OLEH : GATRA.COM
Di Kabupaten Batang, khususnya di Kecamatan Warungasem, sulit mencari
orang yang tidak mengenal Kiai Shobihin. Tokoh agama kelahiran Batang, 4
Mei 1969, itu dikenal santun dan berilmu. Di Pesantren Nurul Dholam,
yang secara harfiah berarti cahaya kesesatan, Shobihin mengasuh sekitar
100 santri dari dalam dan luar kota.
Hasanuddin, santri angkatan pertama di tempat itu, mengatakan bahwa dia
sangat kagum pada ilmu yang dimiliki Shobihin, meski gurunya itu tidak
pernah mondok di pesantren mana pun. Menurut Hasanuddin, gurunya itu
sering berkata bahwa ia tidak memiliki guru dhahir, tetapi dibimbing
langsung oleh Raden Said (Sunan Kalijaga), Imam Ghazali, Syaikh
Athoillah (penulis kitab Al-Hikam), dan Ki Ageng Penatas Angin.
Hasanuddin sempat terpukau oleh pengakuan gurunya itu dan meyakininya
selama bertahun-tahun sebelum menyadari bahwa itu adalah kebohongan.
Dalam hubungan dengan santrinya, Shobihin memosisikan diri sebagai kiai terbaik, sehingga santri Nurul Dholam dilarang mengaji kepada guru lain. Ia juga mengajarkan bahwa hidmah terhadap guru secara sempurna harus mengalahkan semuanya, termasuk ketaatan kepada orangtua.
Konsep pendekatan diri kepada Allah yang diajarkan Shobihin melalui empat tahap. Yakni, jalan penghinaan diri, menyucikan nafsu, fana syaikh, dan fana rasul. Semua itu disebutnya jalan menuju makrifatullah. Jalan merendahkan diri yang diajarkan Shobihin bermacam-macam. Antara lain, setiap malam Jumat Kliwon, santri disuruh bertaubat dengan cara berguling-guling di tengah kebun yang gelap sambil bertelanjang atau hanya memakai celana dalam. Ini dimaksudkan agar santri merasa hina di hadapan Allah.
Menurut mantan Ketua Yayasan Al-Mukmin, Pondok Pesantren Nurul Dholam, Bahauddin Abdullah, cerita-cerita tidak masuk akal dan ritual aneh melingkupi cara mengaji ala Shobihin. Sang kiai pernah bercerita tentang pengalaman spiritual mati suri. Dalam mati suri itu, ia mengaku melihat surga, neraka, malaikat pencatat amal, dan arsy atau singgasana Tuhan. Shobihin juga mengaku pernah bermimpi bertemu Rasulullah dan diajak mi'raj bersamanya serta diangkat Allah menjadi kekasih-Nya.
Shobihin sering mengulang ucapannya bahwa yang taat kepada gurunya akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, yang tidak taat akan mendapat laknat dari Allah dan akan dimusuhi semua malaikat. Doktrin-doktrin itu disampaikan Shobihin tidak hanya melalui pengajian, melainkan juga pada obrolan usai mengaji dan melalui pesan singkat (SMS).
Namun lama-lama borok Shobihin terungkap juga. Bahauddin mengungkapkan, pada 2007 pernah berkembang isu pencabulan yang dilakukan Shobihin. Ketika itu, santri senior bernama Muhammad Bakrin mengajak bubar sekitar 200 santri hingga hanya tersisa enam orang. Pada waktu itu, Shobihin sempat melarikan diri beberapa lama. Namun, beberapa bulan kemudian, Shobihin kembali dengan cerita bahwa ia mendapat perintah uzlah (menyepi) dari gurunya.
Takut peristiwa itu terulang, Bahauddin mengajukan syarat agar Shobihin menikah bila ingin kembali mengasuh pesantren. Pernikahan Shobihin secara siri digelar pada 20 Agustus 2009 dengan wanita lokal bernama Laila Aniqoh binti H. Saifuddin. Namun, sejak menikah, istrinya tetap tinggal bersama orangtuanya dan Shobihin tetap di Pesantren Nurul Dholam. “Dia tidak mau menggauli istrinya ataupun menafkahinya,” kata Bahauddin. Istri Shobihin kemudian kabur dari rumah orangtuanya karena mengalami depresi.
