-->
Jumat, 22 Februari 2013 - 0 komentar

Mafia Dunia Pengatur Sepakbola

VIVAnews – Telepon itu berbunyi menjelang laga penting pada 23 Mei, dua tahun silam. Seseorang berbicara dengan aksen Inggris gaya Singapura. “Saya butuh setidaknya tiga gol,” ujar lelaki itu. Dia dikenal sebagai Tan Seet Eng. Kadang dipanggil Mr Tan.  Lain waktu, oleh sejawatnya, dia disapa bos, atau capo.

Pada akhir Mei itu, sepakbola Italia sedang bertarung seru. Saat Tan menelepon, di Serie B Italia akan bertarung Grosseto melawan Reggina.

Di ujung telepon, terdengar suara dengan Inggris beraksen Kroasia. “Tak masalah,” ujar lelaki itu.

Pada laga di Stadion Olimpico Carlo Zecchini, Grosseto, pesanan Mr Tan terpenuhi. Skor imbang 2-2. Reggina ditahan telak di kandang Grosseto. Begitulah “kesaktian” Tan,  lelaki yang belakangan diduga turut mengendalikan banyak pertandingan di dunia, tak hanya di Italia.

Sedikit yang diketahui dari sosok Tan Seet Eng. Para penegak hukum di Italia hanya punya foto Tan sewaktu dia belia. Dia disebut juga Dan Tan. “Saya tidak dapat mengatakan kepada Anda secara personal sosok Tan, dan bagaimana dia berbicara. Tan masih tanda tanya,” kata salah satu jaksa, Roberto Di Martino.

Tan sungguh bekerja dalam gelap.  Jaksa Martino bahkan tak punya gambaran ke mana gerangan Mr Tan membawa semua uangnya, dan apa yang dilakukan dalam kehidupannya. “Dari gambar yang kami punya, dia terlihat seperti anak berumur 15 tahun,” ujar Martino.

Informasi tentang Tan begitu sedikit. Itu sebabnya, meskipun dia jadi buron polisi sejak November 2011, tempat Tan bersembunyi belum terungkap. Data yang hanya secuil itu lalu membuat para agen intelijen polisi Uni Eropa, Europol, bergerak.

Para agen polisi itu lalu menelisik jejak kerja Tan selama 19 bulan. Hasilnya mengagetkan. Sebanyak 680 laga mulai dari Asia, Eropa hingga Amerika Latin, kata Europol, telah diatur sindikat berbasis di Singapura ini.

Melihat jejaring itu para pecandu bola mungkin akan sesak napas. Europol melacak, dan sindikat ini rupanya telah begitu serius masuk ke struktur pertandingan. "Ada 425 petugas pertandingan, ofisial klub, pemain dan penjahat kakap dari lebih 15 negara terlibat dalam mengatur skor sepakbola profesional," kata Direktur Interpol, Rob Wainwright dalam keterangannya.

Mereka, kata Wainwright, membentuk operasi kejahatan terorganisir yang canggih. Laba yang diraup mencapai lebih 8 juta euro dari  judi bola. “Lebih dari 2 juta euro untuk membayar mereka yang terlibat dalam pertandingan," ujar Wainwright.

Tentu, klaim Europol itu menjadi tamparan keras bagi federasi sepakbola dunia (FIFA). Lembaga itu begitu getol berkampanye untuk fair play di setiap pertandingan. Tapi, untuk kesekian kali, gurita mafia judi sukses menyusupi olahraga paling populer sejagad ini.

Sejumlah laga berbau curang pun mulai terungkap. Tak hanya partai gurem, skandal pengaturan skor juga sukses menyusup di partai besar, termasuk laga Champions League, dan penyisihan Piala Dunia. Puluhan orang telah diciduk, dan dijatuhi hukuman.
Seret Liverpool dan MU?

Yang mengagetkan, dua klub elit Eropa, Liverpool dan Manchester United, pernah terseret skandal menghebohkan ini. Untung, status dua klub papan atas Premier League itu masih sebatas "korban". Laga Liverpool kontra Debrecen pada 2009 diduga telah disusupi kecurangan. Kiper Debrecen, Vukasin Poleksic menjadi tertuduh. Poleksic akhirnya mendapatkan hukuman dua tahun dari Federasi Sepakbola Eropa (UEFA).

Meski agak usang, terjadi lebih satu dekade lalu, kasus skor curang seperti itu diduga pernah terjadi di laga Manchester United melawan Zalaegerszeg, yang bertemu di babak kualifikasi Champions League 2002/2003. "Keterlibatan" MU ini diungkapkan salah satu mantan gangster Serbia, Karesz kepada The Sun. Kata Karesz, sejumlah bos gangster di Eropa ingin melihat Zalaegerszeg kalah. Setidaknya tiga gol di leg kedua.

Kenyataannya begitulah. Zalaegerszeg, yang menang 1-0 pada leg pertama di Hongaria, tertinggal tiga gol. Padahal pertandingan di Old Trafford baru berlangsung 20 menit. Zalaegerszeg akhirnya kalah 0-5, setelah kiper Sasa Ilic mendapat kartu merah.

Begini pengakuan Karesz,  yang menyebutnya  dirinya sebagai “perantara”. Dia bernegosiasi dengan bos gangster asal Kroasia, sepekan sebelum pertandingan 27 Agustus 2002 itu. "Saya mengatur pertemuan di sebuah kafe di Zalaegerszeg. Taruhan besar dilakukan agar ZTE kalah minimal tiga gol," kata Karesz dilansir The Sun. Negosiasi itu diduga bernilai jutaan poundsterling.

Menurut Karesz, ada belasan gangster yang bertemu setiap bulannya di Budapest, Hongaria. Mereka mengatur skor. Tapi, Karesz  tampaknya sudah bertobat. Dia lalu menjadi whistle-blower,  setelah dia berseteru dengan para gangster itu.

Cara kerja sindikat

Pengakuan terbaru datang dari seorang mantan pemain. Dia adalah Mario Cizmek, mantan gelandang NK Zagreb. Tugasnya, juru bayar dalam skandal pengaturan skor.

Dalam persidangan yang dilansir The New York Times, Cizmek mengaku terlibat dalam sindikat pengaturan skor. Dia membeberkan mekanisme kerja di lapangan selama "meracuni" sportifitas di Divisi Pertama Kroasia. Itu terjadi pada 2010, menjelang akhir kariernya sebagai pemain.

Menurut Cizmek, target utama untuk disogok adalah kiper. "Anda tidak dapat melakukan itu tanpa seorang penjaga gawang," kata Cizmek. Lebih lanjut Cizmek mengatakan, jika sang kiper menolak tawaran, maka ia mengembalikan uangnya kepada “Bos Besar”, dan membatalkan kesepakatan.

Namun, Cizmek juga tak membantah jika pemain lain yang berposisi sebagai bek dan gelandang juga rentan disogok. Tapi kiper tetap menjadi target utama, meski harus mengeluarkan uang lebih banyak. Masih menurut Cizmek, uang sogokan untuk kiper dua kali lebih besar, karena hasil akan mempengaruhi statistik sang kiper.

Setelah kiper, posisi kedua paling diincar adalah bek, baru pemain dengan posisi gelandang. Sedangkan striker, jarang dilibatkan. Para gangster penyuap itu pun tak tanggung-tanggung. Terkadang, dari 11 pemain yang tampil di lapangan, enam diantaranya telah dibuat “masuk angin”.

Sebelum menyogok, para mafia pengaturan skor juga memilih-milih  "rekanan". Biasanya mereka akan menyasar pemain belia. Alasannya, anak muda mudah tergiur. Atau pemain hampir pensiun, yang kerap ingin mencari "uang pensiun".

Tapi, kerja paling mudah tentu saat menemukan pemain yang lagi dirundung soal keuangan. Tak hanya pemain, para mafia pengaturan skor kalau perlu menyogok pelatih, atau perangkat pertandingan. Selain itu, Cizmek juga menyebutkan, tim yang telah pasti terdegradasi, sangat mudah disusupi.

