OLEH : GATRA.COM
Atas nama ketaatan kepada kiai, 29 santri dicabuli pengasuh pesantren
di Batang, Jawa Tengah. Dogma agama sering menjadi topeng perbuatan
amoral oknum pemuka agama. Kasus yang sama sering terjadi.
Mapolres Batang, Jawa Tengah, didatangi ratusan orang dari beberapa
ormas Islam, Jumat pekan lalu. Massa yang kebanyakan berasal dari anak
organisasi masyarakat Nahdlatul Ulama (NU), seperti Gerakan Pemuda Ansor
dan Ikatan Pemuda NU, itu menuntut agar polisi mengusut tuntas kasus
pencabulan yang dilakukan pengasuh Pondok Pesantren Nurul Dholam,
Mohammad Shobihin Akhmad.
Tokoh agama kelahiran Batang, 4 Mei 1969, itu dilaporkan mencabuli puluhan santri yang belajar di yayasan miliknya. Massa yang melakukan aksi damai mendesak agar polisi segera memproses Shobihin karena sampai saat ini yang bersangkutan masih melenggang bebas. Massa menagih janji Kapolres Batang, AKBP Tony Hartono, yang mengatakan hendak mengusut tuntas kasus ini. Hal itu diucapkan Tony pada pertemuan dengan perwakilan dari kantor Departemen Agama setempat dan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Batang.
Shobihin sendiri kabur sejak aibnya tercium publik, Maret lalu. Saat Gatra mendatangi pesantren yang terletak di Desa Banjiran, Kecamatan Warungasem, Kabupaten Batang, itu tak terlihat lagi jejak Shobihin. Pesantren sederhana itu tak lagi diurusnya sehingga sebagian besar santri memilih pulang kampung.
Ramot Sitompul, penasihat hukum Shobihin, mengungkapkan bahwa kliennya tidak berniat kabur. “Polisinya saja yang tidak nyari,” katanya kepada Ade Faizal Alami dari Gatra. Menurut Ramot, kliennya saat ini berada di sebuah pesantren di Bojonegoro, Jawa Timur. Ia bisa menghadirkan Shobihin kapan saja asalkan kliennya dijamin keselamatannya oleh aparat kepolisian.
Menurut Ramot, apa yang dilakukan kiai berusia 42 tahun itu tak lebih dari metode pengobatan belaka. Adanya kontak fisik dengan pelapor adalah permintaan santri sendiri. Itu pun sebatas dipegang alat vitalnya. Pernyataan para korban lain yang kemudian melapor, kata Ramot, adalah rekayasa yang diprakarsai Ketua Koperasi Pesantren Nurul Dholam, Hasanuddin, yang punya masalah pribadi dengan Shobihin. Kliennya menuding Hasanuddin menggelapkan sapi-sapi milik pesantren.
Terkuaknya topeng sang kiai bermula dari laporan seorang korban, sebut saja Dede, 23 tahun, pada Maret 2011. Dede, yang mengaku menjadi korban selama satu tahun, melaporkan kasus yang dialaminya kepada Hasanuddin, santri senior yang menjabat sebagai ketua pondok. Hasanuddin kemudian meneruskan laporan ini ke polisi.
Menurut pengakuan Dede, pada 2007, saat pertama kali bertemu Shobihin di pesantren di sebuah kota di selatan Jawa Tengah, ia tertarik oleh kealiman dan ketinggian ilmunya. Shobihin yang rajin beribadah dan mendalam ilmu-ilmu agama membuat Dede ingin belajar kepadanya.
Pada 2010, Shobihin memintanya mengaji di pesantren miliknya di Batang. Sejak itulah Dede nyantri di Nurul Dholam. Kiai yang dipanggilnya abah itu mengajarkan kitab-kitab tasawuf, seperti Al-Hikam, Minhaj al-Abidin, dan Kifah al-Atqiya.
