mau lari ke kanan jurang. Mau lari ke kiri terbentur tebing terjal. Jalan satu-satunya merapatkan badan ke tebing. Tapi kadang kalau sudah disiram tembakan dari atas, biasanya ada yang pantatnya terserempet peluru.
Singkatnya, serdadu praktis hanya bisa berlindung dan berharap semoga GAM segera kehabisan amunisi. Setelah dua jam GAM kehabisan amunisi, baru si serdadu bisa meninggalkan Geurutee.
Menembak saat penghadangan di situ hampir-hampir mustahil. Laras Anda hanya bisa tegak lurus, menembak langit. Kalau hanya kaliber 5,56 yang tertembak ke langit tak terlalu masalah. Tapi kalau TP yang terlempar jadi persoalan besar. Kepala bisa hancur sendiri karena bisa dipastikan TP itu akan kembali ke tempat Anda berdiri.
"Tidak tahu gunung apa itu," kata seorang serdadu dari Makassar, "Selalunya kita takut kalau lewat." Ada juga serdadu yang patah arang dengan Geurutee. Dia berharap suatu waktu nanti GAM yang melakukan konvoi dan TNI yang menghadang.
Tapi belakangan ini pasukan yang melintas di situ tak terlampau khawatir lagi. Sudah ada satu peleton serdadu yang saban harinya mengamankan Geurutee dari kemungkinan disusupi GAM.
Kasihan mereka. Tak ada warga desa yang bisa diajak bergaul. Yang ada hanya deru ombak di bawah sana juga gunung batu dan jurang yang curam. Hiburan satu-satunya adalah melihat kendaraan yang melintas.
"Bukan GAM yang bikin kami kesulitan di sini. Tapi agas," keluh seorang serdadu. Agas sejenis nyamuk tapi badannya jauh lebih lebih ramping. Gigitannya? Alamak .... gatal luar biasa.
Dia selalu datang malam hari dan menyasar kepala dan muka. Makhluk satu itu bisa menembus shebo kendati kepala sudah dibungkus kelambu dan ditutup dengan sarung berlapis. Autan tak mampan. Sakti, cairan antiserangga pembagian TNI, juga impoten. Agas hanya bisa diusir dengan asap rokok.
Geurutee hanya satu di antara ratusan perbukitan di Aceh Barat yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan serdadu yang kebetulan berkendaraan. Dan tentara kita tak kehabisan akal. Agar pandangan tak terhalang dan cepat mengetahui gerak-gerik musuh, mereka menggunduli bukit-bukit tempat GAM sering melakukan penghadangan.
Saat saya bergabung dengan pasukan di Aceh Barat, penghadangan sudah jarang terjadi. Rajawali juga kian kesulitan menemukan "ikan di kolam." Dengar-dengar, GAM merapat ke desa. Menjadi orang desa. Sukar bagi serdadu Indonesia untuk membedakan siapa GAM siapa penduduk biasa kecuali ada informasi intelejen yang memadai.
Di Patek dulu, seorang serdadu gondok luar biasa setelah meminjamkan koreknya kepada seorang warga yang mau membakar rokok. Orang itu ternyata Abu Tausi, salah seorang dedengkot GAM di sana.
Intelijen termasuk di antara kelemahan mendasar pasukan TNI di Aceh.
Sebenarnya, sudah ada Satuan Gabungan Intelijen (SGI) bertanggung jawab untuk urusan itu. Saya sering menguping pembicaraan serdadu di radio dan mendengar "Solo Garut Irian" disebut, ya itulah SGI. Gabungan Sandi Yudha Kopassus dan intel Kostrad.
SGI masuk Aceh pada 1999. Mereka lebih dulu ditanam sebelum Jakarta mulai mengirim kembali pasukan pascapenarikan DOM.
Soal menyamar, SGI memang jagonya. Mereka dibebaskan untuk "berekspresi." Ada yang memilih berambut gondrong, ada yang bertampang ustaz atau kiai, ada yang menjadi petani, nelayan, penjual kacang, dan sebagainya.
Di sebuah acara syukuran pasukan Brigade Mobil-menyusul tewasnya Abu Arafah, salah seorang komandan GAM di Aceh Barat-saya bertemu dengan seorang bapak yang dari dandanannya saya kira camat setempat. Roman mukanya bersih. Sedikit jenggot dan kumis di wajahnya mengesankan orang yang berkecimpung di dalam urusan agama. Dia berpeci hitam dengan setelan jas safari. Senyumnya tak pernah lepas.
Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang letnan dua soal nama camat yang diajaknya berbicara. Serdadu itu tertawa terbahak-bahak. "Bang, dia mengira Abang camat di sini." Bapak itu hanya tersenyum. Dia ternyata komandannya SGI wilayah Calang.
Tapi penyamaran orang-orang SGI sepertinya kurang membuahkan hasil. Jarang-jarang ada pergerakan pasukan tempur dan teritorial yang didasari pada informasi orang SGI. Ada serdadu Indonesia yang bilang, orang SGI bisa apa saja di Aceh ini. Kecuali satu: bahasa Aceh.
SERINGNYA berkendaraan mengunjungi satu pos ke pos lain, mengantar saya menemukan sebuah dunia baru di Aceh: dunia orang-orang Jawa perantauan. Ada yang leluhur mereka datang ke sini sebagai buruh kontrak di perkebunan karet dan kelapa sawit pada 1920-an. Ada juga yang masuk ke Aceh pada 1980-an sebagai transmigran.
Seingat saya, ada 10 atau mungkin lebih sarana permukiman transmigran di Aceh Barat. Salah satu yang pernah saya kunjungi adalah SP 1 di Alue Peunyareng. Sebagian orang menyebut daerah itu Bukit Jaya. "Di sini dulu seperti Meulaboh saja. Ramai. Lampu di mana-mana," kata seorang transmigran.
