-->
Kamis, 01 Maret 2012 - 0 komentar

Cabul Atas Nama Agama

OLEH : GATRA.COM

Atas nama ketaatan kepada kiai, 29 santri dicabuli pengasuh pesantren di Batang, Jawa Tengah. Dogma agama sering menjadi topeng perbuatan amoral oknum pemuka agama. Kasus yang sama sering terjadi.
Mapolres Batang, Jawa Tengah, didatangi ratusan orang dari beberapa ormas Islam, Jumat pekan lalu. Massa yang kebanyakan berasal dari anak organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU), seperti Gerakan Pemuda Ansor dan Ikatan Pemuda NU, itu menuntut agar polisi mengusut tuntas kasus pencabulan yang dilakukan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Dholam, Mohammad Shobihin Akhmad.

Tokoh agama kelahiran Batang, 4 Mei 1969, itu dilaporkan mencabuli puluhan santri yang belajar di yayasan miliknya. Massa yang melakukan aksi damai mendesak agar polisi segera memproses Shobihin karena sampai saat ini yang bersangkutan masih melenggang bebas. Massa menagih janji Kapolres Batang, AKBP Tony Hartono, yang mengatakan hendak mengusut tuntas kasus ini. Hal itu diucapkan Tony pada pertemuan dengan perwakilan dari kantor Departemen Agama setempat dan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Batang.

Shobihin sendiri kabur sejak aibnya tercium publik, Maret lalu. Saat Gatra mendatangi pesantren yang terletak di Desa Banjiran, Kecamatan Warungasem, Kabupaten Batang, itu tak terlihat lagi jejak Shobihin. Pesantren sederhana itu tak lagi diurusnya sehingga sebagian besar santri memilih pulang kampung.

Ramot Sitompul, penasihat hukum Shobihin, mengungkapkan bahwa kliennya tidak berniat kabur. “Polisinya saja yang tidak nyari,” katanya kepada Ade Faizal Alami dari Gatra. Menurut Ramot, kliennya saat ini berada di sebuah pesantren di Bojonegoro, Jawa Timur. Ia bisa menghadirkan Shobihin kapan saja asalkan kliennya dijamin keselamatannya oleh aparat kepolisian.

Menurut Ramot, apa yang dilakukan kiai berusia 42 tahun itu tak lebih dari metode pengobatan belaka. Adanya kontak fisik dengan pelapor adalah permintaan santri sendiri. Itu pun sebatas dipegang alat vitalnya. Pernyataan para korban lain yang kemudian melapor, kata Ramot, adalah rekayasa yang diprakarsai Ketua Koperasi Pesantren Nurul Dholam, Hasanuddin, yang punya masalah pribadi dengan Shobihin. Kliennya menuding Hasanuddin menggelapkan sapi-sapi milik pesantren.

Terkuaknya topeng sang kiai bermula dari laporan seorang korban, sebut saja Dede, 23 tahun, pada Maret 2011. Dede, yang mengaku menjadi korban selama satu tahun, melaporkan kasus yang dialaminya kepada Hasanuddin, santri senior yang menjabat sebagai ketua pondok. Hasanuddin kemudian meneruskan laporan ini ke polisi.

Menurut pengakuan Dede, pada 2007, saat pertama kali bertemu Shobihin di pesantren di sebuah kota di selatan Jawa Tengah, ia tertarik oleh kealiman dan ketinggian ilmunya. Shobihin yang rajin beribadah dan mendalam ilmu-ilmu agama membuat Dede ingin belajar kepadanya.

Pada 2010, Shobihin memintanya mengaji di pesantren miliknya di Batang. Sejak itulah Dede nyantri di Nurul Dholam. Kiai yang dipanggilnya abah itu mengajarkan kitab-kitab tasawuf, seperti Al-Hikam, Minhaj al-Abidin, dan Kifah al-Atqiya.

Baru bulan kedua di tempat itu, Dede sudah mendapat perintah yang aneh-aneh, seperti memijat. Awalnya hanya memijat biasa. Namun, lama-lama sang kiai memintanya mengonani atau melakukan oral. “Saya mengira ini ujian dari Abah, seperti Nabi Khidir menguji Nabi Musa,” katanya kepada Gatra. Shobihin menjelaskan bahwa hal itu dilakukan sebagai media mendekatkan diri kepada Allah.

Kejadian seperti itu berulang setiap malam Jumat. Suatu sore, Shobihin mengirim pesan singkat kepada Dede: “Nanti malam Allah akan memperlihatkan kewalian saya kepada santri-santri tertentu.” Malamnya, Dede diperintahkan melaksanakan salat taubat, kemudian dicabuli.

Pada malam yang lain, Dede dibangunkan untuk melaksanakan salat hajat 50 rakaat, kemudian kembali diperlakukan seperti itu. Menurut Dede, gurunya itu selalu mengulang-ulang doktrin bahwa jika menolak kemauannya, ia akan dimusuhi semua wali yang ada di langit dan di bumi. Kejadian dengan pola yang sama terus berulang selama sekitar satu tahun.

Karena terus terjadi, lama-lama Dede sadar bahwa itu semua tak lain hanya tipu daya Shobihin. Pada Maret 2011, Dede melaporkan hal itu kepada Hasanuddin. Awalnya, laporan Dede diabaikan karena dianggap bohong, hingga Dede mengancam bunuh diri di tempat itu bila laporannya tidak ditindaklanjuti. Barulah Hasanuddin menindaklanjuti laporan Dede.

Kepada Gatra, Hasanuddin mengaku awalnya tidak menyangka kiai yang dipujanya berperilaku seks menyimpang. Namun, setelah dihubung-hubungkan dengan kejadian-kejadian yang lain, ia menjadi mafhum. Menurut dia, banyak santri yang berperilaku pendiam dan tertutup. Dede bahkan lebih suka tidur di pos depan kandang sapi daripada di kamarnya.

Menurut Sudjatmiko, aktivis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), korban Shobihin seluruhnya 29 santri berusia 16 hingga 23 tahun. Angka ini didapat P2TP2A dari hasil penelusuran terhadap korban dan para santri lain. Namun, dari jumlah itu, yang resmi melapor ke polisi hanya sembilan orang. Salah satu korban ada yang dicabuli sejak kelas V sekolah dasar.

Para korban mendapat perlakuan mulai dari dipaksa onani, mengonani, disuruh melakukan oral, hingga disodomi. Sudjatmiko meminta polisi menangkap Shobihin karena bukti-buktinya lengkap, termasuk hasil visum dari RSUD Batang.

Kapolres Batang, AKBP Tony Harsono, melalui humasnya, AKP Djafar Sodiq, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah dua kali melayangkan surat panggilan kepada Shobihin, tetapi yang bersangkutan mangkir. Ia juga mengaku, polisi kesulitan mencari alat bukti karena kejadiannya sudah lama. “Kalaupun ada sarung atau karpet yang terkena sperma, mungkin sudah dicuci,” ujarnya. Tak mengherankan bila status Shobihin saat ini baru sebatas saksi.

Sikap polisi yang letoi itulah yang kemudian membuat masyarakat geram. Sekelompok warga setempat bahkan sampai marah dan mengancam akan membakar seluruh kompleks pesantren bila kasus itu tidak ditindaklanjuti.

***

Di Surabaya, kasus serupa terjadi tiga tahun silam. Muhammad As'ad Syukur Fauzani, pengasuh Pondok Pesantren Yayasan Almukhlashin Ibadurrahman atau lebih dikenal dengan nama Yayasan Ya Ibad, dilaporkan ke polisi karena mencabuli 18 santriwatinya.

Kiyai As’ad, yang tinggal di Jalan Kedung Rukem IV 43-45, Surabaya, dilaporkan wali santri karena dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap para santri perempuan. Pencabulan itu dilakukan As'ad dengan cara memanggil para santri wanita berusia belasan tahun ke dalam ruangannya sebelum atau sesudah mengaji. Para korban mengaku dicium, dipeluk, dan dipegang alat vitalnya.

Setelah melalui serangkaian proses penyidikan polisi, kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. As’ad terancam Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Namun, sebelum vonis, lelaki asal Pasuruan itu meninggal dunia karena penyakit gula.[GATRA.COM]
- 0 komentar

Sejuta Ilmu Sejuta Tipu

OLEH : GATRA.COM

Di Kabupaten Batang, khususnya di Kecamatan Warungasem, sulit mencari orang yang tidak mengenal Kiai Shobihin. Tokoh agama kelahiran Batang, 4 Mei 1969, itu dikenal santun dan berilmu. Di Pesantren Nurul Dholam, yang secara harfiah berarti cahaya kesesatan, Shobihin mengasuh sekitar 100 santri dari dalam dan luar kota.
Hasanuddin, santri angkatan pertama di tempat itu, mengatakan bahwa dia sangat kagum pada ilmu yang dimiliki Shobihin, meski gurunya itu tidak pernah mondok di pesantren mana pun. Menurut Hasanuddin, gurunya itu sering berkata bahwa ia tidak memiliki guru dhahir, tetapi dibimbing langsung oleh Raden Said (Sunan Kalijaga), Imam Ghazali, Syaikh Athoillah (penulis kitab Al-Hikam), dan Ki Ageng Penatas Angin. Hasanuddin sempat terpukau oleh pengakuan gurunya itu dan meyakininya selama bertahun-tahun sebelum menyadari bahwa itu adalah kebohongan.

Dalam hubungan dengan santrinya, Shobihin memosisikan diri sebagai kiai terbaik, sehingga santri Nurul Dholam dilarang mengaji kepada guru lain. Ia juga mengajarkan bahwa hidmah terhadap guru secara sempurna harus mengalahkan semuanya, termasuk ketaatan kepada orangtua.