Cizmek, lelaki 37 tahun yang ditangkap di depan kedua putrinya pada 2012 silam itu kini tampak menyesal. "Karier yang saya bangun bertahun-tahun rusak, hanya dalam waktu satu bulan," kata Cizmek. [Vivanews.com]

Selasa, 12 Februari 2013 - 0 komentar

Pahlawan Pindah Lapas


JAKARTA, SUATU SORE di minggu kedua bulan September tahun 2000. Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) bergetar. Sebuah bom mobil meledak dari Toyota Corona Mark II. 15 orang dinyatakan tewas. Puluhan lainnya luka-luka, dan ratusan mobil rusak. Dua pekan menjelang, pelaku utama peledakan berhasil diidentifikasi, semuanya berjumlah enam orang. Ancaman hukuman mati mengintai mereka.
Keenam tersangka, yaitu Teuku Ismuhadi, Irwan Bin Ilyas, Ibrahim Hasan, Ibrahim AMD bin Abdul Wahab, Iswadi H. Jamil, Jafar, dan Nuryadin – Tiga nama terakhir kemudian dibebaskan pasca MoU Helsinki, 2005 silam – Sedang Ismuhadi, Irwan, dan Ibrahim meringkuk di balik jeruji.
***
Pesawat yang mengantarkannya dari Jakarta mendarat mulus di Blang Bintang, Aceh Besar, Selasa, 11 September kemarin. Dari landasan, beberapa laki-laki berpakaian safari telah menanti. Begitu pesawat berhenti dan pintu dibuka, wajah lelaki yang dinanti muncul. Ia memandang sekeliling, tempat yang bertahun tak pernah ia lihat, kini tepat berada di depannya.
Begitu turun dari pesawat, ia hanyut dalam sujud sukur. Matanya memerah. Ia tak menangis, hanya bulir kecil yang mengambang dibalik matanya. “Saya bersyukur, akhirnya bisa pulang ke Aceh,” kata laki-laki itu singkat.
Dia adalah Ismuhadi, Tahanan Politik (Tapol) GAM yang ditangkap di Jakarta tahun 2000 silam, karena dugaan pengeboman terhadap Kantor Bursa Efek Jakarta (BEJ). Bersamanya ikut pulang dua tahanan lainnya, Irwan Bin Ilyas, dan Ibrahim Hasan. Mereka akan menghabiskan delapan tahun sisa tahanan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Lambaro, Aceh Besar.
Kepulangan Ismuhadi cs disambut haru banyak pihak. Dua jam sebelum pesawat yang ditumpangi para tapol ini mendarat pada pukul 11.30 itu, ratusan orang telah berkumpul di Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM). Ibu Irwan, bahkan sampai harus dipapah oleh keluarga. Ia tak kuasa membendung air mata, sambil menanti buah hati sampai di tanah indatu, Serambi Mekkah.
“Irwan sudah pergi merantau sejak tamat SMA lalu. Tahun 2000 dia ditangkap, Alhamdulillah sekarang dia bisa pulang ke Aceh,” Ujar Rusni, 71 tahun, Ibu Irwan, Selasa kemarin. Rusni mengaku, ikhwal pemindahan Irwan ke Aceh sudah diketahuinya, bulan puasa, Agustus lalu. “Meugang kemarin ada dia telpon, dia bilang sudah ada surat untuk pengurangan hukuman.”
Sama halnya dengan Rusni, kebahagiaan ikut dirasakan keluar Ismuhadi dan Ibrahim. Oleh keluarga dan ulama, mereka di peusijuek (ditepungtawari), di Bandara SIM. Eli Farida, saudara sepupu Ismuhadi menyebutkan, kerinduan keluarga begitu menggebu.
“Kita semua dari keluarga berharap, Ismuhadi dan rekan-rekannya bisa bebas total. Kami sangat merindukan dia kembali,” kata Eli. Sejak 12 tahun di Cipinang, Eli hanya sekali bertemu Ismuhadi.
Pada mulanya, Ismuhadi, Irwan, dan Ibrahim di vonis hukuman penjara seumur hidup. Ismuhadi sebelumnya di penjara di Lapas Cipinang, Jakarta. Mereka tidak memperoleh amnesti umum terhadap Tapol-Napol GAM, meskipun Aceh dan RI telah menyepakati kata damai, tahun 2005 lalu. Pengeboman BEJ dikategorikan aksi terorisme. Hal itu mereka tidak mendapatkan amnesti pembebasan.
Namun, kepada ketiga tahanan ini diupayakan untuk mendapatkan amnesti, sesuai dengan Keppres RI No 17 tahun 1999, tantang Remisi, yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid, 23 September 1999 silam. Surat dukungan dan usaha pembebasan bahkan telah dilayangkan oleh gubernur aceh periode lalu Irwandi Yusuf. Surat pembebasan terhadap narapidana politik dalam bentuk perubahan pidana khusus tersebut diikuti pula oleh dukungan Komnas HAM. Surat tersebut ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono.
Awal tahun lalu, Tim Advokasi Pembebasan Napol Aceh, meminta dukungan sampai ke Komisi III DPR-RI. Berselang beberapa pekan, Ketua dan Wakil Ketua DPRA, hingga Pejabat Gubernur Aceh ikut diminta dukungan.
Hasilnya, Tarmizi Karim, yang saat itu menjabat sebagai pejabat gubernur, mengeluarkan surat rekomendasi kepada presiden, perihal pemberian perubahan pidana kepada Teuku Ismuhadi Jafar dan dua rekannya. Surat Tarmizi diikuti juga dengan surat dari DPRA.
13 Agustus lalu, Presiden SBY mengeluarkan Keppres No 24 tahun 2012. Pada 17 Maret, kabar kepres tersebut sampai ke telinga Ismuhadi cs. Gubernur Aceh meminta Menteri Hukum dan HAM, Amir Samsudin, untuk bisa mengembalikan ketiga napol tersebut, dan bisa ditahan di Aceh.
“Harapan gubernur aceh langsung diaminkan oleh pak menteri. Tidak sampai satu minggu, dan prosesnya cuma sebentar. Hari ini mereka telah sampai disini,” kata Arifin Asmara, Tim Advokasi Pembebasan Napol Aceh, Selasa, 11 September kemarin, di pendopo gubernur aceh.
Renhart Parapat, yang juga tergabung dalam tim advokasi menambahkan, saat ini mereka telah dalam proses upaya asimilasi. Dimana ketiga napi tersebut bisa mendapat hak bebas bersyarat, karena telah melalui dua per tiga masa penahanan.
“Mereka sudah sampai dua per tiga masa penahanan, sehingga kita berharap 2013 nanti mereka bisa bebas bersyarat. Kita berterima kasih kepada semuanya, mulai masyarakat, dan juga kepada bapak gubernur,” ujar Renhart.
Muzakir Manaf, Wakil Gubernur Aceh, yang menyambut kepulangan Ismuhadi cs, menyebutkan, proses pemulangan Ismuhadi merupakan buah tangan, hasil kerja pemerintahannya. “Alhamdulillah, hari ini kita bisa lihat kenyataannya. Beberapa bulan kita usaha, teman kita sudah bisa kita bawa pulang dengan izin Allah,” ujar Muzakir, beberapa waktu.
Ia menyebutkan, seharusnya, Ismuhadi, Ibrahim, dan Irwan sudah bisa menghirup udara Aceh sejak lima tahun silam. Namun, kinerja pemerintahan lalu dituding tidak becus dan terkesan cuek terhadap kasus napol ini.
“Seharusnya sudah lima tahun lalu. Meunye koen ie mandum leuhop, meunye kon tanyoe mandum gob,” tambah Muzakir. Ia memberi kiasan kalau bukan diri sendiri yang berusaha dan bekerja, maka semua tidaklah mungkin terjadi.
