OLEH:ACEHKITA.COM
DENGAN wajah sumringah, lelaki paruh baya itu memasuki tempat pemungutan suara. Seorang perempuan terus menggandeng tangannya di pagi Senin, 9 April lalu. Di pintu TPS, suami-istri yang mengalami cacat-mata (tunanetra) ini dituntun petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara sembari menyerahkan surat undangan pemilihan. Mereka lantas dipandu ke deretan kursi, berkumpul bersama sejumlah warga lain yang tengah menunggu giliran dipanggil.
DENGAN wajah sumringah, lelaki paruh baya itu memasuki tempat pemungutan suara. Seorang perempuan terus menggandeng tangannya di pagi Senin, 9 April lalu. Di pintu TPS, suami-istri yang mengalami cacat-mata (tunanetra) ini dituntun petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara sembari menyerahkan surat undangan pemilihan. Mereka lantas dipandu ke deretan kursi, berkumpul bersama sejumlah warga lain yang tengah menunggu giliran dipanggil.
Tak berapa lama ia dipanggil. “Pak Zuhdi,” panggil seorang petugas KPPS.
Ia mengacunkan tangan. Seorang petugas, kembali menuntunnya untuk
mengambil surat suara di meja petugas. Ia mendapat dua surat suara. Satu
dipegang di kanan, satunya lagi di sebelah kiri.
“Yang di kanan untuk gubernur dan yang kiri untuk walikota,” petugas
itu memberi penjelasan soal surat suara yang baru didapati Zuhdi.
Mendapat penjelasan, Zuhdi mengangguk paham. Kepadanya juga diberikan template, alat bantu semacam sampul, yang telah dilubangi sesuai gambar dan jumlah calon pada surat suara asli. Melalui lubang template inilah nanti Zuhdi menyoblos.
Zuhdi beranjak ke bilik suara, tentunya dengan dipandu sang petugas.
Tapi, hanya sampai di samping bilik suara. Di dalam bilik, Zuhdi
meraba-raba kertas suara, hingga menemukan calon pemimpin yang menjadi
favoritnya.
Usai pria berusia 45 tahun itu mencoblos, tiba giliran istrinya, Khadijah. Ia pun diperlakukan sama, seperti suaminya tadi.
Zuhdi dan Khadijah merupakan pemilih tunanetra. Ia bersama dua
penyandang cacat lainnya, ikut memberikan hak politik mereka secara
bersama-sama dengan 444 warga lain di TPS 1 Neusue Aceh, Banda Aceh,
pada perhelatan demokrasi lima tahunan itu.
Lain lagi dengan Herlina, 40 tahun. Warga Lamteumen Timur itu
menggunakan kursi roda. Herlina tak mengalami kesulitan saat menandai
calon pilihannya di kertas suara atau melipat kertas suara. Namun,
dengan kondisi fisiknya yang membutuhkan bantuan kursi roda, Herlina
jelas kesulitan dalam mencoblos dan memasukkan surat suara ke kotak
suara, yang tidak bisa dijangkaunya.
“Saya susah mencoblos dan memasukkan kertas suara, karena posisinya terlalu tinggi,” kata dia.
Kata Herlina, penyelenggara pemilihan tidak menyediakan bilik suara
khusus kepada para penyandang cacat. Itu pula yang menyebabkan Murayya,
35 tahun, tak bisa menyalurkan hak politiknya dengan asas bebas dan
rahasia.
Saat menggunakan hak suaranya di TPS Masjid Baiturrahim, Ulee Lheue,
Murayya yang menggunakan kursi roda, terpaksa meminta bantuan dari
petugas KPPS. Sebab, meja di bilik suara yang terlalu tinggi tidak bisa
digunakan oleh Murayya. Akibatnya, petugas KPPS masuk secara bebas ke
bilik suara dan meminta bantuan petugas.
Lain halnya dengan cerita Sopian, warga Desa Doy, Ulee Kareng.