Konsep pendekatan diri kepada Allah yang diajarkan Shobihin melalui empat tahap. Yakni, jalan penghinaan diri, menyucikan nafsu, fana syaikh, dan fana rasul. Semua itu disebutnya jalan menuju makrifatullah. Jalan merendahkan diri yang diajarkan Shobihin bermacam-macam. Antara lain, setiap malam Jumat Kliwon, santri disuruh bertaubat dengan cara berguling-guling di tengah kebun yang gelap sambil bertelanjang atau hanya memakai celana dalam. Ini dimaksudkan agar santri merasa hina di hadapan Allah.

Menurut mantan Ketua Yayasan Al-Mukmin, Pondok Pesantren Nurul Dholam, Bahauddin Abdullah, cerita-cerita tidak masuk akal dan ritual aneh melingkupi cara mengaji ala Shobihin. Sang kiai pernah bercerita tentang pengalaman spiritual mati suri. Dalam mati suri itu, ia mengaku melihat surga, neraka, malaikat pencatat amal, dan arsy atau singgasana Tuhan. Shobihin juga mengaku pernah bermimpi bertemu Rasulullah dan diajak mi'raj bersamanya serta diangkat Allah menjadi kekasih-Nya.

Shobihin sering mengulang ucapannya bahwa yang taat kepada gurunya akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, yang tidak taat akan mendapat laknat dari Allah dan akan dimusuhi semua malaikat. Doktrin-doktrin itu disampaikan Shobihin tidak hanya melalui pengajian, melainkan juga pada obrolan usai mengaji dan melalui pesan singkat (SMS).

Namun lama-lama borok Shobihin terungkap juga. Bahauddin mengungkapkan, pada 2007 pernah berkembang isu pencabulan yang dilakukan Shobihin. Ketika itu, santri senior bernama Muhammad Bakrin mengajak bubar sekitar 200 santri hingga hanya tersisa enam orang. Pada waktu itu, Shobihin sempat melarikan diri beberapa lama. Namun, beberapa bulan kemudian, Shobihin kembali dengan cerita bahwa ia mendapat perintah uzlah (menyepi) dari gurunya.

Takut peristiwa itu terulang, Bahauddin mengajukan syarat agar Shobihin menikah bila ingin kembali mengasuh pesantren. Pernikahan Shobihin secara siri digelar pada 20 Agustus 2009 dengan wanita lokal bernama Laila Aniqoh binti H. Saifuddin. Namun, sejak menikah, istrinya tetap tinggal bersama orangtuanya dan Shobihin tetap di Pesantren Nurul Dholam. “Dia tidak mau menggauli istrinya ataupun menafkahinya,” kata Bahauddin. Istri Shobihin kemudian kabur dari rumah orangtuanya karena mengalami depresi.

Kini Bahauddin menjadi orang yang turut melaporkan perkara itu ke polisi. Sebelumnya, ia bersama pengurus pesantren bersilaturrahmi kepada para ulama yang ada di Pekalongan, seperti KH Sa’dullah Nahrowi, KH Zakariya, KH Sam’ani, Habib Novel, dan Habib Muhammad Lutfi bin Yahya. “Para ulama itu menyarankan agar diproses menurut hukum yang berlaku di Indonesia,” katanya kepada Ade Faizal Alami dari Gatra.[GATRA.COM]
- 0 komentar

Status "Wali" Menjerat Anak Muda

OLEH : GATRA.COM

Majelis taklim Hasan di Jakarta pertama kali bertempat di rumah Haji Atung, Kampung Kandang, Jagakarsa. Promosi kewalian Hasan membuat banyak anak muda tertarik. Beberapa orang kaya terpikat menjadi donatur. Dana itu, antara lain, untuk promosi lewat spanduk, baliho, umbul-umbul, dan website.
Haji Atung termasuk salah satu penyumbang. Donatur utama lainnya, sebut saja Haji Nuril, dari Cilandak. Rumah Hasan yang kini disebut Istana Segaf di Ciganjur berdiri di atas tanah hibah ayah Nuril. Sebelum Istana Segaf jadi, Hasan sering tinggal di rumah Nuril, plus difasilitasi memakai mobil Nuril.

Sialnya, kata Edo, anak Haji Atung dan Haji Nuril juga jadi korban cabulan Hasan. Pada Mei 2009, Hasan dan istrinya menunaikan umrah, dibiayai seorang pengusaha. Dalam rombongan itu ada sang pengusaha, Haji Nuril dan istri, serta anaknya, Harun, bukan nama sebenarnya. Rombongan ini menginap di Hotel Hilton.

Menjelang tengah malam, Hasan minta istrinya membeli jus. Sang istri berangkat bersama Haji Nuril dan istrinya. Saat itulah, Hasan memanggil Harun ke kamar. "Saat pulang, istri Haji Nuril menemukan Harun di kamar Hasan sedang dipangku Hasan," tutur Edo.

Sewaktu kejadian di Mekkah itu, Harun berusia 15 tahun. Sejak usia 12 tahun, Harun sudah dicabuli Hasan. “Pada waktu umur 12, kemaluan Harun belum bisa bangun. Hasan kasih dia minum paksa obat perangsang,” kata Edo. Proses pelecehan seksual itu terus berlangsung sampai tahun lalu. “Dari sekian korban, Harun paling hancur mentalnya,” Edo menambahkan.

Wakil Ketua KPAI, Asrorun Ni'am, mensinyalir, tindakan pelecehan seksual itu membuat korbannya kecanduan. Akibatnya, orientasi seksual korban dikhawatirkan menyimpang. "Takutnya sekarang mereka addict," katanya. Tanpa Hasan, beberapa korban dikabarkan melakukan aksi yang diajarkan Hasan dengan sesama temannya.

Ada pesan BBM antarkorban yang berisi ajakan untuk saling beraksi di kamar mandi. Ni'am berpandangan, para korban harus menjalani rehabilitasi supaya potensi penyimpangan orientasi seksual itu hilang.

Dalam perbincangan keluarga korban dan KPAI berkembang kesan, polisi lamban menangani kasus ini. "Harusnya dua minggu cukup untuk mendalami keterangan saksi. Setelah itu, pelaku bisa dipanggil," ujar sumber di KPAI. Ada dugaan, polisi takut memeriksa Hasan karena banyaknya massa NM. Tapi juru bicara Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto, membantah takut.

"Tidak ada rasa takut bagi kami. Anggota kami saja yang bersalah pasti ditangkap. Apalagi ini masyarakat biasa," katanya. Terlapor belum diperiksa, kata Rikwanto, karena penyidik masih ingin mengonfirmasikannya kepada saksi ahli bahasa. "Yang dilaporkan statusnya masih terlapor, belum tersangka," kata Rikwanto kepada Deni Muliya Barus dari Gatra.

Tanggapan pro dan kontra berkembang di Kampung Kandang, Jagakarsa, kawasan yang menjadi basis awal pertumbuhan majelis itu. Perbincangan yang diikuti Gatra di Masjid Al-Akhyar, Kampung Kandang, Senin lalu, memperlihatkan resistensi mereka pada NM. Masjid yang dikelola Haji Atung ini dulu tempat pertama Hasan berdakwah. "Nggak di sini saja, Mas, yang menolak. Warga Jagakarsa, Cilandak, sampai Condet pun pada menolak," kata seorang pengurus masjid.

Di sisi lain, ada dukungan tokoh masyatakat setempat, Murtanih. Penolakan warga, kata Murtanih, hanya suara sebagian. "Adanya Numus (Nurul Musthofa) ini sangat besar manfaatnya dibandingkan dengan mudaratnya," kata Murtanih. Anak muda Kampung Kandang jadi mudah diajak mengaji. "Daripada remaja kelayapan nggak jelas, mending mereka ngaji," tuturnya.

Kepala SD Negeri Lenteng Agung 12 itu juga mendengar selentingan soal skandal seksual Hasan. Tapi ia menyerahkannya pada proses hukum, takut jadi fitnah. Ia menjadi jamaah Hasan sejak 1998. "Saya tahu kepribadiannya. Dia orang baik dan santun. Kalau dia sampai melakukan seperti itu, tidak mungkinlah. Buktinya, jamaahnya terus berkembang," katanya.

Empat anak Murtanih juga jamaah NM. Murtanih memang sering mengajak keluarga, anak dan istri, ikut pengajian NM. Ia merasa, anak-anaknya tambah pintar mengaji, juga membaca ratib. "Jadi, tidak benar warga menolak Numus hadir di Kampung Kandang," ia menegaskan.

Gatra menempuh berbagai cara untuk mengonfirmasikan tuduhan itu kepada Hasan bin Ja'far. Gatra meminta waktu wawancara melalui Koordinator NM, Abdulrahman. "Sudah saya sampaikan, tapi Anda tahu sendiri, jadwal habib padat sekali," kata Abdulrahman. Sandy Arifin, yang di beberapa media mengaku sebagai pengacara Hasan, tidak merespons telepon dan SMS Gatra. Surat elektronik melalui Facebook dan e-mail Hasan Assegaf juga tak ditanggapi.

Saat pengajian di makam Habib Kuncung, Kalibata, Sabtu malam lalu, Gatra menyerahkan kartu nama, sekaligus minta wawancara. "Oh ya, dari Gatra," begitu tanggapan Hasan. Senin malam lalu, saat Hasan melakukan pengajian di Kalibata Utara V, Gatra kembali hendak berkonfirmasi.