Sementara di tempat terpisah, Rendhart dan Arifin Asmara, Tim Advokasi Pembebasan Napol Aceh menyebutkan, proses pemulangan Ismuhadi, Irwan, dan Ibrahim sudah dijajaki sejak 2007 lalu. “Prosesnya untuk mendapatkan kepres itu sudah kita lakukan sejak tahun 2007. Dan alhamdulillah sekarang terkabulkan,” kata Arifin.
***
Depok, di akhir September, 12 tahun silam. Telepon genggam Ismuhadi berdering. Ia dihubungi kepala bengkel JFC Krueng Baro, dari Cipedak, Jakagarsa, Jakarta Selatan. Seluruh karyawan dan tamu bengkel diangkut aparat kepolisian ke Polsek Jagakarsa. Mereka ditangkap, karena dugaan terlibat dalam kasus peledakan Gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ) – kini Bursa Efek Indonesia – Ismuhadi, sebagai pemilik bengkel jelas panik. Dari Depok, lantas ia bergegas menyusul ke Cipedak.
Lelaki kelahiran Kr. Baroe, tahun 1969 silam ini menanti was-was. Hingga magrib berlalu, pemeriksaan atas karyawannya tak kunjung usa, bahkan, sebagian ditahan. Ismuhadi tetap menanti. Menjelang jam dua dinihari, giliran ia yang diperiksa hingga pagi menjelang.
Ismuhadi dijebak. Ia disuruh mengakui kenal dengan pelaku pengeboman BEJ, Iwan Setiawan, yang ditangkap aparat kepolisian satu jam sebelum menggerebek bengkel Ismuhadi. Iwan juga dituding ikut terlibat sebagai peneror bom di Kedutaan Besar Malaysia, dan disanyilir tengah merencanakan peledakan Kedubes Amerika Serikat, dan Pertokoan Sarinah Thamrin.
Namun, Ismuhadi bersikeras tak kenal Iwan. “Gak kenal pak,” kata Ismuhadi menjawab polisi. Polisi menghadirkan Iwan, untuk lebih meyakinkan Ismuhadi. Namun, ia tetap mengaku tak kenal, bahkan hingga bersumpah.
Iwan sendiri yang kemudian menyela. “Bohong pak, dia bos saya. Dia yang menyuruh saya meletakkan bom BEJ,” aku Iwan, seperti yang tertera dalam surat elektronik yang dikirimkan Ismuhadi ke redaksi Harian Aceh, November, 2008 silam. Pengakuan Iwan serta merta menghadirkan mimpi buruk bagi Ismuhadi. Ia dipukuli hingga pada akhirnya ditahan dan diisolasi dari tahanan lainnya.
Oleh pihak kepolisian, Ismuhadi didaulat sebagai pimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), wilayah Jabotabek. Panglima Angkatan GAM kala itu, Abdullah Syafii, membantah keras keterlibatan pihaknya dalam pengeboman di pelataran parkir P2 Gedung BEJ.
“Meskipun mereka dari suku Aceh, tapi kerja mereka tidak ada kaitannya dengan GAM.” Ia menilai, tudingan tersebut hanya rekayasa semata. “Perlu diketahui, GAM bukan teroris,” tegasnya. Ia meminta jangan ada pihak yang mengaitkan segala bentuk kegiatan terror yang terjadi di Jakarta dengan perjuangan kemerdekaan Aceh, yang diusahakan GAM. Abdullah Syafii sendiri kemudian tewas dalam kontak tembak dengan aparat RI, di Pidie, 2002 lalu
Hal senada diutarakan Wakil Ketua Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) Wilayah Pasee, Sofyan Daod. Ia menduga, ada konspirasi untuk menyudutkan GAM dengan menuduh sebagai pelaku, sehingga merusak citra GAM. “Jangan kaitkan pengeboman BEJ, dengan GAM. GAM tidak punya kepentingan apapun dengan BEJ,” kata Sofyan.
Jaksa –saat itu Endang Rachman SH– yang mendakwa Ismuhadi sebagai panglima GAM Wilayah Jabotabek, dan menuntutnya dengan hukuman mati. Hakim, pada akhirnya menjatuhkan vonis, dengan hukuman 20 tahun penjara. Merasa tak adil, Ismuhadi naik banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Namun putusan pengadilan tinggi menguatkan putusan pengadilan negeri, bahwa ia tetap dihukum 20 tahun penjara. Kemudian, Ismuhadi mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Dua tahun menunggu putusan MA, Ismuhadi dikejutkan dengan putusan vonis, bahwa hukumannya bertambah menjadi seumur hidup. Sama dengan dua rekannya, Irwan dan Ibrahim Hasan. Mereka dikenai pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.12/Darurat/1951 junto pasal 63 ayat 1 dan ayat 2 KUHP. Ancaman penjara berkisar antara 15 tahun, seumur hidup dan hukuman mati.
Bersama rekannya, Ismuhadi mencoba tabah. Beberapa waktu seusai perjanjian damai, mereka bahkan mendapat kabar akan segera dibebaskan. Namun, kabar tersebut ternyata sekedar angin lalu. Dalam suratnya tersebut, Ismuhadi menuliskan, teman di kursi kuasa, Ismuhadi dibalik terali baja.
Bahkan janji untuk dipindahkan ke lapas Aceh sudah ada sejak 2006. Namun, kepastian tersebut tak pernah jelas, hingga Selasa kemarin. Padahal, ia sudah mendapatkan surat pemindahan ke Aceh sejak 2007, dan sudah dikeluarkan dari LP Cipinang, menuju tempat transit pemindahan, Lapas Kelas 2A, Khusus Narkotika Jakarta.
Disana, sudah ada Irwan yang menunggu. Hingga kemudian menyusul Ibrahim, yang kala itu ditahan di Cirebon. Kepala Lapas, Wibowo Joko Harjono bahkan memberi ucapan selamat. “Tiket sudah diurus pihak dirjen. Kita akan berangkat tanggal 16, pukul empat,” kata Joko.
Namun, alangkah disayangkan. Tanpa penjelasan yang konkrit, mereka tak jadi diberangkatkan. Sampai dua bulan menetap di Lapas 2A tersebut, kepastian belumlah jelas, hingga ia dipulangkan kembali ke Cipinang.
Petinggi GAM bahkan sampai tiga kali mengunjungi Cipinang, sejak Ismuhadi ditahan. Mereka yang pernah berkunjung adalah Malik Mahmud, Perdana Menteri GAM yang oleh pihak GAM kini di daulat sebagai wali nanggroe. Zaini Abdullah, Zakaria Saman, Himid Awaluddin, bahkan Juha Christensen pernah menyambangi Ismuhadi. Selain mereka, Mantan Panglima GAM, Muzakir manaf, bersama Jamaica (ahli komputer dan propaganda GAM), Nasruddin bin Ahmad, Usman Lampoh Awee, dan Muhammad Nazar juga pernah mengunjungi Ismuhadi. Semua memberi harapan, Ismuhadi bakal bebas, dan pulang menikmati perdamaian di Aceh.
Namun, baru Selasa, 11 September 2012 kemarin, janji tersebut terealisasi. Entah siapa yang berperan memulangkan Ismuhadi cs. “Meunye koen ie leuhoep, meunye koen droe, mandum gob,”kata Muzakir Manaf. Sementara tim advokasi menyebutkan upaya telah ada sejak masa Irwandi Yusuf. Yang jelas, tiga jam menghirup udara Aceh dari luar lapas, ketiganya kembali harus masuk lapas di Lambaro.
Kini, setelah 12 tahun tak menginjak tanah Aceh, akhirnya mereka kembali. Kepulangan para narapidana politik ini disambut bak pahlawan, dengan iringan musik perjuangan.[MJCNews.com]
- 0 komentar