Baru bulan kedua di tempat itu, Dede sudah mendapat perintah yang aneh-aneh, seperti memijat. Awalnya hanya memijat biasa. Namun, lama-lama sang kiai memintanya mengonani atau melakukan oral. “Saya mengira ini ujian dari Abah, seperti Nabi Khidir menguji Nabi Musa,” katanya kepada Gatra. Shobihin menjelaskan bahwa hal itu dilakukan sebagai media mendekatkan diri kepada Allah.
Kejadian seperti itu berulang setiap malam Jumat. Suatu sore, Shobihin mengirim pesan singkat kepada Dede: “Nanti malam Allah akan memperlihatkan kewalian saya kepada santri-santri tertentu.” Malamnya, Dede diperintahkan melaksanakan salat taubat, kemudian dicabuli.
Pada malam yang lain, Dede dibangunkan untuk melaksanakan salat hajat 50 rakaat, kemudian kembali diperlakukan seperti itu. Menurut Dede, gurunya itu selalu mengulang-ulang doktrin bahwa jika menolak kemauannya, ia akan dimusuhi semua wali yang ada di langit dan di bumi. Kejadian dengan pola yang sama terus berulang selama sekitar satu tahun.
Karena terus terjadi, lama-lama Dede sadar bahwa itu semua tak lain hanya tipu daya Shobihin. Pada Maret 2011, Dede melaporkan hal itu kepada Hasanuddin. Awalnya, laporan Dede diabaikan karena dianggap bohong, hingga Dede mengancam bunuh diri di tempat itu bila laporannya tidak ditindaklanjuti. Barulah Hasanuddin menindaklanjuti laporan Dede.
Kepada Gatra, Hasanuddin mengaku awalnya tidak menyangka kiai yang dipujanya berperilaku seks menyimpang. Namun, setelah dihubung-hubungkan dengan kejadian-kejadian yang lain, ia menjadi mafhum. Menurut dia, banyak santri yang berperilaku pendiam dan tertutup. Dede bahkan lebih suka tidur di pos depan kandang sapi daripada di kamarnya.
Menurut Sudjatmiko, aktivis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), korban Shobihin seluruhnya 29 santri berusia 16 hingga 23 tahun. Angka ini didapat P2TP2A dari hasil penelusuran terhadap korban dan para santri lain. Namun, dari jumlah itu, yang resmi melapor ke polisi hanya sembilan orang. Salah satu korban ada yang dicabuli sejak kelas V sekolah dasar.
Para korban mendapat perlakuan mulai dari dipaksa onani, mengonani, disuruh melakukan oral, hingga disodomi. Sudjatmiko meminta polisi menangkap Shobihin karena bukti-buktinya lengkap, termasuk hasil visum dari RSUD Batang.
Kapolres Batang, AKBP Tony Harsono, melalui humasnya, AKP Djafar Sodiq, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah dua kali melayangkan surat panggilan kepada Shobihin, tetapi yang bersangkutan mangkir. Ia juga mengaku, polisi kesulitan mencari alat bukti karena kejadiannya sudah lama. “Kalaupun ada sarung atau karpet yang terkena sperma, mungkin sudah dicuci,” ujarnya. Tak mengherankan bila status Shobihin saat ini baru sebatas saksi.
Sikap polisi yang letoi itulah yang kemudian membuat masyarakat geram. Sekelompok warga setempat bahkan sampai marah dan mengancam akan membakar seluruh kompleks pesantren bila kasus itu tidak ditindaklanjuti.
***
Di Surabaya, kasus serupa terjadi tiga tahun silam. Muhammad As'ad Syukur Fauzani, pengasuh Pondok Pesantren Yayasan Almukhlashin Ibadurrahman atau lebih dikenal dengan nama Yayasan Ya Ibad, dilaporkan ke polisi karena mencabuli 18 santriwatinya.
Kiyai As’ad, yang tinggal di Jalan Kedung Rukem IV 43-45, Surabaya, dilaporkan wali santri karena dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap para santri perempuan. Pencabulan itu dilakukan As'ad dengan cara memanggil para santri wanita berusia belasan tahun ke dalam ruangannya sebelum atau sesudah mengaji. Para korban mengaku dicium, dipeluk, dan dipegang alat vitalnya.