Usai pengajian, Hasan menuju kendaraannya yang terparkir di sebuah gang sempit. Gatra menjabat tangan Hasan dan menyampaikan konfirmasi. Hasan hanya menjawab, "Oh ya, ya," sembari melenggang masuk Toyota Camry hitam nomor B-1-NM.[GATRA.COM]
- 0 komentar

Eksploitasi Birahi Berjubah Wali

OLEH : GATRA.COM

Habib muda yang sedang naik daun diadukan mencabuli puluhan jamaah pria remaja, dengan dalih doktrin ketaatan pada wali. Korban terindikasi kecanduan dan dikhawatirkan mengalami penyimpangan orientasi seksual. ***

Sepucuk surat panggilan dilayangkan pihak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Surat yang diteken Ketua KPAI, Maria Ulfah Anshor, tertanggal 13 Februari 2012, itu ditujukan kepada Habib Hasan bin Ja'far Assegaf, beralamat di Jalan K.M. Kahfi, Gang Manggis, Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Dijadwalkan, pihak terpanggil diperiksa Wakil Ketua KPAI, Asrorun Ni'am Sholeh, pada Jumat besok pukul 14.00 WIB. Pemanggilan Hasan oleh KPAI itu terkait statusnya sebagai terlapor atas pengaduan yang cukup serius untuk seorang tokoh agama: "kekerasan psikis dan kekerasan seksual". Sebelumnya, pada 16 Desember, Hasan dilaporkan ke polisi atas tuduhan telah melakukan pencabulan. Namun, hingga pertengahan Februari, polisi belum juga memanggil dan memeriksa terlapor. Aparat penegak hukum itu kalah sigap ketimbang KPAI, yang langsung melayangkan pemanggilan setelah menerima pengaduan pada Selasa, 7 Februari.
Meski berusia muda, 38 tahun, dan namanya belum lama mencuat, Hasan Assegaf bukan sosok sembarangan. Ia ikon kunci Nurul Musthofa (NM), majelis taklim yang 10 tahun terakhir naik daun, menjadi magnet baru bagi puluhan ribu anak muda Jakarta dan sekitarnya.

NM masuk dua terbesar majelis taklim di Jakarta, selain Majelis Rasulullah pimpinan Habib Mundzir Al-Musawa. "Ciri khas Nurul Musthofa suka menggelar pengajian sambil menutup jalan raya," kata Usman Arai, salah satu perintis NM yang telah keluar tiga tahun silam. Itulah sebabnya, NM kerap menuai sorotan. Pengaduan pelecehan seksual ini menambah panas sorotan terhadap majelis pencinta habaib itu.

Korban yang mengadu adalah murid-murid lingkaran dekat sang habib. Sebagian malah kerabat sejumlah orang yang berperan penting dalam merintis pengembangan majelis itu. Empat di antaranya tercatat putra keluarga habaib. "Saya merasa sakit dan diinjak-injak. Rasanya muka saya seperti ditempeleng dengan kotoran sapi," kata Hasyim Assegaf, 48 tahun, seorang perintis NM, yang sepupu dan keponakannya jadi korban pencabulan.

Terbongkarnya skandal Hasan itu terpicu somasi yang dilayangkan Hasan kepada delapan orang, November 2011. Seorang pengusaha pencinta habib, sebut saja Edo, yang ditemui Gatra di rumah Hasyim Assegaf di Jagakarsa, menjelaskan bahwa masalah ini bermula ketika korban cabulan Hasan mengadu kepada kakak perempuannya. Si kakak mengadukan kepada guru mengajinya, Maryam, di Jagakarsa.

Maryam adalah menantu Haji Atung, sosok yang pada tahun 2000-an sempat menampung Hasan bin Ja'far di rumahnya. Setelah mendapat laporan, Maryam melarang muridnya datang ke NM. Berita ini menyebar ke beberapa pihak. Informasi itulah yang membuat Hasan gerah dan melayangkan somasi.

Dua orang yang turut disomasi adalah Maryam dan Usman Arai, orang yang pertama kali mendatangkan Hasan dari Bogor ke Jakarta. Mereka yang mendapat somasi kemudian sepakat membongkar kasus pelecehan seksual Hasan.

Pihak yang disomasi dan korban pelecehan Hasan sempat menghadap Habib Rizieq Shihab, Ketua Front Pembela Islam (FPI). Rizieq diminta menjadi penengah antara Hasan dan korban. Sebulan setelah menghadap Rizieq dan tidak ada kemajuan berarti, kasus ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya, karena ancaman pada korban dan keluarganya terus meningkat.[GATRA.COM]
- 0 komentar

Oleh-oleh Deklarasi 60 Kg Sampah Buat Bang Zack

OLEH :THEGLOBEJURNAL.COM

Sekitar Pukul 15.00 WIB, Minggu (12/2) massa Partai Aceh mulai bubar meninggalkan Stadion Lampineung, H. Dimurthala menuju daerahnya masing-masing. Tinggallah sampah bertebaran mengundang bau tak sedap bagi penguna jalan di kawasan lapangan sepak bola itu. Namun secara perlahan kotoran sampah-sampah itu mulai dibersihkan.

Bagi Zackaria (51), pria asal Luengkubu, Padang Tiji, Kabupaten Pidie, tumpukan sampah plastik merupakan rezeki berharga baginya.  Ia sudah biasa membersihkan sampah-sampah plastik dibantu istrinya, Aklimah (30) asal Samalanga, Bireuen. Kedua pasangan "perjuangan hidup-mati" ini langganan event besar, memilah-memilih sampai plastik setiap usai acara.

"Kerja kami sangat lelah, banting tulang, tapi hasil yang kami peroleh sangat halal dan paling halal," kata Zackaria yang tinggal berpindah-pindah di Banda Aceh. Ia mengaku di Banda Aceh sejak pasca tsunami, awalnya tinggal di Ulee Kareung dan kini tinggal di Lampaseh Aceh.

"Status rumah masih sewa, kendatipun saya sangat berharap ada rumah sendiri di Banda Aceh," kata Zackaria saat ditemui The Globe Journal, Minggu (12/2) tadi sore.

Bang Zack, begitu ia dipanggil, menggeluti pekerjaan ini sejak 1975 di Batuphat, Aceh Utara  yang kini telah masuk dalam wilayah Kota Lhokseumawe.

Rata-rata penghasilan yang Ia peroleh di Batuphat tidak banyak dan belum bisa mencukupi kebutuhannya, yaitu Rp20.000 perhari. Namun sejak pasca tsunami Ia dan Aklimah berpindah ke Banda Aceh dan saat itulah penghasilannya sedikit bertambah menjadi rata-rata perhari Rp30-40 ribu.

"Kalau bekerja keras setiap hari pasti ada menghasilkan uang, paling banyak rezeki ketika ada acara besar, seperti acara demontrasi dan kegiatan deklarasi kandidat Partai Aceh tadi," tuturnya.

Tapi kalau acara datang Presiden RI ke Aceh tidak membuatnya istimewa karena pengamanannya sangat ketat. Apalagi sampah-sampah plastiknya sudah ditanggulangi oleh dinas terkait. Diakuinya hanya kegiatan orang-orang Aceh-lah yang membantu penghasilan dia bertambah.

Hari Minggu (12/2) Partai Aceh mengadakan deklarasi 15 kandidat Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota ditambah satu pasangan kandidat Gubernur dalam pesta demokrasi Pemilukada yang dijadwalkan 9 April 2012 mendatang.

Perut tak terasa lapar lagi, Bang Zack merasa bangga melihat saudaranya dari gampong-gampong datang ke Banda Aceh. Sarapan nasi bungkus yang disediakan panitia juga dihiraukannya. "Kami cukup kenyang melihat saudara kami datang dari pelosok ke Banda Aceh, itu saja sudah cukup," cetus sang istri tercinta, Aklima.

"Saya sudah menunggu sejak pagi tadi, hingga saat ini ada 60 kilogram sampah plastik yang sudah dikumpulkan," kata bang Zack.

Sampah-sampah ini dibawa ke rumahnya untuk disortir dan dijual seharga Rp3.000 perkilogramnya. "Dari sampah-sampah plastik kami mendapatkan Rp150.000 ," pungkas Zackaria.

Penghasilan hari ini adalah rahmat baginya, apalagi sampah-sampah plastik yang ditinggalkan banyak yang masih utuh alias lengkap dengan tutupnya. Ia teringat hal yang sama juga pernah diperolehnya saat usai demontrasi rakyat tolak Independen di depan Kantor DPRA beberapa waktu yang lalu oleh massa KMPA.

Namun untuk berjuang dan bertahan hidup kuncinya adalah kerja keras dan bersikap jujur.
"Pekerjaan saya jelas adalah mengutip sampah plastik untuk dijual lagi, dan pekerjaan ini untuk bertahan hidup keluarga saya, walaupun saya bersama istri masih sangat tegar,"demikian Zackaria dan istrinya Aklima dalam bahasa Aceh fasih.[THEGLOBEJURNAL.COM]
- 0 komentar

Punk’s Not Dead…! [3]

OLEH : ACEHKITA.COM

DARI kejauhan, sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al-Quran melalui pengeras suara Masjid Babuttaqwa. Komandan peleton memberikan aba-aba, untuk bersiap. Ayi dan para punkers lain mengambil posisi siaga, sebelum akhirnya melangkahkan kaki, meninggalkan lapangan di atas bukit.

Siang itu, punkers cowok beragama Islam akan melaksanakan ibadah salat Jumat perdana di Masjid Babuttaqwa, yang terletak di luar kompleks SPN Seulawah. Dari barak, masjid hanya terpaut 400 meter. Tetapi, para pembina tak membolehkan mereka jalan kaki menuju masjid.

Mengenakan baju koko dan berkain sarung, mereka diangkut menggunakan dua truk polisi. Di masjid, cukup mudah mengenali mereka di antara jamaah lain: kepala plontos, berbaju koko, dan bersarung. Sebagian ada yang bertato di tangan, kaki atau leher. Baju koko mereka yang masih baru berwarna putih, coklat tua, hitam, dan kuning. Sarung yang dikenakan bermotif garis-garis.

Begitu memasuki masjid, sebelum khatib berada di atas mimbar, sejumlah punkers melaksanakan salat sunat dua rakaat. Tapi banyak di antara mereka yang langsung duduk, membentuk saf sesama punkers. Beberapa dari mereka terlihat saling berbisik sesama teman di sampingnya.

Kala khatib di mimbar, sejumlah punkers mendengarkan isi khutbah –yang di akhir khutbah sempat menyorot kehidupan punk yang dinilainya “sampah” masyarakat– dengan tekun sambil tertunduk kepala. Ada pula yang tertidur.