Tapi SP 1 kini sudah kehilangan kekotaannya. Saat datang ke sana September silam, sudah tak ada transmigran Jawa yang menetap di situ. Mereka mengungsi, sebagian ke Banda Aceh dan sebagian lagi ke Medan saat gelombang pengusiran orang Jawa terjadi di Aceh Barat, 1999 silam. (Seorang ibu kelahiran Seunagan tapi berdarah Jawa masih ingat apa yang diteriakkan massa yang menuntut Referendum 1999 dulu, "Jawa koh takue. Jawa koh takue; potong leher orang Jawa)
SP 1 sudah menjadi hutan. Jalan-jalan aspal hingga ke pemukiman transmigran itu nyaris ditelan semak belukar di kiri-kanannya. Tak ada lagi yang berani menginjakkan kaki di kota mati itu.
Saya sempat singgah di sebuah rumah tak berpenghuni di situ. Halamannya disesaki semak belukar. Daun pintu dan jendala sudah tanggal. Beberapa kaca nako hitam masih menggantung di tatakannya. Balok-balok kusen rumah menghitam, hangus dimakan api. Atapnya roboh. Hanya dindingnya yang tetap tegak. Dan luar biasa! Saya yakin si empunya rumah itu dulunya punya kekayaan yang cukup untuk membangun sebuah rumah dengan semua dindingnya dicor! Dia tampak sudah meniatkan diri untuk menjadi orang Aceh, membesarkan anak, berusaha, dan mungkin meninggal di situ.
Saat memasuki ruang tamu, tak sengaja saya menyeret kaki. Begitu tanah yang menutup lantai tersibak, saya tahu kalau seluruh lantai rumah itu dilapisi keramik. Ukuran rumahnya 15x8 meter, belum termasuk garasi 3x4 meter persegi di kiri bangunan. Ada lima kamar di rumah itu. Di setiap kamar, saya melihat masih ada ranjang kayu yang tak berpelitur. Dari bekas langit-langit rumah yang tingginya ada dua meter, saya membayangkan akan menyejukkan tinggal di situ.
Di halaman ada banyak pohon buah; mangga, rambutan, jambu batu dan lain-lain.
Hampir setiap rumah yang saya masuki begitu modelnya. Di belakang rumah, tiap-tiap transmigran mempunyai kebun kelapa sawit. Totalnya, 330 kepala keluarga mempunyai 300 hektar. Sejak ditinggal, banyak kelapa sawit yang busuk di tandannya karena tak ada yang berani memanen.
Tentara dan pemerintah setempat ingin memanfaatkan kebun kelapa sawit yang tak terawat itu. Mereka membangun satu pos baru di sana. Puluhan orang-sebagian besarnya asli Aceh-yang tak memiliki pekerjaan direkrut untuk memanen sawit-sawit itu. Saya tak begitu jelas apa dasar perekrutannya. Tapi saya tahu, masih ada transmigran yang punya tanah di situ tapi tak dipanggil memanen isi kebunnya sendiri. Seorang mayor berdalih, panen sawit itu untuk memberi pekerjaan pada mereka yang menganggur. "Dari pada dipanen GAM," katanya.
Panenan dijual ke PT Socfin Indonesia. Socfin dan belasan perkebunan sawit dan karet lainnya dekat dengan tentara di Aceh Barat. Tentara mem-backing keamanan di wilayah perkebunan dan gantinya, mereka membantu menutupi kekurangan kebutuhan tentara, utamanya solar.
Saya pernah menanyakan kepada Kapten Dedi Hardono kenapa Jakarta hanya memberi jatah solar 200 liter per bulan untuk setiap truk. Apa mereka tak mengetahui keadaan di sini? Katanya, "Mau dibilang tidak tahu, tidak juga. Mau dibilang tahu, nyatanya begini."
Saat di Aceh Barat, banyak serdadu yang mendengar kabar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kalau di Departemen Pertahanan ada indikasi korupsi dana operasi keamanan Aceh hingga Rp 80 miliar. Mendengar itu, seorang prajurit Kostrad dari Makassar kesal luar biasa, "Lebih baik GAM kita pelihara daripada orang seperti itu. Ini namanya tentara makan tentara."
Negara menggaji tentara di Aceh Rp 17.300 per hari. Hanya Rp 10 ribu yang masuk ke kantor serdadu (Bandingkan dengan uang saku Rp 1.000 per hari yang diterima pasukan Rajawali yang masuk Pidie 1999 silam). Sisanya ditabungkan komandan agar saat pulang tugas, setiap serdadu punya simpanan.
Serdadu-serdadu itu perlu bermanuver untuk mencukupi semua keperluannya. Untuk tiga kali makan sehari, mereka mengeluarkan Rp 3.000. Sisanya untuk membeli barang-barang kebutuhan harian seperti sabun cuci, sampo, dan rokok-kalau memang merokok.
"Tentara kantongnya saja yang banyak. Isinya jangan ditanya," kata seorang prajurit kepala. Saya menghitung, di PDL (Pakaian Dinas Lapangan) tentara ada delapan kantong seukuran buku saku. Tak usah melirik isi kantong, dari PDL saja Anda sudah bisa membaca bagaimana kondisi keuangan mereka. Saya banyak melihat tentara yang memakai PDL penuh tambalan. Di bagian lutut, siku, paha .....
Saya berpisah dengan pasukan di Aceh Barat akhir Oktober silam, bersamaan dengan habisnya izin peliputan yang dikeluarkan Mayor Jenderal Djali Yusuf.
Suasananya penuh haru. Beberapa prajurit Kopassus tak dapat menahan rasa iri mengetahui sebentar lagi saya menginjak Jakarta. Ada juga yang mengajak saya bertemu di sebuah diskotek di bilangan Kota, Jakarta. "Nanti kalau ke sana gratis. Kalau mau nginap di hotel, telepon saya saja nanti. Percaya deh gratis."
Sebagian besar ingin melihat hasil reportase saya. "Sayang yah, Abang tidak bawa foto. Kalau bawa dan tulisannya dimuat 'kan orang di batalyon bisa lihat." Ada juga yang masih tak paham kalau izin liputan saya hanya dua bulan. "Gue kira lu tinggal setahun di sini. Bareng aja pulangnya."