Pentas Barong di Tahun Ular


SUARA tabuh gendang menggema. Sorak riuh penonton pecah ketika tiga barongsai kuning bergaris merah berdiri tepat di tengah penonton. Ada barongsai jantan, betina, dan si kecil yang merepresentasikan sang anak. Siang itu, Ahad (10/2/2013), barongsai meliuk-liuk mengikuti tabuhan gendang, menampilkan atraksi yang mengundang decak kagum.
Satu nampan jeruk diletakkan di tengah arena pentas barong. Ada jeruk berukuran kecil, ada pula jeruk bali, tersusun rapi di atas nampan. Dua barong, betina dan anak, mendekati sesajian ini. Mereka mengupas jeruk-jeruk itu. Di satu sesi, jeruk bali yang dikupas kulitnya, dipersembahkan kepada tetua masyarakat Tionghoa.
Barong jantan tak ikutserta menghabiskan jeruk. Ia mencari kendi air yang terbuat dari kayu. Begitu ditemukan, si barong jantan meminumnya, bergaya jurus mabuk Jacky Chan dalam film Drunken Master. Sehabis melahap minuman itu, barong jantan terkapar di atas tanah.
Selanjutnya, badut yang berperan sebagai antagonis datang mengganggu ketiga barong itu. Tak terima, barong jantan dan betina menyerang si badut pengganggu. Dan, seperti diketahui, si badut kalah, sehingga harus bersembunyi di bawah meja yang telah dikepung sang barong.
Tepukan tangan penonton membahana. Mereka tersenyum dan pada akhirnya memberikan angpau kepada ketiga barong tersebut.
Itulah pentas barong menyambut pergantian tahun Imlek yang digelar komunitas Tionghoa di Peunayong Banda Aceh. Pada peringatan pergantian tahun kali ini, etnis Tionghoa mendapatkan kebebasan untuk mementaskan tarian Barongsai, yang tak pernah terjadi pada tahun Imlek sebelumnya.
“Ini atraksi yang pertama sekali kita mainkan. Jadi hanya untuk menghibur karena dulu-dulu kan tidak pernah ada pertunjukan semacam ini,” kata Ketua Umum Perkumpulan Hakka Banda Aceh Kho Khie Siong usai pertunjukan.
Pertunjukan barongsai di ruas jalan di belakang Vihara Buddha Sakyamuni Banda Aceh itu dipersiapkan selama dua minggu. Meski persiapan singkat, pentas barong mampu menghibur warga keturunan China menyambut Tahun Ular itu.
“Tahun ini lebih meriah perayaan Imlek karena ada penampilan Barongsai. Tahun sebelumnya tidak ada,” kata Apung, seorang warga Peunayong.
“Semua etnis Tionghoa merayakan Imlek di vihara-vihara di Banda Aceh, berbeda dengan tahun sebelumnya. Tahun ini, yang tinggal di luar Banda Aceh pun merayakan di sini,” kata Pirus Handalan, sejarawan Tionghoa.
Steven, seorang pemain Barongsai, mengaku puas dengan pertunjukan itu. “Tidak sia-sia kami berlatih dua minggu,” kata dia sembari berharap bisa terus mementaskan tarian Barongsai di tahun-tahun selanjutnya.
***
TAHUN Imlek kali ini mempunyai kesan tersendiri bagi sekitar 4.000-an etnis Tionghoa yang mendiami Banda Aceh. Sebelumnya, mereka nyaris tak bisa mementaskan tarian tradisional itu di kota yang memberlakukan syariat Islam tersebut.
Pernah suatu ketika, masyarakat Tionghoa merasakan kecewa setelah Pemerintah Kota Banda Aceh membatalkan rencana atraksi Liong dan Barongsai pada peringatan tujuh tahun usia perdamaian Aceh. Kali lain, atraksi barongsai dilarang menjelang peringatan empat tahun tsunami.
Makanya, tak berlebihan jika Apung merasa senang bisa melihat barong meliuk-liuk menyambut Tahun Ular pada Ahad jelang siang itu.
Pementasan barongsai itu menandakan jalinan persaudaraan dan toleransi yang kental di Peunayong, yang merupakan pecinannya Aceh. Di kota yang terletak di pinggir Krueng Aceh itu, hidup beragam etnis dengan beragam agama dan kepercayaan. Tidak terdengar ada kericuhan antarumat beragama di sini.
Di dekat Vihara Buddha Sakyamuni terdapat dua vihara lainnya, yaitu Maitri dan Dewi Samudera. Ketiga vihara ini berdampingan dengan Gereja Protestan Indonesia bagian Barat. Di dekatnya lagi ada Gereja Methodist. Lalu, tak jauh dari situ, di ujung Jalan Panglima Polem berdiri megah sebuah masjid.
“Kita saling menghormati antara satu agama dengan agama lainnya,” kata Ketua Vihara Dewi Samudera, Rita, kepada acehkita.com. “Sudah terbangun saling pengertian.”
Peunayong telah lama menjadi kawasan tempat orang China beranak-pinak. A. Rani Usman, penulis buku Etnis Cina Perantauan di Aceh, menyebutkan, etnis China telah mendiami Peunayong sejak abad 9. Kata Peunayong berasal dari “peu payong” yang berarti memayungi, melindungi. Sebuah hikayat menyebutkan, Peunayong merupakan tempat Sultan Iskandar Muda memberikan perlindungan atau menjamu tamu kerajaan yang datang dari Eropa dan Tiongkok.
A. Rani Usman menulis, hubungan Cina dan Aceh memasuki masa harmonis ketika Laksamana Cheng Ho bermuhibah ke Kerajaan Samudera Pasai di utara Aceh pada 1415. Sebagai kenang-kenangan dari negeri China, Cheng Ho menghadiahi Samudera Pasai lonceng besar yang dikenal dengan Cakradonya. Pada abad ini dikenal sebagai fase kedua kedatangan China ke Aceh.
Masih menurut Rani, fase ketiga kedatangan warga Tiongkok ke bumi Sultan Iskandar Muda terjadi pada 1875. Migrasi besar-besaran ini terjadi karena dibawa Belanda. Etnis China dipekerjakan sebagai budak di Aceh. Sifat pekerja keras mengantarkan mereka ke gerbang kesuksesan di bidang niaga. Di Banda Aceh, seperti jamak di negara lain, etnis Tionghoa merupakan pedagang, pengusaha sukses.
Warga China di Banda Aceh merupakan generasi ke-4 atau ke-5 dari buyut mereka yang datang pada abad 19. Mereka adalah suku Khek, yang berasal dari Provinsi Kwantung, Tiongkok. Mereka belum bercampur dengan suku Kong Hu Cu, Hai Nan, dan Hok Kian.
Bagi mereka tahun Imlek harus dirayakan dengan khidmat. Bahkan, berbusana pun dianjurkan menggunakan serba merah. Makanya, tak heran jika pada perayaan Imlek di Peunayong Ahad lalu, sejumlah perempuan dan anak-anak memakai pakaian merah.
“Kalau bisa, hari ini semuanya pakai baju merah,” kata sejarawan Tionghoa, Pirus Handalan.
Dan, tak lengkap merayakan Imlek jika tak berbagi angpau. “Itu melambangkan kegembiraan dan semangat,” kata seorang Tionghoa. Makanya, mereka berlomba-lomba memberikan angpau kepada tiga barong usai atraksi, sembari mencari berkah di Tahun Ular yang dipercaya penuh aral melintang. [acehkita.com]
Jumat, 08 Februari 2013 - 0 komentar

Syariat Islam untuk Siapa?