Usai salat Jumat, beberapa punkers terlihat melaksanakan salat sunat dua rakaat. Ada juga yang memanjatkan doa. Di jalan luar masjid, dua truk telah siaga, untuk membawa kembali ke ‘pusat pembinaan’.
Sejumlah anak punk terlihat akrab berbicara dengan polisi yang mendominasi jamaah salat Jumat di masjid itu. Kalangan jurnalis mewawancarai mereka. Sedangkan, fotografer sibuk memotret anak-anak punk yang telah “berubah” penampilan.

Yudi terbilang ramah dan santun. Mengenakan koko putih, dia melangkah keluar masjid. Dia sempat menyalami kawannya. “Di sini kami tidak dipukul,” katanya.

Ketika tiba ke SPN Seulawah, Yudi sempat meronta saat rambut mohawknya akan dicukur. “Saya nangis waktu kemarin kepala digunduli,” jelasnya.

Yudi berharap bisa segera “bebas” dan bergaul dengan teman-teman lain di Takengon atau Medan. Ia menolak jika disebut punkers sebagai para pembuat anarkis. “Kami tidak ganggu orang lain,” kata dia.
Bagi tamatan SMU di Medan ini, punk adalah jalan hidup. “Saya mencintai punk,” ujar Yudi, yang punya keahlian menyablon baju. Dari kerja nyablon, dia bisa menghidupi diri sendiri.

Ketika berada di atas truk, Andre mengaku capek mengikuti “pembinaan” di SPN Seulawah. Remaja asal Kabupaten Binjai, Sumatera Utara, yang sejak kecil telah hidup di jalanan secara tegas mengakui, dia akan kembali menjadi punk setelah keluar dari “pembinaan”.

“Saya akan tetap menjadi punk setelah selesai di sini, karena sudah menjadi pilihan hidup saya. Mereka tak mungkin mengubah jalan pilihan hidup saya,” ujar remaja berusia 18 tahun ini.

Hal yang sama juga diungkapkan Intan Natalia, 20 tahun. Perempuan Medan ini menjadi seorang punker sejak 2009 lalu, ketika menempuh pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Perempuan yang sempat kuliah selama tiga semester masuk punk karena merasa kebersamaan yang tinggi di antara komunitas itu.

“Saya merasa cocok dengan punk. Di sini, ada kebersamaan. Kalau ada, sama-sama ada. Tapi kalau tidak ada, kami dibantu oleh punker lain,” ujarnya.

Intan menolak jika punkers diperlakukan seperti penjahat. “Punk itu bukan kriminal. Jadi, kenapa kami ditangkap? Apa salah kami? Jangan melihat kami dari sisi negatif,” katanya.

Bagi Intan, tidak adil jika menilai punkers sebagai pembuat onar yang hidup urakan di jalanan. “Ada juga sisi positif punk. Kami punya keahlian masing-masing, seperti membuat tato, piercing, dan nyablon,” tuturnya.
Ia mengaku sangat sedih saat rambutnya dipotong. Dia sempat menangis kala rambut kesayangannya dipangkas. “Tapi mau gimana lagi. Saya mau protes juga tak ada gunanya, ya saya ikhlas saja rambut kesayangan saya dipotong,” katanya.

Intan mengaku sengaja datang ke Banda Aceh untuk ikut berpartisipasi pada konser musik penggalangan dana buat anak yatim panti asuhan.

“Saat acara sedang berlangsung, tiba-tiba saya ditangkap. Saya tidak tahu apa alasannya saya ditangkap sebab saya tak melanggar hukum,” katanya sambil menundukkan kepala.

Selama ikut “pembinaan” di SPN Seulawah, dia berusaha menyesuaikan diri dengan keadaan. Di sini, dia diajari cara berdisiplin, cara beradaptasi dengan lingkungan, agama.

“Saya sudah mulai disiplin. Ada perubahan kecil setelah saya di sini. Yang tadinya urak-urakan, kini mulai disiplin waktu. Butuh proses untuk berubah, step by step,” lanjutnya.

Aldi, 17 tahun, yang hanya tamat SMP juga mengatakan setelah “pembinaan” itu, dia akan kembali menjadi punk. “Setelah dari sini akan tetap jadi punk karena saya suka pola kehidupan punk. Saya bukan kriminal, mencuri bukan punk. Kalau kerjanya mencuri, buat apa saya masuk punk,” katanya, seraya menambahkan untuk biaya makan sehari-hari, dia bekerja menyamblon baju dan membuat stiker.

Muhammad Alhamda, pengacara dari LBH Banda Aceh yang mengunjungi anak punk di SPN Seulawah, hari Jumat itu, mengatakan bahwa pendekatan yang dilakukan pemerintah keliru karena tidak mungkin mengubah pilihan hidup seseorang.

“Saya yakin mereka akan kembali menjadi punk setelah keluar dari sini. Saya tadi sempat berbincang dengan beberapa orang dari mereka yang mengaku akan kembali menjadi punk,” katanya.

Seharusnya, jelas Alhamda, pemerintah mengajak anak punk berdialog. Bila perlu mereka diajak ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan dan sosial yang dilaksanakan pemerintah. Dengan begitu, mereka merasa tidak “dipinggirkan” seperti yang terkesan selama ini.

Evi dari Koalisi NGO HAM juga tak yakin dengan pola “pembinaan” seperti itu akan bisa menghilangkan komunitas punk di Aceh. Buktinya, setelah penangkapan pada Februari lalu, jumlah anak punk di Banda Aceh bukan berkurang, melainkan semakin bertambah.

“Punk itu adalah cara mereka mengekspresikan kebebasan dan perbedaan. Itu normal dan ada di berbagai belahan dunia lain. Seharusnya, mereka diajak dialog untuk mengetahui kenapa mereka berperilaku begitu. Tapi, mereka seperti itu kan hak mengekpresikan kebebasan. Tidak ada yang salah dari anak punk,” katanya.

Namun, Wakil Walikota Banda Aceh tetap bersikukuh untuk “memberantas” anak punk dari Banda Aceh. Kebijakan pemerintah itu mendapat dukungan dari Kapolres Kota Banda Aceh, Kombes Pol Armensyah Thay.

“Niat polisi baik, ingin membina mereka menjadi lebih baik. Apalagi di Aceh memberlakukan syariat Islam. Perilaku-perilaku menyimpang seperti anak punk, tidak boleh hidup di Aceh,” kata Armensyah.

Menurut dia, polisi hanya membantu Pemerintah Kota Banda Aceh karena aparat Satpol PP dan WH belum mampu mengatasi anak punk. “Kita hanya dukung program pemerintah. Kita ingin amankan Banda Aceh dari kegiatan yang tidak sesuai syariat Islam,” katanya.

Setelah “pembinaan” di SPN Seulawah, jelas Illiza, punkers dari luar Aceh akan dipulangkan ke daerahnya masing-masing. Sedangkan, anak punk Aceh terus dipantau perkembangannya.

“Setelah pembinaan, kita panggil kepala daerah asal anak punk dan orangtuanya. Bila tidak ada orangtua lagi, dipanggil kepala desa sehingga nanti mereka bertanggungjawab memantau anak punk sampai sadar,” katanya.

Bagaimanapun, ideologi punk telah betul-betul merasuki hidup para remaja itu. Sehingga tidak salah jika Andre, Aris Munandar, Intan, Yudi dan puluhan punkers yang sedang “dibina” di SPN Seulawah akan kembali ke komunitas mereka setelah pendidikan 10 hari selesai.

“Punk’s not dead…!!! (Punk tak pernah mati –red.),” teriak Andre dari atas truk yang membawanya kembali ke barak “pembinaan”. [tamat][ACEHKITA.COM]
- 0 komentar

“Punk’s Not Dead…!” [2]

OLEH : ACEHKITA.COM

JUANDA, seorang punker. Dia berhasil lolos saat penggerebekan polisi. Mahasiswa sebuah universitas ternama di Banda Aceh ini telah aktif di komunitas punk ‘Tanggul Rebel’, sejak tiga tahun silam. Setelah operasi penangkapan itu, pemuda berusia 20 tahun yang di kalangan teman-temannya dipanggil “Lowbet” terpaksa menanggalkan sementara pernak-pernik punknya dan tiarap karena razia memburu sisa-sisa punk masih gencar dilakukan.
Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

 
“Kami bukan kriminal, tetapi kami dipukul seperti binatang saat ditangkap padahal kami tak membuat onar,” katanya saat diwawancarai, Kamis (15/12).
Sejak itu, Juanda mengaku telah membaca beberapa aturan hukum yang mungkin mereka langgar. Tapi, dia tak menemukan satupun aturan hukum yang berlaku di Aceh telah mereka kangkangi. Dia juga bilang sedang melobi beberapa LSM, untuk membebaskan rekan-rekannya dari “pusat pembinaan” SPN Seulawah. Juanda mengaku, bila diperlukan akan menempuh jalur hukum terhadap polisi dan Pemerintah Kota Banda Aceh yang telah menangkap komunitas punk.

“Kami dituduh melanggar syariat Islam yang berlaku di Aceh. Qanun mana yang telah kami langgar? Tolong tunjukkan, karena tak ada satu pun Qanun yang kami langgar,” katanya, seraya menambahkan komunitas punk hanya ingin mengekspresikan kebebasan dengan caranya sendiri.

Konser musik bertajuk “Punk for Aceh” di Taman Budaya, kata dia, digelar sebagai wujud kebangkitan kembali komunitas punk Aceh setelah sempat vakum akibat konflik bersenjata. Panitia mengundang komunitas punk dari beberapa daerah lain di Indonesia seperti Lampung, Jakarta, Bekasi, Jambi, Batam, Pekanbaru, Medan, hingga Bali. Komunitas punk telah ada di Aceh, sejak tahun 1980-an.

Tetapi, konser itu berubah jadi petaka. Polisi bersama Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP & WH) membubarkan dan menangkap pengunjung yang mayoritas anak punk. 65 punkers, termasuk enam perempuan, ditangkap dan sisanya berhasil meloloskan diri, termasuk Juanda. 36 di antara mereka yang tertangkap berasal dari luar Aceh.