Kini Bahauddin menjadi orang yang turut melaporkan perkara itu ke polisi. Sebelumnya, ia bersama pengurus pesantren bersilaturrahmi kepada para ulama yang ada di Pekalongan, seperti KH Sa’dullah Nahrowi, KH Zakariya, KH Sam’ani, Habib Novel, dan Habib Muhammad Lutfi bin Yahya. “Para ulama itu menyarankan agar diproses menurut hukum yang berlaku di Indonesia,” katanya kepada Ade Faizal Alami dari Gatra.[GATRA.COM]
Dalam hubungan dengan santrinya, Shobihin memosisikan diri sebagai kiai terbaik, sehingga santri Nurul Dholam dilarang mengaji kepada guru lain. Ia juga mengajarkan bahwa hidmah terhadap guru secara sempurna harus mengalahkan semuanya, termasuk ketaatan kepada orangtua.
Konsep pendekatan diri kepada Allah yang diajarkan Shobihin melalui empat tahap. Yakni, jalan penghinaan diri, menyucikan nafsu, fana syaikh, dan fana rasul. Semua itu disebutnya jalan menuju makrifatullah. Jalan merendahkan diri yang diajarkan Shobihin bermacam-macam. Antara lain, setiap malam Jumat Kliwon, santri disuruh bertaubat dengan cara berguling-guling di tengah kebun yang gelap sambil bertelanjang atau hanya memakai celana dalam. Ini dimaksudkan agar santri merasa hina di hadapan Allah.
Menurut mantan Ketua Yayasan Al-Mukmin, Pondok Pesantren Nurul Dholam, Bahauddin Abdullah, cerita-cerita tidak masuk akal dan ritual aneh melingkupi cara mengaji ala Shobihin. Sang kiai pernah bercerita tentang pengalaman spiritual mati suri. Dalam mati suri itu, ia mengaku melihat surga, neraka, malaikat pencatat amal, dan arsy atau singgasana Tuhan. Shobihin juga mengaku pernah bermimpi bertemu Rasulullah dan diajak mi'raj bersamanya serta diangkat Allah menjadi kekasih-Nya.
Shobihin sering mengulang ucapannya bahwa yang taat kepada gurunya akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, yang tidak taat akan mendapat laknat dari Allah dan akan dimusuhi semua malaikat. Doktrin-doktrin itu disampaikan Shobihin tidak hanya melalui pengajian, melainkan juga pada obrolan usai mengaji dan melalui pesan singkat (SMS).
Namun lama-lama borok Shobihin terungkap juga. Bahauddin mengungkapkan, pada 2007 pernah berkembang isu pencabulan yang dilakukan Shobihin. Ketika itu, santri senior bernama Muhammad Bakrin mengajak bubar sekitar 200 santri hingga hanya tersisa enam orang. Pada waktu itu, Shobihin sempat melarikan diri beberapa lama. Namun, beberapa bulan kemudian, Shobihin kembali dengan cerita bahwa ia mendapat perintah uzlah (menyepi) dari gurunya.
Takut peristiwa itu terulang, Bahauddin mengajukan syarat agar Shobihin menikah bila ingin kembali mengasuh pesantren. Pernikahan Shobihin secara siri digelar pada 20 Agustus 2009 dengan wanita lokal bernama Laila Aniqoh binti H. Saifuddin. Namun, sejak menikah, istrinya tetap tinggal bersama orangtuanya dan Shobihin tetap di Pesantren Nurul Dholam. “Dia tidak mau menggauli istrinya ataupun menafkahinya,” kata Bahauddin. Istri Shobihin kemudian kabur dari rumah orangtuanya karena mengalami depresi.
Kini Bahauddin menjadi orang yang turut melaporkan perkara itu ke polisi. Sebelumnya, ia bersama pengurus pesantren bersilaturrahmi kepada para ulama yang ada di Pekalongan, seperti KH Sa’dullah Nahrowi, KH Zakariya, KH Sam’ani, Habib Novel, dan Habib Muhammad Lutfi bin Yahya. “Para ulama itu menyarankan agar diproses menurut hukum yang berlaku di Indonesia,” katanya kepada Ade Faizal Alami dari Gatra.[GATRA.COM]
0 komentar:
Posting Komentar