Ada juga yang sambil bergurau menyarankan saya untuk menulis yang "baik-baik saja" kalau tak mau "disekolahkan." Beberapa lainnya meminta saya tak usah menulis soal rokok Japrem (jatah preman) serta soal burung dan VCD di pos. Dengar-dengar, ada instruksi dari komandan militer setempat yang melarang serdadu memelihara burung dan punya VCD di pos. (Di rumah komandan resort militer setempat, saya malah melihat sangkar burung seukuran kamar kos mahasiswa, kuda, dan juga orang utan)
Yang paling berkesan, perpisahan dengan orang pos di Kaway VXI. Seisi pos berkumpul, menggelar perpisahan ala kadarnya. Ada yang memegang gitar, ada yang memeluk baskom, ada yang menenteng piring dan sendok.
Seorang serdadu memberi aba-aba pesiapan: "Cek-cek-cek .... sound-sound-sound .... gendang-gendang ... kurang keras, kurang keras. Gendangnya tes ... tuk-tuk-tuk ... volume-volume-volume ... bas-bas-bas. Udah-dah-dah."
Malam itu mereka melantunkan Malam Terakhir, lagu perpisahan yang sekaligus ditujukan untuk orang-orang yang akan menunggu kepulangan mereka di dermaga Ujung, Surabaya, nanti: "Malam iniiii, malam terakhir bagi kitaaaaaa untuk melepas rasa rindu di dhadaaaa, esok akuuu akan pergi lama tak kembaliii, kuharap engkau selalu sabar menantiii....." *
Dimuat di Majalah Pantau edisi 3 Februari 2003, artikel ini merupakan salah satu bacaan paling favorit saya
Tiap pos mempunyai nama tersendiri. Dalam percakapan radio, pasukan Rajawali di Aceh Barat menamai posnya dengan istilah-istilah yang berhubungan dengan langit seperti Halilintar dan Pelangi. Yang pasukan teritorial meminjam nama hewan penghuni kebun binatang seperti Serigala, Cobra, dan Arwana.
Sekeliling pos dibalut dengan kotak pengaman. Ada yang terbuat dari papan dan sela-selanya diuruk tanah uruk atau pasir. Tingginya rata-rata satu meter dengan ketebalan setengah meter. Selama bukan mortir atau granat, ia mampu meredam laju proyektil apa saja.
Saya pernah melihat pos tentara yang dipagari dengan potongan-potongan batang kelapa setinggi dua meter. Sudah dipagari dengan batang kelapa luar dalam, sela-sela kotak ditimbuni pasir pula.
Awalnya, saya kagum dengan kekuatan orang pos. Memancang batang pohon kelapa sedalam siku dan menguruki sela-selanya bukan pekerjaan ringan. Tapi setelah melihat proses pembukaan sebuah pos, saya jadi tahu kalau selalu ada keringat warga yang ikut bercucuran. Makin besar kotaknya, makin banyak peluh yang menetes. Orang pos kadang mengerahkan warga desa untuk itu.
Dengan segala kekurangannya, serdadu Indonesia memilih menggunakan kata "vila" untuk menyebut pos yang mereka tinggali. Kalau "vila" sudah diberi kotak pengaman, mereka menetapkan di bagian mana pos jaga didirikan dan lalu menyusun alarm stealing. Denah ini berisi ilustrasi kemungkinan dari mana datangnya serangan.
Urusan "vila" beres, perhatian tentara beralih ke kendaraan. Ini bukan mengada-ada. Hampir semua tentara di Aceh pernah merasakan penghadangan di atas kendaraan. Yang teranyar terjadi medio Oktober silam, menimpa dua kompi Kopassus dari Grup II Solo yang melintas di Aceh Barat untuk penugasan di Aceh Selatan.
Namanya pasukan baru datang ke Aceh (saya kira ini pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta sana), kesiagaan mereka sudah terlihat dari pakaiannya. Masing-masing mengenakan helm dan rompi baja dengan motif darah mengalir. Khas Kopassus. Di bak mobil, laras-laras menonjol kaku ke segala arah kemungkinan datangnya tembakan.
Tapi GAM sepertinya tak ambil pusing. Saat konvoi melintas di kawasan-sering-penghadangan Krueng No, GAM memuntahkan 11-12 kali amunisi AK-47. Orang Komando membalasnya dengan menembakkan 10 biji TP. Tak ada lagi AK yang menyalak dari kejauhan sana.
Mereka memang tidak dihadang, hanya diganggu. Ini sambutan khas GAM untuk setiap pasukan yang baru datang. Dan gangguan itu sudah cukup berkesan bagi pasukan yang belum sehari menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah.
Sekitar dua jam setelahnya, saat konvoi melintas di Calang, seorang serdadu menertawakan rekan-rekannya yang "tinggal helmnya saja yang kelihatan dari jalan." Saya kira dia juga menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kecemasannya saat dihadang GAM pertama kali datang ke Aceh.
Seringnya penghadangan membuat tentara seolah berlomba melapisi kendaraannya dengan baja. Ada banyak macam kendaraan tentara di Aceh. Yang paling sering saya naiki adalah truk buatan Mercedes-Benz. Mobil ini bekerja dengan sistem hidrolik. Kalau tekanan angin di mesin kurang, dia jadi onggokan besi. Tak bisa diapa-apakan. Stir, gas, stater .... semuanya terkunci.
Panjang bak truk lima meter, cukup untuk mengangkat satu peleton serdadu. Bila ditambah dengan panjang kabin sopirnya, totalnya mencapai tujuh meter dengan lebar 2,5 meter. Dari tanah hingga terpal truk, tingginya ada tiga meter. Baknya sulit dinaiki. Tingginya sedada orang dewasa. Kalau di bak tidak ada pijakan kaki, Anda perlu berpegang pada seseorang di atas untuk naik.
Setelah dilapisi baja, berat mobil bertambah dua kali lipat menjadi sekitar 10 ton. Ban cepat kalah. Truk jadi sukar bermanuver di jalan sempit.
Saya sempat melihat metamorfosis sebuah truk Mercedes-Benz yang dari Jawa hanya diselimuti baja tiga milimeter. Baja itu tak cukup tebal. Jika mobil dalam keadaan diam, dia bisa dijebol proyektil AK-47 dari jarak sekitar 200 meter.