Setelah melalui serangkaian proses penyidikan polisi, kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. As’ad terancam Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Namun, sebelum vonis, lelaki asal Pasuruan itu meninggal dunia karena penyakit gula.[GATRA.COM]
Tokoh agama kelahiran Batang, 4 Mei 1969, itu dilaporkan mencabuli puluhan santri yang belajar di yayasan miliknya. Massa yang melakukan aksi damai mendesak agar polisi segera memproses Shobihin karena sampai saat ini yang bersangkutan masih melenggang bebas. Massa menagih janji Kapolres Batang, AKBP Tony Hartono, yang mengatakan hendak mengusut tuntas kasus ini. Hal itu diucapkan Tony pada pertemuan dengan perwakilan dari kantor Departemen Agama setempat dan Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Batang.
Shobihin sendiri kabur sejak aibnya tercium publik, Maret lalu. Saat Gatra mendatangi pesantren yang terletak di Desa Banjiran, Kecamatan Warungasem, Kabupaten Batang, itu tak terlihat lagi jejak Shobihin. Pesantren sederhana itu tak lagi diurusnya sehingga sebagian besar santri memilih pulang kampung.
Ramot Sitompul, penasihat hukum Shobihin, mengungkapkan bahwa kliennya tidak berniat kabur. “Polisinya saja yang tidak nyari,” katanya kepada Ade Faizal Alami dari Gatra. Menurut Ramot, kliennya saat ini berada di sebuah pesantren di Bojonegoro, Jawa Timur. Ia bisa menghadirkan Shobihin kapan saja asalkan kliennya dijamin keselamatannya oleh aparat kepolisian.
Menurut Ramot, apa yang dilakukan kiai berusia 42 tahun itu tak lebih dari metode pengobatan belaka. Adanya kontak fisik dengan pelapor adalah permintaan santri sendiri. Itu pun sebatas dipegang alat vitalnya. Pernyataan para korban lain yang kemudian melapor, kata Ramot, adalah rekayasa yang diprakarsai Ketua Koperasi Pesantren Nurul Dholam, Hasanuddin, yang punya masalah pribadi dengan Shobihin. Kliennya menuding Hasanuddin menggelapkan sapi-sapi milik pesantren.
Terkuaknya topeng sang kiai bermula dari laporan seorang korban, sebut saja Dede, 23 tahun, pada Maret 2011. Dede, yang mengaku menjadi korban selama satu tahun, melaporkan kasus yang dialaminya kepada Hasanuddin, santri senior yang menjabat sebagai ketua pondok. Hasanuddin kemudian meneruskan laporan ini ke polisi.
Menurut pengakuan Dede, pada 2007, saat pertama kali bertemu Shobihin di pesantren di sebuah kota di selatan Jawa Tengah, ia tertarik oleh kealiman dan ketinggian ilmunya. Shobihin yang rajin beribadah dan mendalam ilmu-ilmu agama membuat Dede ingin belajar kepadanya.
Pada 2010, Shobihin memintanya mengaji di pesantren miliknya di Batang. Sejak itulah Dede nyantri di Nurul Dholam. Kiai yang dipanggilnya abah itu mengajarkan kitab-kitab tasawuf, seperti Al-Hikam, Minhaj al-Abidin, dan Kifah al-Atqiya.
Baru bulan kedua di tempat itu, Dede sudah mendapat perintah yang aneh-aneh, seperti memijat. Awalnya hanya memijat biasa. Namun, lama-lama sang kiai memintanya mengonani atau melakukan oral. “Saya mengira ini ujian dari Abah, seperti Nabi Khidir menguji Nabi Musa,” katanya kepada Gatra. Shobihin menjelaskan bahwa hal itu dilakukan sebagai media mendekatkan diri kepada Allah.