“Saya sangat sedih melihat kawan-kawan dipukul dengan pentungan, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu mereka. Rambut kawan-kawan dijambak. Mereka diseret seperti penjahat dan dimasukkan ke truk,” katanya.

Setelah tiga malam mendekam di sel Mapolres Kota Banda Aceh, semua anak punk diangkut ke SPN Seulawah. Sebelum pemberangkatan pada Selasa sore, Kapolda Aceh, Irjen Pol Iskandar Hasan, mengatakan, para punkers itu akan “dibina”.

“Nanti ada acara tradisi. Pertama, acara potong rambut. Kedua, cebur kolam. Yang wanita potong gaya polwan (polisi wanita),” kata Iskandar kepada wartawan. “Setelah itu ganti pakaian busuk. Kemudian kita ganti dengan pakaian lain yang bagus. Kita kasih sikat gigi, odol, sabun, sampo, sandal, alat sembahyang. Semua kita berikan.”

Kapolda Aceh menyatakan, pembinaan yang dilakukan di SPN Seulawah tak melanggar HAM, tetapi “mengembalikan mental dan moral” para punkers. “Saya ingatkan (pembinaan) tidak melanggar HAM. Kita tetap orientasi membina masyarakat, membina bangsa kita. Ini bangsa kita juga kan? Bukan bangsa India kan?,” katanya.

Langkah polisi mendapat dukungan dari Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA). Sekretaris Jenderal HUDA, Tgk Faisal Ali, memberikan apresiasi kepada Kapolda Aceh yang telah bersedia “membina” anak punk di SPN Seulawah karena langkah itu akan “mengembalikan mereka ke jalan hidup yang sebenarnya sesuai anjuran agama.”

“Mereka perlu diperhatikan, diberi arahan agar bisa hidup teratur dan layak. Anak-anak punk adalah aset bangsa yang memiliki tanggungjawab bersama untuk dibina. Mungkin selama ini cara hidup mereka menyimpang,” kata Faisal kepada ACEHKITA.COM.

Faisal, yang juga Ketua Nahdatul Ulama (NU) Aceh, menyesalkan sikap sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menyoroti seolah tindakan polisi membina anak punk melanggar HAM.

“Tidak ada pelanggaran HAM oleh polisi,” katanya, seraya menambahkan “pembinaan” seperti itu bisa dijadikan contoh untuk mengatasi masalah remaja lain, seperti pengguna narkoba.

Dia juga meminta Pemerintah Aceh untuk ikut serta dalam pembinaan generasi muda agar tak terjerumus ke perbuatan melanggar syariat Islam, yang diberlakukan di Aceh sejak 2001 silam.

“Saya minta aparat pemerintah dan kepolisian tidak perlu terpengaruh oleh pihak manapun dalam upaya kita menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum yang berlaku,” tambahnya.

Namun, Evi Narti Zain, Direktur Eksekutif Koalisi NGO HAM Aceh, memprotes apa yang dilakukan polisi untuk “membina” punkers di SPN Seulawah, karena langkah itu dianggap tidak layak dan terkesan mengedepankan pendekatan kekerasan.

“Patut dipertanyakan yang mau dibina itu apa? Menurut saya, langkah polisi aneh karena punk itu tidak salah,” katanya seraya menambahkan, kalau ada punkers terlibat narkoba, mabuk atau menggangu masyarakat, maka ditindak sesuai hukum.

Perempuan aktivis itu tidak yakin pendekatan “membina” di SPN Seulawah akan menyelesaikan masalah. “Jika membina mental dan karakter mereka, kenapa tidak sekalian dimasukkan ke pesantren atau panti rehab sosial,” kata Evi.
Aris Munandar (tengah) saat apel siang di SPN Seulawah, Jumat (16/12). Punker termuda ini mendapat pembinaan bersama 64 punkers lain setelah ditangkap di Banda Aceh, Sabtu malam pekan lalu. | FOTO: Nurdin Hasan/ACEHKITA.COM

 
Begitu tiba di SPN Seulawah, para punkers itu dibagi dalam dua kelompok. Di sini, sejumlah polisi telah siap dengan gunting dan alat pencukur rambut di tangan. Satu persatu rambut punkers laki-laki, dicukur habis. Kepala mereka plontos sudah. Sedangkan, rambut punkers yang perempuan dipotong seperti model polisi wanita. Lalu, seluruh punkers dicebur dalam kolam.
Foto-foto mereka saat dicukur rambut dan mandi kolam dengan kepala plontos di bawah pengawasan polisi, menghiasi berbagai media internasional. Media asing juga heboh memberitakan kasus itu. Reaksi pun datang bertubi-tubi dari komunitas punk di berbagai belahan dunia, yang “mengecam” tindakan polisi.

Malahan, ada satu website yang khusus menggalang petisi untuk pembebasan anak punk yang sedang menjalani “pembinaan”. Sementara, sejumlah punkers Rusia melancarkan aksi protes dengan mencoret-coret dinding Kantor Kedutaan Indonesia di Moskow. Solidaritas juga datang dari komunitas punkers Jakarta. Mereka menggelar aksi protes di depan kantor penghubung Pemerintah Aceh di kawasan Menteng, Sabtu (17/12).

Reaksi berlebihan sejumlah kalangan di luar negeri berbeda jauh ketika beberapa anak punk digaruk Satpol PP & WH, Februari silam. Kala itu, mereka yang ditangkap juga dicukur habis rambutnya, tetapi tidak ada pemberitaan di media asing.

Saat bertemu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Kamis (15/12), Kapolda Aceh mengaku ditelepon Duta Besar Jerman dan Perancis yang mempertanyakan penangkapan punkers. Ia heran dengan besarnya perhatian negara asing atas kasus penangkapan anak punk di Aceh.

Menurut Iskandar, kedua duta besar negara sahabat itu mempersoalkan kenapa para punkers diceburkan ke dalam kolam. “Saya bilang ini tradisi. Saya saja waktu masuk Akpol dulu juga diceburkan ke kolam,” ujarnya, disambut gelak tawa sejumlah anggota DPRA.

Tetapi, sejauh itu belum ada komentar dari kalangan anggota dewan menyangkut “pembinaan” yang dilakukan di SPN Seulawah.

Selama kegiatan pembinaan, punkers diharuskan bangun pagi pukul 5:00 dan baru diperbolehkan untuk tidur pada pukul 22:00 Wib.

M. Fauzie, seorang pembina, mengatakan, selama berada di SPN, komunitas punk dibina mental spiritual, akhlak, dan perilaku. Jumat pagi, tim dari MPU khusus datang ke SPN untuk memberikan siraman rohani kepada anak punk yang rata-rata berusia 20-an tahun itu.

“Sedangkan untuk mereka yang nonmuslim, kita sediakan pendeta,” ungkap Fauzie. “Selama di sini, kita juga mengajarkan bangun pagi tepat waktu, cara makan, disiplin, dan sopan santun.”

Tetapi, Juanda melihat “pembinaan” di SPN Seulawah sebagai tindakan tidak manusiawi karena, menurut dia, mengedepankan pendekatan militeristik. “Kalau memang ingin membina anak punk kenapa tidak dilakukan Dinas Sosial atau pesantren? Apa salah mereka sehingga perlu dibina/ Mereka hanya ingin mengespresikan kebebasannya,” katanya.

“Saya tidak bisa terima kalau dibilang melanggar syariat. Di hotel-hotel yang jelas ada perbuatan melanggar syariat, kenapa tidak pernah digerebek? Begitu juga di café-café pinggir jalan banyak pekerja seks komersial yang berkeliaran tengah malam, kenapa tak ditangkap? Apa karena mereka membayar pajak.” [Bersambung…][ACEHKITA.COM]

Baca Juga:
“Punk’s Not Dead…!” [1]
- 0 komentar

“Punk’s Not Dead…!” [1]

OLEH : ACEHKITA.COM

WAJAHNYA tertunduk di antara barisan remaja berpakaian polisi di Sekolah Kepolisian Negara (SPN) Seulawah, Aceh Besar. Baju berwarna coklat yang dikenakannya, terbilang longgar untuk ukuran tubuh mungilnya. Begitu pula dengan celana coklat pekat. Topi rimba yang dikenakan seolah menenggelamkan kepalanya.
Chaideer Mahyuddin/ACEHKITA.COM
 
Aris Munandar nama remaja itu. Usianya baru 15 tahun. Masih kelas satu di sebuah SMA di Medan, Sumatera Utara. Di barisan itu, remaja yang lebih senang disapa Ayi terlihat paling muda. Tubuhnya juga paling mungil. Makanya, seragam polisi yang dikenakan agak kebesaran di tubuhnya. Dia tak banyak omong. Jika ditanya, hanya menjawab singkat.
Remaja tanggung ini “masuk” SPN Seulawah bukan lantaran sedang mengikuti pelatihan untuk menjadi seorang anggota Polisi Republik Indonesia (Polri). Sejak Selasa (13/12) lalu, Ayi “dipaksa menetap” di sini selama sepuluh hari, setelah polisi menangkap 65 anak punk saat menggelar konser musik di Banda Aceh, Sabtu malam pekan silam. Ayi termasuk seorang di antara anak punk yang “terjaring”.

Gara-gara “dihukum” menjalani pembinaan di SPN, Ayi tak bisa bersekolah. Sudah sepekan, dia meninggalkan bangku sekolah setelah memutuskan untuk memenuhi undangan komunitas punk Aceh dalam acara penggalangan dana buat panti asuhan dan anak yatim melalui konser musik. Ya, malam itu, saat ditangkap, Ayi dan teman-temannya tengah berada di konser musik rock bertajuk “Aceh for Punk” di Taman Budaya, Banda Aceh.