Setelah di Aceh, pelan-pelan ketebalan baja truk ditambah. Dari tiga milimeter menjadi delapan milimeter tiga bulan kemudian. Semua bagian vital truk seperti tangki bahan bakar, ruang mesin, dan tangki angin dilapisi baja. Bahkan seandainya ban bisa dibaja, saya yakin itu juga akan dilakukan.
Baja yang paling tebal biasanya dipasang di kabin sopir. Saya lihat ada yang sampai 10 milimeter. Kalau sudah dibaja, truk seperti ganti kulit saja. Orang Jerman yang membuatnya mungkin akan sukar mengenalinya lagi.
Persoalan baru bagi orang di kabin. Pembajaan hanya menyisakan sedikit lubang bagi sopir dan pembantu sopir untuk mengintip jalan di depan. Lubang intip hanya seukuran dua batu bata disambung. Masing-masing satu di depan sopir dan keneknya. Kadang lubang intip sopir dimodeli seperti alis. Tapi tetap saja, pandangan mereka terbatas. Sopir dan keneknya tak dapat melihat jarak tiga meter dari bumper. Untuk melihat kaca spion kanan, sopir di kiri hanya bisa mengandalkan mata kenek. Pokoknya, kenek tidak bisa berleha-leha.
Persoalan lainnya jika ada kerusakan di bagian radiator depan, montir akan susah menjamah bagian-bagian dalam. Geraknya dibatasi lempeng baja yang hanya bisa dilepas jika dipotong dengan las. Sebuah pekerjaan mahabesar. Sirkulasi udara di dalam kabin ikut rusak karena baja itu. Sopir dan kenek kegerahan setiap kali jalan siang.
Selain Mercedes-Benz, tentara punya truk Unimog dan Reo. Dari segi perwajahan kabin, Mercedes yang potongannya kaku seperti balok kalah dari Unimog. Yang terakhir seperti peranakan biawak. Mulutnya panjang. Segala jenis medan, truk ini jalan menanjak oke, lumpur dan sungai sepinggang boleh.
Dari ujung ke ujung, panjang Unimog sekitar lima meter. Dimuati 20 serdadu dia kelimpungan.
Kalau jalan di sawah, Unimog meliuk-liuk seperti biawak. Pernya pakai per keong. Persenelannya delapan. Sekali dorong gigi, mesti empat supaya melaju. Seperti Mercedes, mesinnya mengandalkan tekanan angin. Macet sedikit di situ, berabe urusannya.
Banyak tentara lebih suka naik Unimog karena baknya tinggi, hampir 1,5 meter ketimbang Mercedes yang baknya hanya setinggi pinggang orang dewasa. Nah soal tinggi bak, Reo lebih gila lagi. Ini mobil dilihat dari jarak 10 meter seperti banteng saja. Bannya 10 biji. Delapan roda belakang dan dua di depan. Untuk pergerakan pasukan dalam jumlah besar, dia dan Mercedes bisa diandalkan. Beda dengan Mercedes, setir Reo di kanan. Produksi Korea.
Supaya tak berkarat, lempengan baja tambahan itu dicat. Umumnya hijau. Ada yang warna daun nangka tua ada juga hijau tahi sapi. Yang Reo biasanya dicat hitam. Kalau ada serdadu yang pintar menggambar, truk-truk itu biasanya dilukis dan diberi nama. Pasukan Rajawali, misalnya, menggambar burung Rajawali besar-besar. Orang Kopassus mengecat kabin mobilnya dengan warna bendera republik ini: merah putih. Ada juga yang menggambar kaligrafi berisi penggalan ayat-ayat al-Quran.
Kalau akan ada pergeseran pasukan (serpas), tentara biasanya pilih-pilih mobil. Biasanya mereka akan melirik mobil yang paling tebal bajanya. Kalau mobil yang tersedia ketebalan bajanya sama, mereka akan mencari yang baknya dicor. Ini memang favorit: truk yang sudah dibaja lalu dicor lagi. Biasanya, baja paling luar ukurannya empat milimeter dan selang sejengkal ke dalam ada pelat baja yang ketebalannya sama. Ruang di antaranya itu yang dicor. Tebal bak bisa membengkak hingga 10 centimeter. Saya kira dihajar GLM pun untung kalau baknya bisa lobang.
GAM juga kalau mau menghadang pilih-pilih. Favorit mereka serdadu yang menggunakan truk Toyota Dyna. Ini mobil orang Korem yang kadang dipinjamkan ke pasukan. Tak dibaja. Ada mungkin lima kali saya naik mobil ini. Semua serdadu dari semua jenis pasukan di Aceh akan mikir 100 kali kalau disuruh komandannya naik mobil ini. "Siapa mau setor nyawa di mobil krupuk," kata seorang prajurit Kostrad dari Batalyon 433, Makassar. Tapi kalau sudah perintah, mobil kerupuk itu tetap digunakan. Biasanya, tentara berebut tempat di pojok. "Biar kalau ada apa-apa langsung loncat."
GAM kadang pintar kalau menghadang truk yang sudah dibaja. Biasanya, mereka akan mengarahkan tembakan ke pintu mobil. Jadi serdadu terkurung di bak. Kalau ada tembakan, biar bak mobil sudah dibaja dan dicor 10 centimeter, tetap saja seisi bak tanam kepala. Tiarap, mendekat ke sisi bak asal tembakan.
Tapi GAM akan mikir 100 kali jika akan menghadang truk Mercedes atau Reo atau Unimog yang sudah dipasangi Senapan Mesin Berat (SMB). Di Aceh Barat, saya lihat baru Yonif Linud 305/Kostrad 305 (saya kira ini juga pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta) yang melengkapi beberapa truknya dengan SMB.
Kalau Anda menonton film perang, Anda mungkin pernah melihat sejenis senjata yang dipakai menembaki pesawat terbang. Nah, itu SMB. Dia dipasang di bak dan dilengkapi engsel sehingga bisa diputar-putar.