Kejadian seperti itu berulang setiap malam Jumat. Suatu sore, Shobihin mengirim pesan singkat kepada Dede: “Nanti malam Allah akan memperlihatkan kewalian saya kepada santri-santri tertentu.” Malamnya, Dede diperintahkan melaksanakan salat taubat, kemudian dicabuli.
Pada malam yang lain, Dede dibangunkan untuk melaksanakan salat hajat 50 rakaat, kemudian kembali diperlakukan seperti itu. Menurut Dede, gurunya itu selalu mengulang-ulang doktrin bahwa jika menolak kemauannya, ia akan dimusuhi semua wali yang ada di langit dan di bumi. Kejadian dengan pola yang sama terus berulang selama sekitar satu tahun.
Karena terus terjadi, lama-lama Dede sadar bahwa itu semua tak lain hanya tipu daya Shobihin. Pada Maret 2011, Dede melaporkan hal itu kepada Hasanuddin. Awalnya, laporan Dede diabaikan karena dianggap bohong, hingga Dede mengancam bunuh diri di tempat itu bila laporannya tidak ditindaklanjuti. Barulah Hasanuddin menindaklanjuti laporan Dede.
Kepada Gatra, Hasanuddin mengaku awalnya tidak menyangka kiai yang dipujanya berperilaku seks menyimpang. Namun, setelah dihubung-hubungkan dengan kejadian-kejadian yang lain, ia menjadi mafhum. Menurut dia, banyak santri yang berperilaku pendiam dan tertutup. Dede bahkan lebih suka tidur di pos depan kandang sapi daripada di kamarnya.
Menurut Sudjatmiko, aktivis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), korban Shobihin seluruhnya 29 santri berusia 16 hingga 23 tahun. Angka ini didapat P2TP2A dari hasil penelusuran terhadap korban dan para santri lain. Namun, dari jumlah itu, yang resmi melapor ke polisi hanya sembilan orang. Salah satu korban ada yang dicabuli sejak kelas V sekolah dasar.
Para korban mendapat perlakuan mulai dari dipaksa onani, mengonani, disuruh melakukan oral, hingga disodomi. Sudjatmiko meminta polisi menangkap Shobihin karena bukti-buktinya lengkap, termasuk hasil visum dari RSUD Batang.
Kapolres Batang, AKBP Tony Harsono, melalui humasnya, AKP Djafar Sodiq, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah dua kali melayangkan surat panggilan kepada Shobihin, tetapi yang bersangkutan mangkir. Ia juga mengaku, polisi kesulitan mencari alat bukti karena kejadiannya sudah lama. “Kalaupun ada sarung atau karpet yang terkena sperma, mungkin sudah dicuci,” ujarnya. Tak mengherankan bila status Shobihin saat ini baru sebatas saksi.
Sikap polisi yang letoi itulah yang kemudian membuat masyarakat geram. Sekelompok warga setempat bahkan sampai marah dan mengancam akan membakar seluruh kompleks pesantren bila kasus itu tidak ditindaklanjuti.
***
Di Surabaya, kasus serupa terjadi tiga tahun silam. Muhammad As'ad Syukur Fauzani, pengasuh Pondok Pesantren Yayasan Almukhlashin Ibadurrahman atau lebih dikenal dengan nama Yayasan Ya Ibad, dilaporkan ke polisi karena mencabuli 18 santriwatinya.
Kiyai As’ad, yang tinggal di Jalan Kedung Rukem IV 43-45, Surabaya, dilaporkan wali santri karena dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap para santri perempuan. Pencabulan itu dilakukan As'ad dengan cara memanggil para santri wanita berusia belasan tahun ke dalam ruangannya sebelum atau sesudah mengaji. Para korban mengaku dicium, dipeluk, dan dipegang alat vitalnya.
Setelah melalui serangkaian proses penyidikan polisi, kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri Surabaya. As’ad terancam Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Namun, sebelum vonis, lelaki asal Pasuruan itu meninggal dunia karena penyakit gula.[GATRA.COM]