Bang Amat nelangsa. Meski bersuara lantang, aura kesedihan terpancar, tampak di wajahnya. “Le that meuthen syariat jino ka,” katanya di pagi Jumat, 12 Desember, lalu. Kesedihan Bang Amat bukanlah tanpa dasar. Lelaki berusia setengah abad ini berpendapat, penegakan syariat Islam di masa ini mengalami banyak tantangan. Di antaranya, banyak pantangan yang menjadikan syariat Islam tidaklah berjalan. Misal saja, kata Bang Amat, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang kadang bertabrakan dengan penegakan syariat Islam.
“Nyan jinoe, menye tacutit aneuk, ka dipeugah melanggar HAM,” gerutu Bang Amat.
Ditemani secangkir kopi, saya duduk menemani Bang Amat, warga Meunasah Neulop, Kemukiman Reubee, Delima, Pidie, Jumat itu bersama Tengku Aminullah. Sebetulnya, Bang Amat merupakan salah satu warga yang sangat setuju dengan penegakan syariat Islam di Aceh. Namun, banyaknya hal yang membuat syariat mandek, membuat ia gusar.
Tengku Aminullah juga berpandangan sama dengan Bang Amat. Menurut pengajar tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Al Aziziyah Samalanga, Bireuen, itu pola pengobrokan syariat ini dimulai setelah tsunami melanda Aceh tahun 2004 lalu.
“Pola itu juga pengaruh bawaan NGO ke mari. Saya teringat yang dibilang Pak Karim Syech, bahwa NGO masuk ke Aceh bukan gratis. Bantuan yang diberikan kepada orang Aceh tidaklah gratis,” katanya mengutip pernyataan Karim Syech, Ketua MPU Kota Banda Aceh. “Setelah itu di Aceh mulai ada undang-undang itu (Perlindungan anak-red) yang mengerdilkan agama. Undang-undang Tuhan mulai ditentang sama undang-undang yang dibuat manusia.”
Tengku Aminullah menjelaskan, kita, masyarakat Aceh telah diberi umpan oleh NGO dan baru merasakan sekarang ketika banyak aliran yang beredar di Aceh. Konsep itu, tambah pengajar IAIN Ar-Raniry dan Dayah Darul Muar’if, Lampoh Pande di Neulop ini, telah lebih dulu dipopulerkan oleh Snock Hurgronje. Sedangkan masalah pemberian uang merupakan konsep milik Belanda.  Bang Amat pun sependapat dengan Tengku Aminullah.
“Nye awai nyan dirhoem peng lam peurede tring, jadi jak tanyo cah peureude tring untuk cok peng.” Maksudnya, Belanda ketika menjajah Aceh pada masa lalu, menaburkan uang dalam rumpun bambu. Tujuannya orang Aceh bisa membabat semua batang bambu, sehingga tidak lagi bisa bersembunyi. “Dulu kita diperangi membabi buta, kita sembunyi di balik batang bambu. Begitu cara menghabisi kita oleh Belanda,” tambahnya.
Konsep baru yang ditawarkan melalui hukuman cambuk bagi pelaku maksiat pun, disangsikan oleh Tengku Aminullah. Penerapan yang tak sesuai dengan aturan yang berlaku pada zaman nabi membuat hukum tersebut tidak berjalan. “Perlu digarisbawahi, ketika melakukan hukum rajam dan cambuk, ada aturan sendiri dan tidak bisa semena-mena, main langsung tangkap dan cambuk.”
“Kalau orang yang berzina dan kemudian ditangkap, hukumnya memang dirajam, tapi praktik dan aplikasinya itu seperti apa? Coba kita lihat hadits Nabi, apa Nabi Muhammad pernah mengatakan bahwa  beliau pernah menghukum cambuk dan merajam orang gara-gara melakukan perbuatan zina. Semua hadits sepertinya tidak ada yang menuliskan demikian. Kemudian pada masa sahabat ada tidak?” tanyanya lagi.
“Sebagian memang ada yang bilang ada, yaitu Abu Syammah. Tapi beliau kena hukum cambuk, bukan karena ditangkap, tapi pengakuan beliau sendiri telah berzina. Yang ditangkap tidak pernah ada,” tambah Tengku Aminullah.
Tengku Amin menyebutkan, menjatuhkan hukuman cambuk tidaklah boleh sembarangan. Ada prosedur khusus yang telah diatur dalam agama Islam. Harus ada minimal empat saksi yang adil dan melihat langsung dua insan berlainan jenis sedang melakukan persetubuhan. Adil dalam artian kuat dalam pengetahuan dan perbuatan keagamaan,  sah menjadi saksi nikah.
“Sekarang kita lihat secara logika, mana mungkin melihat orang yang memang sedang bersetubuh. Oke kalau memang kita lihat langsung, sedang kita memanggil orang alim, mereka sudah tidak lagi satu badan berdua.”
Tengku Amin menekankan, hukum cambuk dan rajam sangatlah sulit untuk diterapkan. Hal tersebut merupakan aib yang sangat memalukan. Islam, sebut Tengku Amin, menerapkan hukum seperti itu, supaya umatnya tidak melakukan hal yang demikian.
“Tapi kita lihat aplikasinya sekarang, bagaimana caranya menghukum orang? Ketika hanya sebagian hukum yang berjalan, maka saat itu orang akan membenci syariat Islam. Waktu penerapan  yang tidak imbang, saat itu akan menjadi konflik baru. Jadi, syariat Islam di Aceh sekarang ini menciptakan konflik baru. Dalam menjatuhkan hukum masih memandang orang. Aparat siapa berani hukum, dan efeknya akan timbul perpecahan di kalangan kita orang Aceh. Hal yang kita sayangkan sekarang, kita tidak lagi bersatu.”
Persatuan dalam diri orang Aceh memang tidak sekuat masa dulu, dimana saat konflik mendera Aceh.  “Saat itu kita dalam posisi tertekan, jadi kita mempunyai rasa kebutuhan dan tidak mungkin kita sendiri.” Persatuan orang Aceh bisa dilihat dari hidupnya balai-balai pengajian dan di meunasah di gampong-gampong. “Juga perlu diingat, saat itu syariat Islam di Aceh belum ada konsep, tapi memang muncul dari kesadaran masyarakat,” jelas Tengku Amin.
Menyangkut persatuan, sebetulnya, Masyarakat Aceh mempunyai konsep yang sama, yaitu konsep warisan indatu yang diajarkan turun temurun. “Konsep itu yang harus kita bangkitkan. Kita satu nektu. Jangan sampai harus  perang dulu baru bersatu.”
Untuk membangkitkan kembali hal tersebut, Tengku Amin dan Bang Amat menyarankan para orang tua untuk senantiasa mendidik anak-anak kecil usia sekolah dasar. “Nyan aneuk mit ube’ nan hana diteupe sapeu lom. Lebih mudah mendidik mereka daripada meluruskan yang sudah rusak.”
“Menerapkan syariat islam haruslah membangun dari diri sendiri. Pendidikan tingkat rumah yang penting.”  Tengku Amin memberi contoh pada diri perempuan, dimana perempuan adalah sosok ibu. Namun, banyaknya aturan yang bertabrakan dengan aturan masa modern seperti gender membuat lelaki berbadan tambun ini menyangsikan penerapan tersebut akan maksimal.
“Seharusnya perempuan atau ibu tidak boleh bekerja. Karena mereka memang pendidik anak, tidak perlu memikirkan hal lain. Namun pemikiran modern tidak lagi menerima hal tersebut. kenyataannya seperti itu memang.”
“Didikan ibu cukup berharga. Sambil menidurkan anak ia mengelus kepala. Saat itu ia mengenalkan Tuhan melalui selawat-selawat, atau dengan berzikir memuji Keeasaan Allah, Lailahaillallah. Itu konsep ajaran pengenalan syariat orang Aceh. Pengajaran agama islam sejak dini,” kata Tengku Amin.
Bang Amat dan Tengku Amin punya pandangan yang sama. Ibu, bagi mereka merupakan sosok penting, dan orang yang pertama mengenalkan Tuhan kepada sang anak. Menurut mereka, begitulah konsep penerapan syariat di diri orang Aceh. Di mana pendidikan tingkat rumah merupakan hal yang utama. “Sekarang kita tidak tau lagi kita apa masih ada yang demikian? Saya rasa sudah sangat langka,” tutup Bang Amat. []
- 0 komentar