Ayi bersama 64 punkers lain sempat mendekam di balik jeruji besi Markas Polisi Resort Kota (Mapolresta) Banda Aceh. Di sana, mereka ditempatkan dalam bui-bui kecil, berdesak-desakan. Baru pada Selasa (13/12), mereka diboyong ke SPN Seulawah, 62 kilometer arah timur Kota Banda Aceh.

Berada di sekolah polisi, perasaan Ayi campur-aduk. “Antara senang dan sedih,” katanya saat dijumpai siang itu, di antara barisan berseragam coklat. “Senang karena ada ilmu. Sedih karena saya tidak bisa bersekolah.”

Sebenarnya, Ayi datang ke Banda Aceh telah mendapat izin dari orangtuanya di Medan. Tetapi sejak ditangkap, dia tak bisa berkirim kabar kepada orangtuanya. Inilah yang membuat Ayi makin sedih. Apalagi, sejak alat komunikasi miliknya disita polisi (untuk sementara waktu).

“Saya tidak tahu bagaimana reaksi orangtua kalau tahu saya dibawa ke sini,” kata Ayi. Raut wajahnya seperti menyimpan kegelisahan mendalam. “Saya mau menghubungi orangtua, tapi bagaimana caranya?”

Selama berada di sekolah untuk mencetak polisi, Ayi mengaku mendapat ilmu baris-berbaris dan tatakrama. Saban hari mereka diwajibkan mengikuti “pendidikan” instan mengenai dua hal ini. Inilah yang membuat Ayi merasa senang berada di sini.

Namun, selepas 10 hari “menimba” ilmu di SPN tak lantas membuat Ayi melupakan jalur kehidupan yang diambil sebelum ditangkap polisi. Dia tetap akan menjadi seorang punker.

“Saya senang menjadi punker,” ujar remaja ini. “Jadi saya tetap seorang punker.”

Wakil Walikota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal, yang selama ini sering ikut operasi razia terhadap pelanggar syariat Islam, menyebutkan keberadaan komunitas punk telah “meresahkan masyarakat.” Dia juga mengaku pihaknya akan terus memburu sisa-sisa anak punk yang berhasil lolos saat penyergapan Sabtu (10/12) malam lalu.
Chaideer Mahyuddin/ACEHKITA.COM
 
“Keberadaan komunitas punk telah sangat meresahkan dan mengganggu kehidupan masyarakat Banda Aceh,” katanya. “Ini adalah penyakit sosial baru di Banda Aceh. Jika terus dibiarkan, pemerintah harus mengeluarkan biaya lebih banyak lagi untuk menangani mereka.”

Menurut politisi Partai Persatuan Pembangunan itu, tempat-tempat publik di Banda Aceh seperti Taman Sari, Museum Tsunami dan lokasi lain yang sering dijadikan tempat kumpul-kumpul komunitas punk menjadi jorok karena “anak-anak remaja tersebut tak mandi berhari-hari dan pakaian mereka kumal.”

“Moral mereka juga hancur. Laki-laki dan perempuan bergabung bersama dan itu bertentangan dengan syariat Islam,” tutur Illiza, yang juga ikut dalam operasi penangkapan anak-anak punk saat menggelar konser musik di Taman Budaya.

Selain komunitas punk tidak diterima Pemerintah Kota (Pemko) Banda Aceh, menurut Illiza, alasan penggerebekan konser musik itu karena panitia konser memanipulasi izin. Dalam surat yang diajukan ke Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), disebutkan bahwa penyelenggara kegiatan berasal Komunitas Anak Aceh.

Ketika digerebek, kata Illiza, polisi menemukan ganja kering dan minuman keras. “Kasian anak-anak kita hancur moralnya. Makanya, kita tidak boleh membiarkan komunitas punk tumbuh di Banda Aceh,” katanya. 

“Masyarakat Banda Aceh sangat mendukung langkah yang kita lakukan untuk membina anak punk di SPN Seulawah.”

Illiza menambahkan, pihaknya terus melancarkan razia untuk memburu anak punk yang berkeliaran di ibukota Banda Aceh. Selanjutnya, dibina di SPN Seulawah. Jumlah mereka diperkirakan mencapai 200 orang.

“Kita tetap lakukan razia. Kalau ada yang tertangkap akan dibawa ke SPN, karena dengan pembinaan di sana diharapkan mereka bisa berubah,” katanya.

Illiza mengaku waktu 10 hari tak cukup untuk membina anak punk. Tapi, untuk tahap pertama anak punk dari luar Aceh dibina 10 tahun dan setelah itu akan dikembalikan ke daerahnya masing-masing.

“Bergabung dengan komunitas punk jelas-jelas merusak mental dan akhlak mereka. Selain itu, juga tidak sesuai dengan syariat Islam yang diberlakukan di Aceh,” katanya.

“Aceh ini, daerah syariat. Jadi, siapa pun harus ikut aturan yang berlaku di Aceh. Komunitas punk melanggar syariat Islam.” [Bersambung...][ACEHKITA.COM]
- 0 komentar

Lingga, Dinasti yang Terlupakan [2]

OLEH : ACEHKITA.COM


ANTARA KARO, Islam, dan Gayo Gayo,
terletak di tengah-tengah pegunungan daerah Aceh yang membujur dari utara hingga ke tenggara sepanjang bukit barisan, di bagian ujung pulau Sumatera. Selain itu, Gayo berbatasan langsung dengan daerah Aceh Utara, Aceh Barat, Pidie, Aceh Timur, dan Sumatera Utara. Hal itu, memungkinkan banyak Suku Gayo, yang bertebaran di beberapa wilayah, termasuk di Karo, Sumatera Utara.

Dalam bukunya yang berjudul Gajah Putih, M. Junus Djamil menuliskan, Kerajaan Lingga (Linge – dalam bahasa Gayo) didirikan oleh orang-orang Batak Gayo pada era pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan Perlak, sekitar abad ke-XI.

Raja Lingga pertama merupakan keturunan langsung dari suku Batak. Ia mempunyai enam orang anak, yang salah seorang bernama Sebayak Lingga. Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah leluhur tepatnya di Karo dan membuka negeri di sana. Dia dikenal dengan Raja Lingga Sebayak. Konon, dia lah yang menjadi raja di sana.

Beberapa anak Raja Lingga lain juga menjadi raja di wilayah kekuasaannya. Anak pertama yang perempuan bernama Empu Beru, atau Datu Beru. Sibayak Lingga adalah anak ke-II. Sedangkan putra ke-III bernama Meurah Johan. Ia mengembara ke Aceh Besar, dan mendirikan kerajaannya yang bernama Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri, dengan Kesultanan Lamuri atau Lambri.

Meurah Silu bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai. Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang Persia dan Arab.

Meurah Lingga, anak bungsu Raja Lingga tinggal di Linge. Meurah Lingga menjadi penerus turun-temurun kerarajaan Linge di Gayo. Meurah Lingga sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge. Sampai sekarang, makam Meurah Lingga masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk setempat.

Hubungannya tidak sampai di situ saja. Seperti diceritakan Salman Yoga S, seorang budayawan Gayo, sekitar beberapa puluh tahun silam, beberapa pemuda Karo kembali berkunjung ke tanah leluhur, Dataran Tinggi Gayo, Aceh Tengah. Tujuan mereka, mencari sanak keturunannya, dari Sibayak Lingga. Layaknya Suku Batak yang dikenal keras, “Mereka datang dengan pendekatan pemuda, yaitu judi,” kata Salman Yoga.

Syahdan, orang Karo kalah, sehingga terjadi perkelahian yang memakan korban dari Suku Karo. Mengetahui kalah jumlah, pimpinan kelompok tersebut memilih kabur, hengkang ke kampung halaman, membawa dendam.

Jeda hari terus berganti. Pemuda Karo kembali, dengan mengajak serta pasukan yang berjumlah 27 orang. Mereka ingin menuntut balas. “Dalam adat Batak, darah dibayar darah, nyawa pun harus dibayar nyawa.”

Dosen Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry ini menjelaskan, tak mudah Batak Karo masuk ke lingkungan Suku Gayo. “Mereka harus mencari keturunannya yang beragama islam.” Akhir dari pencarian, bertemulah 27 pemuda tersebut dengan seorang keturunan Sebayak Lingga, yang orang Islam taat, di Meulaboh, bernama Leube Kader.

Sebagai ulama, jelas saja Kader tak setuju dengan maksud mereka, yang hendak membalas dendam. Tapi, Kader tetap membawa ke-27 pemuda tersebut, untuk bermusyawarah, mencari jalan damai.

Jelas saja, awak Karo tak setuju. Setibanya di Gayo, dengan tipu muslihat mereka, salah seorang dari membunuh ajudan Leube Kader. Setelah membunuh, mereka mengadu domba Kader, ‘orang Gayo telah membunuh ajudannya’. Karena itu, terjadilah perang.

Perang yang berkecamuk memakan korban yang tidak sedikit. Damai baru tercapai, setelah suku asli Gayo membayar diyat, atas terbunuhnya satu dari 27 Batak Karo, yang pertama ke Gayo tadi.

Diyat yang dibayarkan merupakan tanah, di wilayah Kerajaan Reje Bukit, di Bebesan, Gayo. Sejak itu, ikatan persaudaraan mulai kembali terjalin.

Seratus tahun kemudian, sekitar tahun 1962, Islam mulai kembali masuk ke Karo, yang dibawa oleh cicit Sebayak Lingga, yang berasal dari Gayo, Ilyas Lebee. “Dia mengislamkan orang Tanah Karo sampai sekitar tahun 1975. Jadi ada ikatan erat antara antara Gayo dan Karo,” kata Salman Yoga, lagi. “Jejak itu masih ada. Ada Tokoh Gayo, Amandimot, yang meninggal di sana, dan jasadnya tidak dibolehkan untuk dibawa pulang ke Gayo. Jadi dia dikuburkan di Karo,” tambah Yoga.