Panjang larasnya lebih semeter berdiameter sebesar botol kecap. Saya belum pernah mendengar bunyinya. Tapi saya kira akan memekakkan telinga. Panjang amunisinya saja sudah satu jengkal orang dewasa. Selongsongnya sebesar jempol kaki sementara proyektilnya seukuran kelingking dengan ujung lebih runcing. Kalau ada GAM lenggang kangkung dua kilometer di depan sana, peluru itu bisa membuat lobang seukuran bola tenis di dadanya.
GAM juga kemungkinan besar mengurungkan niatnya menghadang konvoi yang di situ ada mobil jenis Rantis (kendaraan perintis). Potongannya mirip-mirip Hornet. Komandan biasanya naik mobil ini. Setahu saya, hanya Kopassus yang punya.
Di atap Rantis ada barang mematikan: Automatic Grenade Launcher (AGL). Barangnya kecil saja, panjangnya paling semeter. Tapi yang keluar dari larasnya adalah granat yang sama yang dipakai di SPG. Keluarnya bukan satu-satu, tapi otomatis.
Kalau AGL sudah menyalak, banyak serdadu yang santai-santai. Yang mau dan punya rokok merokok. Yang bawa ganja melinting "rempah Aceh" itu. Mengisap rokok dalam-dalam sambil menembak, menurut beberapa serdadu, nikmatnya sukar dilukiskan.
Sebenarnya, tak banyak truk yang dibawa pasukan kita ke Aceh. Di Aceh Barat misalnya, di luar mobil 'kerupuk' Korem, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Ambil contoh Batalyon 521 hanya mengandalkan empat biji truk Mercedes untuk membantu mobilisasi pasukan. Yang pasukan gerak, seperti Kostrad dan Kopassus, setiap kompinya hanya punya satu kendaraan.
Reo, Unimog, dan Mercedes kalau makan solar naudzubillah. Satu liter hanya tahan lima kilometer. Untuk Mercedes isi tangkinya bisa sampai 130 liter. Sementara Jakarta setiap bulannya hanya sanggup menyediakan 200 liter solar untuk setiap truk. Jika tangki diisi penuh dan dipakai sekali Dorlok (Pendorongan Logistik), konvoi memang bisa sampai Lambaro tapi tidak bisa kembali ke Meulaboh.
Kita sepertinya harus berterima kasih pada perusahaan swasta di Aceh Barat yang menggratiskan cadangan solarnya untuk truk tentara kita. PT Socfin Indonesia misalnya. Perusahaan kelapa sawit ini setiap bulannya menyediakan tiga sampai enam ton solar untuk tentara dan polisi kita di sana. Dan bahkan menyediakan puluhan lembar lempengan baja dan membayari ongkos lasnya untuk truk serdadu Indonesia.
Lambaian Tangan
SATU-dua kali masuk kolam, tak ada ikan yang berhasil dijaring. Tak ada kontak tembak dengan GAM. Beberapa serdadu mulai percaya kalau setiap wartawan ikut pasti tak ada hasil.
Saya tak ambil pusing. Saya selalu mengikuti ke mana saja truk pergi. Seorang serdadu Kopassus geleng-geleng kepala melihat saya seperti gila naik truk.
"Siapa tahu ada tembakan," kata saya menjawab keheranannya.
"Tuh kan, doanya saja sudah jelek," Dalam hati saya malu. Bagaimana kalau benar terjadi penghadangan dan ada serdadu yang kena?
Roda truk tentara yang mendukung operasi pasukan di Aceh Barat tiap hari berputar. Kadang, dalam sehari, truk singgah di empat sampai lima pos yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan. Truk selalu dalam pengawalan, minimal lima sampai enam serdadu berjaga di bak.
Bepergian dengan truk tentara membutuhkan fisik yang prima dan semangat besar. Kalau badan loyo, rawan masuk angin. Kalau terlalu sering berdiri di truk, orang bisa turun bero. Paling tidak, mata Anda akan memerah dan rambut akan kusam disiram debu dan angin jalan.
Anda akan sering melihat lambaian tangan penduduk di sepanjang jalan. Paling tidak mereka akan melempar senyum. Anak-anak sekolah yang lagi bermain di halaman akan menghentikan permainannya dan berdesak-desakan di pagar sekolahnya hanya untuk melambaikan tangan kepada orang-orang yang, sebenarnya, tak mereka kenal. Ibu-ibu yang menggendong anak kadang setengah berlari keluar rumah agar tak kehilangan kesempatan.
Orang-orang yang di atas truk menikmati pemandangan itu. Mereka selalu membalas dengan tangan kanan. Orang Aceh akan tersinggung berat jika diberi lambaian tangan kiri. Pamali. Tapi biasanya tentara kita yang hiperaktif melambai-lambaikan tangan kalau ada anak dara yang tersenyum di teras rumah.
Tapi ada juga yang acuh melihat anak-anak sekolah. Malah ada yang sinis. "Anak-anak Aceh," kata seorang serdadu, "Hari ini melambaikan tangan tapi kalau besar membidikkan laras ke kita."
Dan kalau truk sudah jalan, rasanya tak ada lagi kendaraan di jalan. Setiap kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan akan menepi di bahu jalan. Tidak peduli apa jenisnya: truk Fuso, L-300, kereta (istilah orang Aceh untuk sepeda motor), motor (kendaraan roda empat), becak motor, dan lain-lain. Semua menepi. Mempersilakan truk bergerak dulu.
Truk tentara kita biasanya melaju kencang. Di tikungan, kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan, kadang panik lalu buru-buru menepi hingga hampir nyungsep.
Seringkali saya geli melihat adegan-adegan itu. "Jangan ditulis mereka takut sama kita," kata seorang sopir berpangkat prajurit kepala memperingatkan, "Mereka itu melihat kepentingan kita lebih besar sehingga pantas didahulukan."
Di atas truk, ada banyak hal yang harus diwaspadai. Yang ringan-ringan: percikan air atau debu jalan. Kalau aspal basah habis diguyur hujan misalnya, putaran roda truk akan mengangkat air ke atas bak. Mereka yang berdiri hingga 1,5 meter dari pintu truk akan terkena percikannya. Kalau sekadar air masih untung. Tapi kalau kebetulan ban menggilas tahi sapi .....