Narkoba “Baru” Raffi Ahmad


VIVAnews – Wanda Hamidah menghabiskan malam panjang di Kafe Parc Lounge di bilangan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu malam, 26 Januari 2013. Wanda, saat itu lagi kongkow bersama delapan temannya. “Girls Night.” Begitulah status di BlackBerry Messengernya, seperti terbaca oleh teman kuliahnya dulu, Kartika Yosodiningrat. Tapi Kartika tak ikut berkumpul malam itu.
Tak berapa lama, datanglah Raffi Ahmad bersama sejumlah teman. Presenter kenamaan ini duduk di meja berbeda, meski berdekatan dengan Wanda. Kedua kelompok ini pun akhirnya bergabung, pindah duduk ke kafe Umbra, persis di seberang Parc Lounge. Tak terasa jam demi jam berlalu, obrolan hangat terjalin di antara belasan orang itu.
Lewat tengah malam, Raffi yang sehari-hari tidak merokok itu pun mengantar Wanda dan para rekannya itu ke rumah orang tua Wanda di Jakarta Selatan. Mereka tadi menitipkan mobilnya di sana. Lalu Raffi, Wanda, dan satu temannya, menuju Apartemen Bonavista, tempat Wanda tinggal.
Tapi di tengah jalan, rencana berubah. Lajang asal Bandung ini malah mengajak Wanda mampir ke rumahnya, di kompleks rumah bandar di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Wanda tak keberatan. Apalagi, sebagai politikus Partai Amanat Nasional, dia memang hendak mengajak Raffi ikut membantu acara bakti sosial bagi korban banjir Jakarta.
Jadilah, belasan orang menuju rumah Raffi, presenter kondang yang saban hari sibuk tampil di sejumlah televisi itu.  Raffi sudah empat tahun tinggal di bangunan paling ujung di perumahan itu.
Girl Night Part Two.” Wanda Hamidah pun mengganti status di BlackBerry Messengernya. Saat itu, waktu sudah lewat pukul 02.00, pada Minggu 27 Januari itu.
Di rumah Raffi pada dini hari itu, Wanda merasa tak ada yang janggal. Dia tak melihat obat-obatan, atau bahan mencurigakan. Hanya ada minuman ringan, dan makanan kecil. “Kami sekadar mengobrol. Ada yang main piano, main laptop,” kata Wanda, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta itu.
Tapi sekitar pukul 05.00, Ketua RT 009/04 Lebak Bulus didatangi petugas yang mengaku dari Markas Besar Kepolisian. Masum, sang ketua RT, rupanya diajak polisi menggerebek rumah seorang warga. “Ada kecurigaan narkoba pada warga saya,” ujar Masum. Tapi saat itu, sang ketua RT tak diberitahu polisi rumah siapa yang dituju. Masum hanya ikut saja bersama 15 petugas berbaju preman.
Rupanya itu rumah Raffi Ahmad. Begitu Masum masuk, Raffi tampak santai duduk-duduk di ruangan dalam. “Kondisinya sadar. Baik, biasa saja,” kata Masum. Raffi saat itu bercelana pendek, dan berkaus oblong putih. Masum melihat ruang tamu Raffi penuh orang.
“Ada yang joget-joget, ada yang main laptop,” kata Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Badan Narkotika Nasional, Sumirat, dalam jumpa pers menjelaskan kejadian itu, belakangan. Kata Sumirat, kegiatan Raffi sudah dipantau petugas sejak dari Kafe Parc Lounge itu.
Polisi lalu memeriksa rumah. Raffi mempersilakan para hamba hukum itu menggeledah. Ada 17 orang di rumah itu. Empat di lantai dua, sepuluh di ruang tamu, dan tiga laki-laki teman Raffi --yang malam itu baru datang dari Jawa Timur sedang asyik tidur. Begitu pula Mira, asisten Raffi, yang juga sedang tidur di kamar atas.
Saat polisi menggeledah rumah itu, sialnya artis Zaskia Sungkar dan suaminya, Irwansyah, justru datang bertamu.
Zaskia dengan percaya diri masuk ke dalam rumah. Dia hendak mencari sopir Raffi. “Pas masuk ke garasi Raffi yang gelap, lalu, ada yang bisikin dari situ, 'Jangan masuk dulu mbak sampai aku masuk'," kata Zaskia. Namun terlambat. Zaskia dan Irwansyah, yang katanya subuh itu hendak berbicara bisnis dengan Raffi, pun diciduk petugas BNN.
Bagi petugas, ada temuan penting  hasil sergapan fajar itu. Mereka menyita dua linting ganja, dan 14 kapsul, yang belakangan diketahui di dalamnya terkandung zat turunan katinona. Itu zat termasuk Golongan I menurut Undang-undang Nomor 35 tentang Narkotika, namun turunannya belum. Ada pula beberapa botol minuman bersoda, yang belakangan diketahui tercampur mirip dimetil-3,4-metilendioksi fenetilamina (MDMA) --yang juga termasuk Golongan I di UU Narkotika.
Kapsul-kapsul itu ditemukan di laci ruang makan. “Saya lihat bentuk botol seperti botol vitamin. Ada bacaannya Vit On,” ujar Masum. Sedangkan dua linting ganja, ditemukan di kamar Raffi di lantai satu. Saat itu Raffi sempat mengelak. “Itu bukan punya saya,” katanya.
Pagi itu, polisi mengangkut 17 orang, beserta aneka bukti itu, ke markas BNN di Cawang, Jakarta Timur.
Turunan Katinona
BNN melepaskan tujuh dari 17 orang yang ditangkap, termasuk Irwansyah dan istrinya, Zaskia, dua hari kemudian. Sementara, Raffi dan satu temannya ditemukan terbukti memakai zat baru yang disebut 3,4 methylenedioxymethcathinone.
“Itu bukan narkoba jenis baru, tapi zat baru,” kata Sumirat dalam konferensi pers di gedung BNN, Jakarta, Selasa 29 Januari 2013. Sementara Wanda, dan satu orang lainnya, dipastikan bebas dari narkoba. Mereka dilepaskan pada Rabu lalu.

Karena yang ditemukan adalah zat narkotika “baru”, BNN lalu berkoordinasi dengan sejumlah lembaga ihwal golongan manakah 3,4-methylenedioxymethcathinone ini, dan seperti apa efeknya.  Kata Sumirat, mereka harus berkoordinasi dengan Menteri Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk mengulik zat kimia turunan itu.

Katinona, dalam dosis sangat ringan, sebetulnya berefek seperti kopi. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), mengatakan senyawa katinona setara kafein pada kopi dalam soal menstimulasi tubuh. Senyawa katinona alami banyak ditemukan pada daun kat, daun yang populer di Yaman, dikunyah pria seperti mengunyah sirih.

"(Jika masih dalam daun) ini sebanding dengan minum kopi," kata Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza BPOM A Retno Tyas Utami di Gedung DPR, Rabu, 30 Januari 2013. "Tapi kalau katinona yang dimasukkan kapsul itu konsentrasinya lebih besar."

Menurut Retno, jika senyawa katinona dicampur dengan zat lain menjadi sangat berbahaya. Di dalam tubuh, katinona membuat penggunanya euforia, kurang nafsu makan, tapi tidak mengantuk. Efek lain, membangkitkan hasrat seksual berlebihan. "Kami tidak tahu dosis toksinnya. Karena itu katinona tidak dipakai sebagai obat."

Zat itu memang tak sepenuhnya “baru”. Dalam Undang-Undang Narkotika, katinona masuk narkotika golongan I. “Tapi turunan katinona belum dicantumkan,” kata Retno. Turunan katinona inilah yang diyakini berbahaya. Oleh sebab itu BPOM setuju lampiran UU Narkotika dilengkapi lagi.

Cara pemakaian 3,4-methylenedioxymethcathinone adalah dengan mencampurnya dengan minuman soda. Raffi Ahmad, misalnya, mencampur zat yang dikemas dalam kapsul ini dengan minuman ringan bermerek Sprite.
BPOM pun tak tahu dari mana artis Raffi Ahmad mendapatkan zat turunan katinona itu. “Mungkin Raffi mendapat infonya dari internet atau teman bergaulnya,” ujar Retno.
Dokter spesialis adiksi dan ketergantungan narkoba, Lula Kamal, mengatakan zat narkotika yang dikonsumsi Raffi itu sesungguhnya bukan barang baru.  Ia sudah ada sejak 17 tahun lalu. “Sudah dipatenkan sejak tahun 1996. Tapi memang penggunaan methylenedioxymethcathinone oleh Raffi adalah kasus pertama di Indonesia,” kata Lula Kamal kepada VIVAnews, Rabu 30 Januari 2013.

Dokter lulusan King’s College London bidang rehabilitasi narkoba dan adiksi itu mengatakan,methylenedioxymethcathinone memang bukan narkotika yang gampang ditemukan di negeri ini. “Di Indonesia, yang populer shabu, amfetamin, ekstasi,” kata Lula.

Mungkin itu sebabnya Badan Narkotika Nasional butuh waktu lama memeriksa Raffi cs. Soalnya, selain langka, methylenedioxymethcathinone itu turunan kesekian dari katinona.  “Zat kimia, termasuk narkotika, selalu diperbarui. Dalam dua-tiga tahun, pasti ada yang baru,” ujar Lula. Dia menambahkan, undang-undang anti narkotika yang ada tak bisa mengakomodir semua turunan senyawa membius itu. “Bahkan, BNN baru tahu barang ini beredar di Indonesia dari kasus Raffi”.

Bisa terjerat hukum?