Hamita Ginting ikut memperkuat perihal adanya ikatan persaudaraan tersebut. Sebelum tahun 1970-an, kata Hamita, penduduk Karo mayoritas memeluk Agama Islam. Hal itu, sebut ia, ada kaitan dengan Linge di Gayo, Aceh. Tapi, sebaliknya kini hampir semua masyarakat Karo menganut agama Kristen.

“Dulu 99 persen itu Islam. Di sini ada yang namanya Tengku Lobaho. Ceritanya ada garis keturunan dengan Gayo. Kalau kemarau panjang, kami ke tempat Tengku itu, kami suruhnya dia berdoa. Dan ajaibnya hujan turun.”

Dari Desa Budaya Lingga, makam Lobaho hanya berjarak sekitar dua kilometer. Masyarakat menyebut makam ‘keramat’ itu, Lobahon, atau Gritten.

Dalam sebuah catatan lain disebutkan, Lingga adalah sebuah dinasti yang besar pada masanya. Kerajaan ini, bahkan menguasai hingga ke Johor, semenanjung Malaysia (masa Raja Lingga XIII menjadi Amir al-Harb Kesultanan Aceh, pada tahun 1533).

Keturunan Raja Lingga XIII juga meneruskan kekuasaan, dengan mendirikan Kesultanan Lingga di kepulauan Riau, pulau Lingga, yang kedaulatannya mencakup Riau (Indonesia), Temasek (Singapura) dan sedikit wilayah Malaysia.

Sayang, hanya sedikit kiprah raja di Sebayak Lingga, Karo yang terdokumentasi. Pada masa Belanda, hanya tercatat dua era Raja di Karo. Yaitu; Sibayak Lingga, dan penerusnya Raja Kaloling Sibayak Lingga. Tapi, Hamita menyebutkan, ia keturunan ke-VII Raja Ureung, Pimpinan Suku Karo. Tidak jelas, Raja Ureung keturunan keberapa dari Kerajaan Karo, di Lingga.

***
SORE yang mendung dan dingin di Budaya Lingga, Karo menusuk kulit. Dari kejauhan, kabut tipis perlahan menutup keangkuhan Sinabung, gunung yang menumpahkan laharnya beberapa waktu silam, menambah angker Gerga dan Waluh Jabu: sepasang bukti perdaban Lingga. [tamat][ACEHKITA.COM]
- 0 komentar

Lingga, Dinasti yang Terlupakan [1]

OLEH : ACEHKITA.COM

RUMAH TUA di Desa Budaya Lingga itu berdiri kokoh. Halamannya ditumbuhi rumput tipis. Anjing lalu-lalang di seputarannya. Masyarakat Lingga menyebut rumah itu Gerga. Sebagian menyebutnya Siwaluh Jabu, artinya sepuluh keluarga. Di depannya juga ada rumah serupa. Tapi hanya bisa dihuni delapan keluarga. Nama rumah itu, Blangayo. Ada juga yang bilang Waluh Jabu, yang berarti delapan keluarga.
Rumah Blangayo. | FOTO: M. Hamzah Hasballah/ACEHKITA.COM
 
Keduanya berbentuk panggung, tapi agak lancip, dan dipenuhi ukiran, yang semua ukirannya tentu punya makna. Besarnya, hampir dua kali lapangan volly. Atap dilapisi daun ijuk, yang mulai ditumbuhi lumut hijau. Di bubung yang menghadap ke Barat, tanduk kerbau jantan menjulang angkuh. Sedang yang menghadap ke Timur, adalah tanduk kerbau betina. Mitosnya, kedua tanduk itu sebagai alat tolak bala, yang menyerang dari Timur dan Barat.
Memasuki rumah tersebut, kesan angker langsung menyergap. Gelap. Tak ada lampu yang menerangi. Beberapa tiang penyangga berukuran sebesar pelukan orang dewasa. Bau pengap menusuk hidung. Ditambah bau kotoran kelelawar yang berserak di lantai. Pada tiang penyangga, tali jemuran menjulang, menggantung beberapa pasang pakaian kering.

Di kiri-kanan di dalam rumah, berjejer masing-masing lima rumah lagi. Jadi, ada rumah di dalam rumah. Ukurannya tidaklah besar, sekitar enam meter saja. Dalam tiap-tiap rumah berbentuk lancip, mirip bak truk terbuka, yang dibentuk dari turunan atap. Di tempat itulah setiap keluarga tinggal.

Para (tungku memasak), berada di antara dua rumah. Bentuknya petak. Di atas para, terdapat tempat menyimpan kayu bakar, yang digantung di atas plafon. Dua keluarga harus berbagi jatah memasak. Hanya ada lima para.

Dinding rumah berusia sekitar 400 tahun ini tergolong unik. Ukiran lima warna, dengan motif saling kait menambah daya tarik. Sayang, tak banyak yang tahu makna lima warna itu. Hanya sebagian orang tua yang paham makna.

Manik Ginting, 42 tahun, seorang pemandu wisatu Desa Budaya Lingga menuturkan, setiap ukiran bunga berkait melambangkan keakraban antara lima Suku Batak yang saling bersaudara. Warna merah adalah simbol Marga Ginting. Hitam milik Marga Sembiring; putih menyimbolkan Suku Siangin-Angin, Tarigan dengan warna biru, dan kuning keemasan miliknya Suku Karo-Karo.

Konsep rumah ini tergolong bagus. Arsiteknya memikirkan hingga ke keutuhan rumah, bila terjadi gempa. Palas (antara batu pondasi dan tiang kayu penyangga rumah), dilapisi batang ijuk. Gunanya, bila digoyang gempa, maka rumah akan mengikuti arah goyangan.

“Kata orang dulu itu, rumah ini selalu dijaga, karena diberi doa sama dukun. Kalau rumah sekarang coba, kalau digoyang gempa langsung roboh. Itu karena nggak dimantrai,” jelas Hamita Ginting, sang pewaris rumah tersebut. Sayang, ia tak lagi tinggal di rumah adat tersebut.

Hamita keturunan ketujuh Raja Ureung, pimpinan Suku Karo. Wajah lelaki ini tirus. Jenggot tipis memutih di dagunya. Beda dengan mayoritas masyarakat Karo yang menganut kristen, Hamita beragama Islam. Ia lama tinggal di Aceh.

Hamita Ginting tersenyum sumringah. Dia menghirup dalam kretek di mulutnya, sambil perlahan menyeruput tuak. Di sisinya, Dana Ginting menenggak hampir seceret tuak. Ia terus minum, matanya mulai memerah.

“Bapak ini lah yang banyak tau tentang rumah adat,” kata Dana, menunjuk Hamita.

“Itu rumah kakek. Baru lima bulan lalu saya pindah dari sana,” ucap Hamita, ramah.

Alkisah, sekitar 400 tahun silam, masyarakat Karo tidaklah beragama. Mereka hidup bermasyarakat, dengan menyandingkan delapan, hingga 12 keluarga ke dalam satu rumah.

¬Membangun rumah pun, dilakukan dengan ritual panjang. Hamita Ginting menceritakan, kayu yang dipilih harus atas seizin dukun. “Menurut cerita jaman dulu gitu. Kan dulu orang sini nggak beragama.”

Ia mengisahkan, beberapa pemuda beranjak ke hutan untuk melihat kayu-kayu besar. Tapi, tidak semua kayu bisa dipotong. Mereka hanya mengiris kayu-kayu itu, untuk kemudian irisan kecil tersebut dibawa ke dukun. Oleh dukun, semua kayu-kayu kecil tersebut didoakan, dimimpikan, untuk kemudian ditunjuk, kayu mana yang boleh dipotong.

“Ritualnya begitu. Jadi nggak sembarangan kayu bisa dipotong. Karena bisa membawa sial.”
Saat memotong kayu, semua kaum adam menuju hutan, untuk bersama-sama menggotong batang kayu. “Itu di atas kayu diduduin anak dara. Gunanya biar yang angkat kayu semangat,” ucapnya terkekeh.

Kayu yang dipilih pun, sebut Hamita, hanya tiga macam saja. Batang Ndrasi, diyakini menjauhkan keluarga yang tinggal di rumah tersebut tidaklah didera sakit. Kayu Ambartuah dipakai supaya mereka diberi tuah, ataupun kesejahteraan hidup. Sedang kayu Sibernaik dipakai untuk mendoakan kemudahan rezeki.

“Memang nggak masuk akal sih. Tapi ya itu kepercayaan dulu. Mereka animism,” tambah Hamita.

Kenapa Hamita tak lagi tinggal di situ? Ia menjelaskan, banyak pantangan yang dilarang di dalam rumah adat tersebut. “Orang sekarang nggak sama seperti orang dulu. Di sana kita seperti terkurung. Bicara nggak bisa bebas, nggak bisa make tivi, padahal kita inginnya bebas gitu.”

“Kalau dulu adatnya masih kental. Banyak pantangannya. Itu di jalan tengah kita nggak dibolehkan untuk duduk, labah (sial) istilahnya. Kan melalui jalan tengah itu kita nyapu lantai, banyak debu, dianggapnya kita juga sampah kalau duduk di situ. Di tungku juga nggak boleh. Itu kan tempat kita memasak, untuk hidup, ya nggak boleh kita duduki.”

Karena banyaknya pantangan tersebut, sekarang, masyarakat Budaya Lingga lebih memilih untuk tidak lagi tinggal di rumah bersejarah tersebut. “Dulu ada 28 rumah. Sekarang cuma sisa dua, itupun dengan kondisi yang memperihatinkan, yang lain rusak ditinggal penghuni,” jelas dia.
M. Hamzah Hasballah/ACEHKITA.COM
 
Benar saja, beberapa rumah terlihat mulai ringsek, hampir roboh mencium tanah. Ukiran rumah mulai aus, sudah tak berwarna. Di sudut bubung pun sudah tak terlihat dua tanduk. Batang bambu yang menopang daun ijuk mulai keropos. Daunnya mulai menghilang, tinggal bambu seperti tulang yang menjurus ke sana-sini, tak lagi beraturan.