Kedua, tentu saja peluru. Perhatian tentara lebih tertuju pada barang satu ini. Ada kepercayaan di kalangan serdadu Indonesia kalau peluru di Aceh punya Nomor Registrasi Pokok (NRP). Ini jelas merepotkan. Setiap tentara punya NRP tersendiri, terdiri dari sederet angka yang antara lain bisa diketahui kapan seorang serdadu mulai ikut dinas militer berikut tanggal kelahirannya.
Jika sudah di atas truk lalu ada informasi kalau truk akan dihadang, bukan main tegangnya. Nyaris tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Kadang ada yang mencoba mengendorkan ketegangan dengan bersenandung sambil iseng melambai-lambaikan tangan ke bukit-bukit rawan tak berpenghuni di sepanjang jalan. "Daaaaa, dadah sayaaaaaang. Slaaaaa, slamattt jaaaaalan."
Sebenarnya, tentara kita punya bekal yang cukup untuk tak terlampau mengkhawatirkan peluru yang punya NRP itu. Toh mereka sudah dibekali rompi dan mobil lapis baja.
Ada yang mencari tameng tambahan yang diyakini lebih sakti: jimat, dari yang berbentuk barang sampai yang berupa doa tertentu yang harus dirapal secara rutin. Yang percaya memakainya atau paling tidak menuliskan doa-doa itu di rompi baja yang digunakannya, diselipkan di dalam dompet, atau hanya dirapalkan setiap kali akan bergerak.
Ada juga yang sepertinya tak ambil pusing. Seorang serdadu Kopassus malah menuliskan kalimat ini di rompi bajanya: Now I'm Nothing. Dia sebenarnya masih muda. Kalau tak salah ingat kelahiran pada 1979. Saya kira dia termasuk di antara serdadu yang masa mudanya "habis dimakan ransel."
Tapi rasa-rasanya daerah Geurutee punya tuah tersendiri sehingga setiap serdadu, tak peduli dia dari kesatuan mana, ketar-ketir saat melintas di pegunungan yang memisahkan Aceh Besar dan Aceh Barat itu.
Geurutee terkenal dengan jalannya yang berliku. Delapan kilometer panjangnya. Persisnya dari kilometer 64 hingga kilometer 72 dari Banda Aceh arah Meulaboh.
Dari Banda Aceh, kendaraan menanjak sejak kilometer 64. Meliuk-liuk, bermanuver di lereng gunung hingga tiba di Peuyoh Geurutee di kilometer 68. Setelahnya, kendaraan akan bergerak menurun hingga Gle Miga terlihat di ujung kilometer 72.
Jika sempat berhenti di Puncak Geurutee itu, saya yakin Anda akan merasakan sensasi tersendiri. Dari situ, Anda dapat melihat gradasi air laut di bawah sana. Dari yang warnanya biru muda hingga biru pekat. Anda bahkan dapat menghitung berapa saf ombak yang menggulung.
Dari puncak yang sama, Anda juga bisa membayangkan seperti apa jadinya jika, semoga tidak, kendaraan Anda terperosok ke jurang di kanan Geurutee.
Serdadu yang pernah tugas di situ tak dapat memastikan berapa dalamnya jurang di kanan Geurutee. Mereka pernah mencoba menaksir kedalamannya dengan berlomba-lomba melempar baterai PRC yang sudah usang atau menggelundungkan batu besar. Tapi tak seorang pun yang berhasil melihat batu itu sampai ke permukaan laut.
Bukit-bukit di kiri Geurutee juga menyimpan pesona tersendiri. Orang harus mendongak untuk melihat jelas pepohonan apa yang ada di situ karena terjalnya bukit. Tinggi lereng bukit yang tertutupi pepohonan hijau itu mungkin sama dengan kedalaman jurang di bawah sana: 100 meter.
Dari semua pesonanya itu, Geurutee tetap menjadi mimpi buruk bagi setiap tentara yang pernah melintasinya. Nyaris setiap pasukan yang melintasinya pernah dihadang GAM. Bahkan seorang Komandan Korem Teuku Umar nyaris mengembuskan napas terakhir di Geurutee sekiranya proyektil AK-47 yang ditembakkan GAM dari bukit-bukit di kiri jalan menembus kaca Hornet yang ditumpanginya.
Dihadang di Geurutee memang menjengkelkan. Anda tak bisa membalas tembakan karena GAM bersembunyi di tebing-tebing curam. Mereka dapat melihat Anda dengan jelas. Mereka bebas membidik atau melempar granat ke kendaraan yang melintas. Atau tak usah granat, menggelindingkan batu dari atas sana pun Anda yang duduk di bak truk tentara bisa dipastikan akan celaka.
Sementara itu, Anda akan sukar mencari tempat perlindungan jika sudah dihadang. Mau lari ke kanan jurang. Mau lari ke kiri terbentur tebing terjal. Jalan satu-satunya merapatkan badan ke tebing. Tapi kadang kalau sudah disiram tembakan dari atas, biasanya ada yang pantatnya terserempet peluru.
Singkatnya, serdadu praktis hanya bisa berlindung dan berharap semoga GAM segera kehabisan amunisi. Setelah dua jam GAM kehabisan amunisi, baru si serdadu bisa meninggalkan Geurutee.
Menembak saat penghadangan di situ hampir-hampir mustahil. Laras Anda hanya bisa tegak lurus, menembak langit. Kalau hanya kaliber 5,56 yang tertembak ke langit tak terlalu masalah. Tapi kalau TP yang terlempar jadi persoalan besar. Kepala bisa hancur sendiri karena bisa dipastikan TP itu akan kembali ke tempat Anda berdiri.
"Tidak tahu gunung apa itu," kata seorang serdadu dari Makassar, "Selalunya kita takut kalau lewat." Ada juga serdadu yang patah arang dengan Geurutee. Dia berharap suatu waktu nanti GAM yang melakukan konvoi dan TNI yang menghadang.
Tapi belakangan ini pasukan yang melintas di situ tak terlampau khawatir lagi. Sudah ada satu peleton serdadu yang saban harinya mengamankan Geurutee dari kemungkinan disusupi GAM.