Jika tak disebut dalam Undang-undang, bisakah pihak berwajib menyeret Raffi ke pengadilan?
Advokat Henry Yosodiningrat yang juga memimpin kelompok antinarkoba, Gerakan Rakyat Antinarkotika (Granat), menyatakan, jangan melihat aturan tertulis. Henry mengajak polisi, jaksa dan hakim berpikir progresif, tidak tekstual. Henry pun mencontohkan sebuah kasus yang ditangani hakim Bismar Siregar.
Bismar, kata Henry, pernah menerapkan Pasal 378 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berisi ketentuan penipuan. “Penipuan itu setiap orang yang memberikan serangkaian kata-kata bohong, tipu muslihat, menggerakkan hati orang lain, untuk menyerahkan barang. Titik beratnya barang,” kata Henry.  Nah, oleh Bismar, pasal itu digunakan untuk mengadili kasus seorang perempuan yang kegadisannya direnggut dengan iming-iming dikawini seorang pria yang kemudian ternyata meninggalkannya.
“Dalam kasus yang ini (penggunaan narkotika turunan katinona—red), kalaupun dia katakanlah tidak diatur, tidak disebutkan secara spesifik, kita harus melihat dampaknya bagi kelangsungan atau keselamatan bangsa ini,” kata Henry.
Sementara pakar hukum pidana narkotika dari Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Dani Krisnawati, SH, M.Hum, mengatakan dalam hukum pidana dikenal metode gramatikal sistematis. Metode ini memungkinkan seorang penyidik menerapkan pasal dalam UU Narkotika menjerat seseorang meski yang dikonsumsi tak masuk daftar jenis narkoba di UU Narkotika.
Ehylenedioxymethcathinone yang dikonsumsi Raffi merupakan turunan katinona, sehingga dapat kategorikan menggunakan narkotika golongan I karena katinona sudah dikategorikan jenis narkoba golongan I,” kata Dani kepada VIVAnews, Kamis 31 Januari 2013.
Namun, Dani mengingatkan, penyidik BNN harus memperkuat bukti dengan masukan dari berbagai pihak seperti Farmakologi, ahli hukum pidana, dan pihak-pihak terkait lainnya. Metode gramatikal sistematis itu, kata dia, dapat diterapkan agar jika ditemukan narkotika jenis baru tak harus mengubah UU. “Perkembangan narkotika dan turunannya lebih cepat dari pada mengubah UU Narkotika,” katanya.
Ada pula soal lain kalau Raffi luput dibawa ke proses pengadilan dengan alasan barang yang dikonsumsi tak masuk jenis narkoba seperti dalam UU Narkotika. Tentu, hal itu akan menjadi celah bagi para bandar dan pengedar, berjualan barang haram secara terang-terangan.
Polisi pun menjerat Raffi, enam temannya dan sopir pribadi Raffi. "Yang pakai cathinone ini ada semuanya tujuh orang: 2 ganja-cathinone, 2 ekstasi-cathinone, dan 1 ganja-ekstasi-cathinone," ujar Sumirat. Ke delapan orang tersebut terjerat sejumlah pasal di Undang-undang Narkotika.
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, Raffi Ahmad akan ditahan selama 20 hari di rumah tahanan BNN, Cawang. "Telah diterbitkan surat penahanan selama 20 hari terhitung hari ini,” ujar Sumirat, Jumat 1 Februari 2013.
Kini, Raffi tak lagi bisa bercengkrama riang di rumahnya, atau seperti di kafe Kemang. Dia, gara-gara katinona itu, harus berdiam di rutan badan anti narkotika, Cawang.(Vivanews.com)
Kamis, 07 Februari 2013 - 0 komentar

Panglima Ishak Daud di mata saya (Bagian VI-TAMAT)