Penyandang tunanetra berusi 29 tahun ini tak bisa memilih gubernur dan
walikota pilihannya, karena tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap.
Padahal, pada pemilihan kepala daerah 2006 dan pemilihan umum 2009 lalu,
Sopian tak kehilangan hak pilihnya,
“Mungkin saat didata saya tidak ada di tempat,” kata Sofyan yang sehari-hari menjual jasa pemijatan di Peunayong.
Ia pun sempat mendatangi perangkat Desa Doy untuk menanyakan namanya
di dalam DPT. Namun, Sofyan sepertinya terlambat melapor. “Mereka bilang
kenapa tidak cek waktu masih daftar pemilih sementara,” ujar Sofyan.
“Bagaimana saya cek, baca saja tidak bisa karena saya tidak bisa
melihat.”
Dalam sebuah simulasi pencoblosan yang digelar Komisi Independen
Pemilihan di Hotel Lading Banda Aceh, terlihat antusiasme para
penyandang difabel dalam mengikuti perhelatan demokrasi itu. Ketua Pusat
Pemilu Akses Penyandang Cacat, Syarifuddin, meminta KIP menyediakan
surat suara khusus bagi para penyandang cacat tunanetra.
Ia juga memprotes ketiadaan data penyandang cacat di Aceh.
Seharusnya, kata Syarifuddin, pemerintah menyediakan kolom khusus
penyandang cacat dalam formulir pendataan sensus penduduk. “Sehingga
data penyandang cacat ada, dan saat pemilu kami diperhatikan,” kata
Syarifuddin.
Ia memprediksi, penyandang cacat di Aceh pascatsunami berjumlah
50.000 orang. “Ada yang bawaan lahir, tapi lebih banyak cacat karena
bencana tsunami,” kata dia.
Tidak adanya perlakuan khusus bagi penyandang cacat menjadi temuan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang menurunkan sejumlah relawannya
untuk memantau pilkada Aceh. Ketua Komnas HAM Ifdal Kasim mengatakan,
seharusnya penyelenggara pemilihan menyediakan tempat dan logistik
khusus untuk kelompok difabel dalam menyalurkan hak politiknya.
“Penyelenggara harus menyediakan alat bantu bagi tuna netra, dan TPS yang mudah diakses bagi difabel lainnya,” kata Ifdal.
Bahkan Undang-Undang memberi jaminan kepada kelompok khusus (rentan).
Hal ini tercantum dalam pasal 40 ayat (2), UU No 39 Tahun 1999 tentang
HAM “Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil,
dan anak-anak berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus,” kata
dia.
Memang, KIP Aceh tidak menyediakan TPS khusus atau bilik suara khusus
kepada para penyandang cacat. Hanya saja, KIP menyediakan 2.250 buah
template kepada pemilih tunanetra yang bisa membaca huruf braile.
Wakil Ketua KIP Aceh Ilham Saputra mengakui pihaknya mengalami
kesulitan dalam mendistribusikan template tersebut. Pasalnya KIP Aceh
tidak memegang data seberapa banyak dan di TPS mana saja penyadang cacat
netra memilih.
“Solusinya template tersebut kita serahkan pada Panitia Pemilihan Kecamatan, merekalah yang mendistribusikannya,” ungkap Ilham.
Ke depan, Ilham berjanji bahwa KIP Aceh akan lebih memperhatikan para
penyandang cacat. Sebab, kesadaran politik para penyandang cacat tak
kalah dengan masyarakat kebanyakan.
Lihat saja pengakuan Muhammad Nur. Warga Cot Nuran, Kecamatan
Keumala, Pidie, ini mengaku selalu mengikuti perkembangan politik
melalui siaran radio, juga media cetak. “Kami tidak mau kalah dengan
orang lain, meski kami tunanetra,” kata pria yang akrab disapa Matnu
itu.
Ia pun hafal betul nama calon gubernur dan calon walikota Banda Aceh,
termasuk nomor urut dan jalur yang digunakan pasangan calon. []
0 komentar:
Posting Komentar