Kasihan mereka. Tak ada warga desa yang bisa diajak bergaul. Yang ada hanya deru ombak di bawah sana juga gunung batu dan jurang yang curam. Hiburan satu-satunya adalah melihat kendaraan yang melintas.
"Bukan GAM yang bikin kami kesulitan di sini. Tapi agas," keluh seorang serdadu. Agas sejenis nyamuk tapi badannya jauh lebih lebih ramping. Gigitannya? Alamak .... gatal luar biasa.
Dia selalu datang malam hari dan menyasar kepala dan muka. Makhluk satu itu bisa menembus shebo kendati kepala sudah dibungkus kelambu dan ditutup dengan sarung berlapis. Autan tak mampan. Sakti, cairan antiserangga pembagian TNI, juga impoten. Agas hanya bisa diusir dengan asap rokok.
Geurutee hanya satu di antara ratusan perbukitan di Aceh Barat yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan serdadu yang kebetulan berkendaraan. Dan tentara kita tak kehabisan akal. Agar pandangan tak terhalang dan cepat mengetahui gerak-gerik musuh, mereka menggunduli bukit-bukit tempat GAM sering melakukan penghadangan.
Saat saya bergabung dengan pasukan di Aceh Barat, penghadangan sudah jarang terjadi. Rajawali juga kian kesulitan menemukan "ikan di kolam." Dengar-dengar, GAM merapat ke desa. Menjadi orang desa. Sukar bagi serdadu Indonesia untuk membedakan siapa GAM siapa penduduk biasa kecuali ada informasi intelejen yang memadai.
Di Patek dulu, seorang serdadu gondok luar biasa setelah meminjamkan koreknya kepada seorang warga yang mau membakar rokok. Orang itu ternyata Abu Tausi, salah seorang dedengkot GAM di sana.
Intelijen termasuk di antara kelemahan mendasar pasukan TNI di Aceh.
Sebenarnya, sudah ada Satuan Gabungan Intelijen (SGI) bertanggung jawab untuk urusan itu. Saya sering menguping pembicaraan serdadu di radio dan mendengar "Solo Garut Irian" disebut, ya itulah SGI. Gabungan Sandi Yudha Kopassus dan intel Kostrad.
SGI masuk Aceh pada 1999. Mereka lebih dulu ditanam sebelum Jakarta mulai mengirim kembali pasukan pascapenarikan DOM.
Soal menyamar, SGI memang jagonya. Mereka dibebaskan untuk "berekspresi." Ada yang memilih berambut gondrong, ada yang bertampang ustaz atau kiai, ada yang menjadi petani, nelayan, penjual kacang, dan sebagainya.
Di sebuah acara syukuran pasukan Brigade Mobil-menyusul tewasnya Abu Arafah, salah seorang komandan GAM di Aceh Barat-saya bertemu dengan seorang bapak yang dari dandanannya saya kira camat setempat. Roman mukanya bersih. Sedikit jenggot dan kumis di wajahnya mengesankan orang yang berkecimpung di dalam urusan agama. Dia berpeci hitam dengan setelan jas safari. Senyumnya tak pernah lepas.
Karena penasaran, saya bertanya kepada seorang letnan dua soal nama camat yang diajaknya berbicara. Serdadu itu tertawa terbahak-bahak. "Bang, dia mengira Abang camat di sini." Bapak itu hanya tersenyum. Dia ternyata komandannya SGI wilayah Calang.
Tapi penyamaran orang-orang SGI sepertinya kurang membuahkan hasil. Jarang-jarang ada pergerakan pasukan tempur dan teritorial yang didasari pada informasi orang SGI. Ada serdadu Indonesia yang bilang, orang SGI bisa apa saja di Aceh ini. Kecuali satu: bahasa Aceh.
SERINGNYA berkendaraan mengunjungi satu pos ke pos lain, mengantar saya menemukan sebuah dunia baru di Aceh: dunia orang-orang Jawa perantauan. Ada yang leluhur mereka datang ke sini sebagai buruh kontrak di perkebunan karet dan kelapa sawit pada 1920-an. Ada juga yang masuk ke Aceh pada 1980-an sebagai transmigran.
Seingat saya, ada 10 atau mungkin lebih sarana permukiman transmigran di Aceh Barat. Salah satu yang pernah saya kunjungi adalah SP 1 di Alue Peunyareng. Sebagian orang menyebut daerah itu Bukit Jaya. "Di sini dulu seperti Meulaboh saja. Ramai. Lampu di mana-mana," kata seorang transmigran.
Tapi SP 1 kini sudah kehilangan kekotaannya. Saat datang ke sana September silam, sudah tak ada transmigran Jawa yang menetap di situ. Mereka mengungsi, sebagian ke Banda Aceh dan sebagian lagi ke Medan saat gelombang pengusiran orang Jawa terjadi di Aceh Barat, 1999 silam. (Seorang ibu kelahiran Seunagan tapi berdarah Jawa masih ingat apa yang diteriakkan massa yang menuntut Referendum 1999 dulu, "Jawa koh takue. Jawa koh takue; potong leher orang Jawa)
SP 1 sudah menjadi hutan. Jalan-jalan aspal hingga ke pemukiman transmigran itu nyaris ditelan semak belukar di kiri-kanannya. Tak ada lagi yang berani menginjakkan kaki di kota mati itu.
Saya sempat singgah di sebuah rumah tak berpenghuni di situ. Halamannya disesaki semak belukar. Daun pintu dan jendala sudah tanggal. Beberapa kaca nako hitam masih menggantung di tatakannya. Balok-balok kusen rumah menghitam, hangus dimakan api. Atapnya roboh. Hanya dindingnya yang tetap tegak. Dan luar biasa! Saya yakin si empunya rumah itu dulunya punya kekayaan yang cukup untuk membangun sebuah rumah dengan semua dindingnya dicor! Dia tampak sudah meniatkan diri untuk menjadi orang Aceh, membesarkan anak, berusaha, dan mungkin meninggal di situ.