Di bawah rumah adat ringsek itu, kotoran ternak membanjiri. Bau pesing menguap di udara. Lengking burung hantu, kata seorang anak, kadang terdengar, menambah seram rumah tua tersebut.

“Baru beberapa hari lalu ada burung hantu ditembak jatuh di situ,” kata seorang anak menunjuk ke pojok atap dalam rumah.

Alasan lain mereka “hengkang” dari sana, “Biaya perawatannya terlalu mahal. Kita sudah tak sanggup merawat semuanya,” keluh Hamita. Kini, sejarah itu tinggal dua, dan dikhawatirkan juga akan menghilang dari Desa Budaya Lingga. [bersambung][ACEHKITA.COM]
- 0 komentar

Detik-detik Terakhir Irwandi Menjabat

OLEH : ACEHKITA.COM

DUAPULUHAN orang berkerumun di depan pintu ruang kerja gubernur. Mereka ingin bertemu langsung dengan Gubernur Irwandi Yusuf yang akan mengakhiri masa tugasnya dalam hitungan jam. Ada yang ingin menyampaikan masalah, ada pula yang ingin mengajukan proposal bantuan.

Seorang lelaki berbadan agak gempal segera menyodorkan proposal begitu Irwandi keluar ruangan. “Peu nyan (apa itu),” tanya Irwandi.
Ibnu GP/ACEHKITA.COM
 
Ata lon goh lom neuteken (Proposal saya belum Bapak tandatangani),” ujar pria itu, sembari menyodorkan proposal bersampul biru.
Irwandi mengambil proposal. Membolak-balik dan membaca singkat. “Tidak bisa lagi,” ujarnya, mengembalikan proposal. Gurat kecewa terlihat dari pria pemilik proposal.

Seorang pria setengah baya, berpeci haji, mendekati Irwandi. Pria itu berbicara setengah berbisik. Orang itu berharap agar bisa mengadakan pertemuan khusus dengan Irwandi.

Hana cara le. Bouh kiban tapeugot,” Irwandi memberi pengertian pada pria tadi.
Ia lalu memanggil Muharram, ketua tim pemenangan Irwandi dan Muhyan. “Sampaikan langsung masalah sama Muharram.”

Pria ini masih berharap agar Irwandi meluangkan waktu menerimanya. Tapi, Irwandi tak punya waktu. “Bek neupeugabuek lon le. Nyoe kuneuek jak u bandara,” lagi-lagi Irwandi menolak secara halus.
Memang, sore itu, Irwandi berburu waktu mengejar pesawat terakhir menuju Jakarta. Saat itu, jam menunjukkan pukul 16.20 WIB. Meski dalam waktu kepepet, Irwandi masih sempat melayani sejumlah pertanyaan dari wartawan yang menunggunya sejak dari pukul 10.30 WIB.

Sore itu, Selasa (27/2), merupakan detik-detik terakhir Irwandi memparipurnakan tugasnya setelah lima tahun menjabat. Keberangkatannya ke Jakarta untuk prosesi pelantikan penjabat gubernur Aceh dan serah-terima jabatan. Ia akan menyerahkan tampuk Aceh-1 kepada Tarmizi A. Karim, yang diangkat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai gubernur hingga terpilihnya gubernur definitif dalam pemilihan April nanti.
***
HARI terakhir berdinas, jadwal Irwandi sangat padat. Sejak pagi, ia mengadakan pertemuan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh. Tampak hadir, Ketua IDI dr Fakhrul Djamal, Wakil Ketua IDI Aceh dr. Taufik Mahdi dan sejumlah stafnya.
Ibnu GP/ACEHKITA.COM
 
Belum lagi pertemuan dengan IDI kelar, Irwandi harus menerima kunjungan Dinas Pertambangan dan Energi Aceh, pada pukul 11.30 WIB. Bertemu IDI di ruang rapat, sementara Dinas Pertambangan ditempatkan di deretan sofa di ruang kerjanya.
Menjelang dhuhur, rapat dengan pengurus IDI Aceh kelar. Irwandi lantas mengadakan rapat dengan Dinas Pertambangan. Irwandi ditemani dua staf ahlinya, Muhammad Jafar dan Mawardi Ismail.

Di ruang tunggu, tujuh tamu dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral baru saja tiba. Setelah menunggu sekitar 10 menit, staf Dirjen Migas ini dipanggil Irwandi. Mereka pun mengadakan rapat membahas soal minyak dan gas di Aceh. Dinas Pertambangan dan Energi Aceh ikut serta.

Irwandi juga harus menerima kunjungan dari anggota DPRK Aceh Utara dan DPRK Lhokseumawe.
Ibnu GP/ACEHKITA.COM
 
Hari itu, Irwandi hanya punya waktu rehat kala salat dan makan siang. Jam 12.54 WIB, petugas katering membawakan makan siang ke ruang gubernur. Ditemani Lukman CM, pengusaha Aceh, Irwandi menyantap makan siang. Menunya, daging sapi kuah kari, ikan asin, dan pisang ayam. Irwandi tampak lahap. Sesekali, ia terlibat pembicaraan dengan Lukman CM.

Jadwal padat Irwandi masih berlanjut. Pada pukul 13.30 WIB, Irwandi harus memimpin rapat dengan unsur musyawarah pimpinan daerah (Muspida Plus). Ini kali terakhir Irwandi memimpin rapat bersama Muspida Plus, yang dihadiri Kapolda Aceh Inspektur Jenderal Iskandar Hasan, Panglima Kodam Iskandar Muda Mayor Jenderal Adi Mulyono, Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh Muhammad Yusni, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Teungku Muslim Ibrahim.

Selain itu ada juga Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda, Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut Sabang Kolonel Laut (P) Dodi Hermawan, Komandan Pangkalan TNI Angkatan Udara Sultan Iskandar Muda Kolonel Pnrb Maman Suherman, Wakil Kepala Mahkamah Syar’iyah Teungku M. Jamil, Rektor IAIN Ar-Raniry Farid Wajdi, dan Pembantu Rektor Unsyiah Syamsul Rizal.

Meski disibukkan dengan seabrek jadwal rapat dari pagi, Irwandi mencoba memimpin rapat secara santai. Sesekali ia mengeluarkan joke yang mengundang tawa Kapolda dan Pangdam.

“Kita rapat siang ini dalam suasana santai saja, tapi tetap serius,” kata Irwandi.

Rapat siang itu membahas soal perkembangan kondisi keamanan Aceh dan kesiapan daerah dalam menghadapi pemilihan kepala daerah. Setelah membuka singkat, Irwandi mempersilakan Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Adi Mulyono memaparkan kondisi keamanan, lalu diikuti Kapolda Aceh Iskandar Hasan.

Rapat berlangsung hingga pukul 15.45 WIB. Sejenak, Gubernur Irwandi berfoto bareng unsur muspida. Ini merupakan foto terakhir mereka. “Nanti fotonya dikirim satu-satu, ya,” Irwandi berseloroh, diikuti derai tawa pimpinan daerah lainnya.

Tak biasanya, usai rapat muspida Irwandi tak bergabung dengan Kapolda dan Pangdam memberikan keterangan kepada wartawan. Ia memilih memasuki ruang kerja. Rupanya, di sana ia disibukkan dengan acara teken-meneken dokumen, proposal, hingga surat-surat.
Ibnu GP/ACEHKITA.COM
 
Tak kurang 100 dokumen ia tandatangani pada hari terakhir menjabat. “Hari ini kerja saya rapat dan teken surat. Tidak sanggup saya hitung jumlahnya,” ujar mantan juru propaganda Gerakan Aceh Merdeka itu. “Ini rapat paripurna saya dengan muspida plus.”

Jam menunjukkan angka 16.20 WIB ketika Irwandi meninggalkan ruang kerja. Keluar dari sisi kiri ruang kerja, ia rupanya sudah ditunggu dua puluhan orang, yang meminta bertemu hingga mengajukan proposal. Setelah melayani mereka sebentar, Irwandi bergegas pulang ke rumahnya di Lampriet Banda Aceh dengan mobil jeep Rubicon BL 666 IR yang ia setir sendiri.

Lalu, apa kesan Irwandi selama lima tahun menjadi orang nomor satu di Aceh? “Mengasyikkan dan menegangkan,” kata dia.

Bagi Irwandi, yang menjadi tantangan terberat selama memimpin Aceh adalah berusaha menjaga stabilitas keamanan dan perdamaian Aceh. “Mungkin prestasi saya yang paling gemilang itu, tapi jarang disadari orang, jarang disebut-sebut,” ujar mantan dosen Universitas Syiah Kuala ini.

Menurutnya, selama lima tahun ia berupaya meyakinkan semua pihak yang pernah berseberangan untuk sama-sama berpartisipasi membangun dan merawat perdamaian. “Yang dulu awalnya sangat sukar mendudukkan dua atau tiga pihak yang berseberangan, sekarang sudah sama-sama,” sebut mantan representatif GAM di Aceh Monitoring Mission, sembari menyentil, “apalagi Pak Narko sudah bergabung dengan PA.”

Pak Narko adalah sebutannya untuk Letnan Jenderal (Purn) Soenarko, mantan Komandan Jenderal Kopassus yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Panglima Kodam Iskandar Muda. Pekan lalu, ia mengikrarkan diri menjadi juru kampanye bagi pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf yang diusung Partai Aceh. Zaini dan Muzakir menjadi rival Irwandi dalam pemilihan April nanti.

Apa yang akan dilakukan Irwandi setelah tak lagi menjabat? “Yang terpikirkan oleh saya satu: santai barang satu setengah bulan.”
Selanjutnya?

“Saya punya keahlian satu, yaitu supir. (Mungkin nanti saya) menjadi supir gubernur yang baru,” katanya tertawa.

Tapi, usai perpisahan dengan pegawai di Sekretariat Daerah Aceh sehari sebelumnya, Irwandi sempat berujar: “I shall be back (Saya akan kembali).” [][ACEHKITA.COM]