Saat memasuki ruang tamu, tak sengaja saya menyeret kaki. Begitu tanah yang menutup lantai tersibak, saya tahu kalau seluruh lantai rumah itu dilapisi keramik. Ukuran rumahnya 15x8 meter, belum termasuk garasi 3x4 meter persegi di kiri bangunan. Ada lima kamar di rumah itu. Di setiap kamar, saya melihat masih ada ranjang kayu yang tak berpelitur. Dari bekas langit-langit rumah yang tingginya ada dua meter, saya membayangkan akan menyejukkan tinggal di situ.
Di halaman ada banyak pohon buah; mangga, rambutan, jambu batu dan lain-lain.
Hampir setiap rumah yang saya masuki begitu modelnya. Di belakang rumah, tiap-tiap transmigran mempunyai kebun kelapa sawit. Totalnya, 330 kepala keluarga mempunyai 300 hektar. Sejak ditinggal, banyak kelapa sawit yang busuk di tandannya karena tak ada yang berani memanen.
Tentara dan pemerintah setempat ingin memanfaatkan kebun kelapa sawit yang tak terawat itu. Mereka membangun satu pos baru di sana. Puluhan orang-sebagian besarnya asli Aceh-yang tak memiliki pekerjaan direkrut untuk memanen sawit-sawit itu. Saya tak begitu jelas apa dasar perekrutannya. Tapi saya tahu, masih ada transmigran yang punya tanah di situ tapi tak dipanggil memanen isi kebunnya sendiri. Seorang mayor berdalih, panen sawit itu untuk memberi pekerjaan pada mereka yang menganggur. "Dari pada dipanen GAM," katanya.
Panenan dijual ke PT Socfin Indonesia. Socfin dan belasan perkebunan sawit dan karet lainnya dekat dengan tentara di Aceh Barat. Tentara mem-backing keamanan di wilayah perkebunan dan gantinya, mereka membantu menutupi kekurangan kebutuhan tentara, utamanya solar.
Saya pernah menanyakan kepada Kapten Dedi Hardono kenapa Jakarta hanya memberi jatah solar 200 liter per bulan untuk setiap truk. Apa mereka tak mengetahui keadaan di sini? Katanya, "Mau dibilang tidak tahu, tidak juga. Mau dibilang tahu, nyatanya begini."
Saat di Aceh Barat, banyak serdadu yang mendengar kabar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kalau di Departemen Pertahanan ada indikasi korupsi dana operasi keamanan Aceh hingga Rp 80 miliar. Mendengar itu, seorang prajurit Kostrad dari Makassar kesal luar biasa, "Lebih baik GAM kita pelihara daripada orang seperti itu. Ini namanya tentara makan tentara."
Negara menggaji tentara di Aceh Rp 17.300 per hari. Hanya Rp 10 ribu yang masuk ke kantor serdadu (Bandingkan dengan uang saku Rp 1.000 per hari yang diterima pasukan Rajawali yang masuk Pidie 1999 silam). Sisanya ditabungkan komandan agar saat pulang tugas, setiap serdadu punya simpanan.
Serdadu-serdadu itu perlu bermanuver untuk mencukupi semua keperluannya. Untuk tiga kali makan sehari, mereka mengeluarkan Rp 3.000. Sisanya untuk membeli barang-barang kebutuhan harian seperti sabun cuci, sampo, dan rokok-kalau memang merokok.
"Tentara kantongnya saja yang banyak. Isinya jangan ditanya," kata seorang prajurit kepala. Saya menghitung, di PDL (Pakaian Dinas Lapangan) tentara ada delapan kantong seukuran buku saku. Tak usah melirik isi kantong, dari PDL saja Anda sudah bisa membaca bagaimana kondisi keuangan mereka. Saya banyak melihat tentara yang memakai PDL penuh tambalan. Di bagian lutut, siku, paha .....
Saya berpisah dengan pasukan di Aceh Barat akhir Oktober silam, bersamaan dengan habisnya izin peliputan yang dikeluarkan Mayor Jenderal Djali Yusuf.
Suasananya penuh haru. Beberapa prajurit Kopassus tak dapat menahan rasa iri mengetahui sebentar lagi saya menginjak Jakarta. Ada juga yang mengajak saya bertemu di sebuah diskotek di bilangan Kota, Jakarta. "Nanti kalau ke sana gratis. Kalau mau nginap di hotel, telepon saya saja nanti. Percaya deh gratis."
Sebagian besar ingin melihat hasil reportase saya. "Sayang yah, Abang tidak bawa foto. Kalau bawa dan tulisannya dimuat 'kan orang di batalyon bisa lihat." Ada juga yang masih tak paham kalau izin liputan saya hanya dua bulan. "Gue kira lu tinggal setahun di sini. Bareng aja pulangnya."
Ada juga yang sambil bergurau menyarankan saya untuk menulis yang "baik-baik saja" kalau tak mau "disekolahkan." Beberapa lainnya meminta saya tak usah menulis soal rokok Japrem (jatah preman) serta soal burung dan VCD di pos. Dengar-dengar, ada instruksi dari komandan militer setempat yang melarang serdadu memelihara burung dan punya VCD di pos. (Di rumah komandan resort militer setempat, saya malah melihat sangkar burung seukuran kamar kos mahasiswa, kuda, dan juga orang utan)
Yang paling berkesan, perpisahan dengan orang pos di Kaway VXI. Seisi pos berkumpul, menggelar perpisahan ala kadarnya. Ada yang memegang gitar, ada yang memeluk baskom, ada yang menenteng piring dan sendok.
Seorang serdadu memberi aba-aba pesiapan: "Cek-cek-cek .... sound-sound-sound .... gendang-gendang ... kurang keras, kurang keras. Gendangnya tes ... tuk-tuk-tuk ... volume-volume-volume ... bas-bas-bas. Udah-dah-dah."
Malam itu mereka melantunkan Malam Terakhir, lagu perpisahan yang sekaligus ditujukan untuk orang-orang yang akan menunggu kepulangan mereka di dermaga Ujung, Surabaya, nanti: "Malam iniiii, malam terakhir bagi kitaaaaaa untuk melepas rasa rindu di dhadaaaa, esok akuuu akan pergi lama tak kembaliii, kuharap engkau selalu sabar menantiii....." *
Dimuat di Majalah Pantau edisi 3 Februari 2003, artikel ini merupakan salah satu bacaan paling favorit saya