Saya bangun menjelang subuh. Beberapa prajurit GAM saya lihat shalat dengan khusuk.
Hari itu aktifitas kami hanyalah menunggu kedatangan Fery yang dijadwalkan akan tiba siang hari. Tidak banyak yang kami lakukan. Imam sibuk membaca  buku harian Fery yang dipinjamkan Ishak, sementara saya sibuk mengambil foto dan bercakap-cakap dengan prajurit GAM lainnya.
Masyarakat terlihat bolak balik di tempat itu. Terkadang mereka bercakap-cakap dengan anggota GAM dengan akrabnya. Perempuan-perempuan juga kelihatan sibuk menyiapkan makan siang.
Menjelang siang suasana panasnya luar biasa. Saya mulai bosan dan akhirnya menghampiri Ishak Daud yang baru saja menerima telpon dari wartawan lewat telepon satelitnya.
”Teungku, lon meuheut mita ie leupie. Jeut lon jak siat mita kios (Saya ingin minuman yang dingin, bisa saya pergi sebentar cari kedai?)” tanya saya.
Ishak langsung mengeleng.
”Hanjeut. Mandum wartawan harus na disinoe.Lon yang tanggung jaweb. Peu meuheut jeb ( Nggak boleh. Semua wartawan harus ada disini. Saya yang tanggung jawab. Kamu mau minum apa)?” tanyanya.
Secara refleks saya melihat pohon kelapa yang terlihat berjejer di dekat meunasah.
”Ie U jeut chit (air kelapa boleh deh),” kata saya.
Hanya 30 menit kemudian satu baskom air kelapa muda sudah ada di depan saya. Bukan hanya kelapa muda, tetapi lengkap dengan es dan sirup merah yang dari baunya saya tahu itu pasti sirup cap patung, kegemaran orang Aceh.
Es dan sirup. Bayangkan di tempat seperti ini yang tidak ada listrik, ada es. Dan sirup itu. Luar biasa. Padahal saya cuma mau minum kelapa muda biasa untuk tidak merepotkan. Tapi ini, kelapa muda dengan sirup dan es. Sangat luar biasa.
Saya melihat tim ICRC sudah datang. Mereka disambut Ishak dengan ramah. Fery akan datang sebentar lagi.
Setelah makan siang, yang ditunggu datang. Fery muncul dengan serombongan pasukan. Dia langsung memeluk Imam yang terlihat terharu.
Semula Ishak tidak mengizinkan Fery untuk keluar dengan ICRC. Tetapi setelah ICRC berjanji untuk membawa Fery kembali besoknya, Ishak akhirnya setuju. Dia juga minta kami untuk menginap semalam lagi sebagai jaminan. Nah loh
Akhirnya kami terpaksa bertahan disana. Melepas kepergian Fery dengan mobil hingga hilang dari pandangan. Hanya sedikit yang tahu bahwa saya sempat menitipkan satu memory card kamera saya untuk wartawan yang berada di Langsa. Firasat saya minimal ada foto yang bisa selamat dari sini seandainya terjadi apa-apa pada saya.
Sore datang, kali ini kembali kami bersama anggota GAM lain menuju sumur untuk bersih-bersih.
Pulangnya saya duduk disamping salah seorang prajurit GAM (saya lupa namanya) yang sedang membersihkan AK-47-nya. Dengan bangga dia memperagakan bagaimana membuka bagian-bagian dari senjatanya dan membersihkannya dengan minyak mesin jahit bermerek singer.
”Cara pegangnya begini Kak, nah karena  setiap mengeluarkan peluru sentakannya kuat, maka gagang AK ini ditaruh di pangkal lengan begini…” katanya memperagakan. Saya mangut-mangut.
”Kita bisa setel jumlah peluru yang keluar. Bisa satu-satu, bisa juga dua dua namanya semi otomatis. Nah kalau yang otomatis bisa keluar banyak sekalian, tapi kan rugi kak. Kata Abusyik kita harus hemat,” katanya sambil memberitahu saya bagaimana cara menyetel otomatis dan semi otomatis di senjatanya.
Berikutmya dia mengajari saya memasukkan peluru AK ke dalam magazen. Menurutnya setiap anggota GAM punya magazen cadangan. Si prajurit sangat bangga memakai AK-47. Alasannya senjatanya itu badung dan tidak cepat meleyot seperti senjata lainnya.
Hanya dalam waktu sejam saya tahu bagaimana cara kerja senjata itu langsung dari ahlinya. Setidaknya secara teori.
Malam turun. Suara gengset yang menyebalkan itu terdengar lagi. Saya baru saja bersiap-siap akan tidur ketika mendengar ada kegaduhan di luar meunasah. Rupanya Ishak mendapat informasi kalau TNI tidak mau memberikan waktu sehari lagi untuk pelepasan sandera. Sejumlah tank dan ratusan pasukan TNI sedang dikerahkan untuk mengepung Desa Lhok Jok berikut kami yang berada disana.
Saya langsung punya firasat buruk. Saya mengemasi semua barang-barang saya dan menyusul teman-teman saya di luar meunasah.
Imam sudah mencoba meminta kepada teman-teman di Langsa untuk memberi waktu sehari lagi. Tetapi sepertinya tidak berhasil. Kami berlima duduk dalam kondisi syok. Bingung harus berbuat apa.
Para prajurit GAM sepertinya marah. Marah karena rencana tidak sesuai dengan rencana mereka. Dan kemarahan mereka sudah pasti diarahkan ke kami.
Ka pasti lagee nyoe akhee buet. Yang paih tatimbak saboh-saboh mangat leuh mandum. Hana payah tanyo (Sudah pasti akhirnya begini. Yang benar kita tembak satu-satu supaya kita tidak perlu repot),” kata seorang anggota GAM dengan mata nanar.
Yang mengancam itu, kita panggil saja Mr X,  sudah sejak siang sepertinya benci sekali pada wartawan. Dia memakai kalung yang bandulannya berbentuk kain yang saya pikir adalah jimat. Wajahnya seram.
Kata orang, si Mr X itu adalah pencari dana untuk GAM yang dulu ngetop dengan istilah pajak nanggroe. Saya melihat sejak siang dia kerap mengintimidasi saya lewat perlakuan dan kata-kata. Kemana-mana dia membawa kantong plastik berwarna hijau berisi buku catatan dan.. ada pistol jenis (kalau tidak salah) FN disitu.
Setelah mengucapkan kalimat itu, si Mr X mengambil kantong plastiknya dan langkahnya langsung menghampiri saya. Kelakuannya didukung oleh yang lain. Semua bicara dengan bahasa daerah yang saya dan Munir mengerti, tetapi tidak untuk teman saya yang lain.
Melihat itu Teungku Ishak menenangkan Mr X dan anak buahnya.
”Nyan ken cara keu masalah nyoe (Bukan ini cara menyelesaikan masalah ini),” katanya sambil memandang si Mr X tegas. ”Tanyoe hanjeut poh wartawan ntrek donya hana geudukung tanyo lee (Kita tidak bisa bunuh wartawan karena internasional tidak akan mendukung kita lagi),”
Si Mr X mundur. Pistolnya kembali dimasukkan ke kantong plastiknya. Saya gemetaran. Antara takut dan marah.
Akhirnya diputuskan untuk membawa wartawan ikut ke gunung. Ini sama seperti penyanderaan jilid ke II tetapi dengan jumlah sandera lebih banyak.
Ishak mengoda kami yang pucat pasi. Dia menyanyikan lagu anak ayam. Istilahnya dia melepaskan satu anak ayam yaitu Fery tapi dapat 5 anak ayam lainnya yaitu kami. Busyettt dah ah ah.
Sementara para prajurit GAM itu malah senang karena ada yang perempuan yang ikut.
Kana ureung taguen bu ke tanyo, betoi ken kak (Sudah ada orang yang masak nasi buat kita. Iya kan kak)?” kata mereka sambil cengengesan.
Terlepas dari rasa takut, saya membalas.
Lon hanjeut maguen. Ie mantong hangoh (saya tidak bisa masak. Air saja hangus),”  kata saya yang ditimpali cekikikan mereka.
Tanyoe jeut tasiap-siap (Kita siap-siap sekarang),” kata Teungku Ishak ke anak buahnya.
Teungku Ishak kemudian memasang stagen panjang di perutnya. Stagen itu yang membuat si panglima tidak kelelahan saat jalan jauh dan juga mencegah turun berok bila  memanggul barang berat.  Setelah rapi, dia membagi kami ke empat kelompok.
Dan olala.. saya dimasukkan ke kelompok si Teungku bersama Imam.
Saya berpikir keras bagaimana bisa saya lepas dari masalah ini. Sebuah ide muncul. Dan saya langsung menghampiri sang panglima yang sepertinya sedang bersiap-siap.
”Abusyik,” panggil saya. (Ini pertama kalinya saya memanggil beliau dengan panggilan non-formal itu)
Ishak menoleh ke saya.
Peu Nani? Ye? (kenapa Nani? Kamu takut?” tanyanya to the point seolah membaca pikiran saya.
Saya menatap sang panglima serius.
Lon kon ye, tapi lon gohlom peugah bak mak, lon jak bak droun. Misal jih teukeudi na masalah, kiban? So tanggung jaweub ke mak lon? Droun? (Saya bukan takut, tapi saya belum bilang sama mamak saya pergi ke tempat anda. Kalau misalnya terjadi apa-apa gimana? Siapa yang tanggung jawab? Teungku Mau?)” kata saya.
Di luar dugaan Teungku Ishak tertegun. Kemudian dia menatap saya dan tersenyum. Senyum yang saya rasa tulus karena tidak ada sinar kesinisan disitu.
Boh kajeut, Nani preh disinoe. Jadi jeut kalen kiban kondisi masyarakat watee ditamong tantra (jadi boleh, Nani Tunggu disini. Jadi bisa melihat kondisi masyarakat kalau tentara masuk),” katanya.
Para kelompok GAM itu berangkat satu-satu. Meninggalkan saya dengan masalah baru yaitu bagaimana menghadapi tentara yang akan masuk. Saat itu saya berpikir apa keputusan saya tidak ikut Teungku Ishak sudah keputusan yang tepat? Lebih enak mana berhadapan dengan TNI atau GAM. Ini pilihan sulit.
Beberapa masyarakat memberikan saya minum dan selimut. Mereka juga mengajari saya bagaimana tiarap dan juga berlaku bila sedang diperiksa TNI. Mereka minta saya sabar dan banyak berdoa.
Saya terharu. Masyarakat. Mereka selalu menjadi korban. Tapi mereka begitu tabah dan tidak pernah mengeluh. Meski kadang rumah mereka dibakar, anak mereka ditangkap, kemudian terbunuh, atau harus membayar pajak pada GAM… Mereka tergencet diantara GAM dan TNI. Sampai kapan mereka akan terus begitu?
Saya sudah pasrah. Tetapi Allah masih melindungi saya. Negosiasi teman-teman kami di Langsa membuahkan hasil. TNI akhirnya memutuskan memberi waktu 24 jam lagi untuk Gam melepaskan masyarakat.
Hanya dalam waktu 1 jam kondisi kembali aman, dan para GAM yang sudah masuk hutan itu kembali ke Lhok Jok. Saya melihat Teungku Ishak senyum-senyum saat kembali ke Meunasah.
Na yang ye ke mak, (ada yang takut ke Mamaknya),” katanya menggoda saya ketika melihat saya menyambut kedatangannya.
Meskipun kondisi sudah aman, saya tetap tidak terima diintimidasi oleh MR X. Saya kemudian bicara pada Teungku Ishak saat saya menemukan dia sendirian.
Lon hana teurimong aneuk buah droun yang ancam-ancam lon nyan (saya tidak terima anak buah anak yang ancam-ancam saya itu),” kata saya begitu duduk disebelah Ishak.
Lon lakee meah beh. Awak nyan memang bingkeng. Tapi sebetoi jih get akai(saya minta maaf ya, mereka memang agak pemarah, tapi sebetulnya mereka orangnya baik kok),” kata Ishak menenangkan saya.
(NOTE: Saat masa damai saya mencoba men-trace keberadaan si MR X. Belakangan saya mendapat info kalo Mr X saat ini dipenjara di Philipina karena ketahuan menyeludupkan senjata untuk GAM hanya berselang beberapa hari sebelum penandatanganan perjanjian damai. Saya tidak tahu harus senang atau malah kasihan)
Ishak kelihatannya senang karena semua berjalan sesuai rencana. Kenduri berhasil dilangsungkan. Masyarakat sudah diserahkan ke ICRC, dan Fery mau kembali ke Lhok Jok untuk acara.
Kami berpisah sore harinya. Ishak menjabat tangan saya. Kali ini lebih lama dan akrab.
Pajan-pajan tanyoe ta meurumpok lom tapi laen watee lakee izin ilee bak Mak(Kapan-kapan kita ketemu lagi, tapi kali ini izin dulu sama mamak ya),” katanya sambil tersenyum.
Kali ini saya tidak bisa menahan tawa.
Ishak menghilang di kejauhan diikuti anak buahnya. Tidak ada pernah terbersit dalam pikiran saya bahwa itu adalah pertemuan terakhir saya dengannya. Bulan September 2004 atau 4 bulan setelah pertemuan saya terakhir, saya mendapat info kalau Teungku Ishak sudah tertembak dan meninggal bersama Istrinya Cut Rostina.
Saya sempat tertegun dengan informasi itu. Karena ingatan saya pada beliau begitu kuat. Saya tidak menyangka Ishak Daud akan pergi secepat itu padahal beberapa bulan ke depan Aceh akan berdamai… Ishak pergi tanpa pernah merasakan manisnya perdamaian seperti para petinggi GAM lain yang kini bergelimang harta, jabatan dan istri yang cantik-cantik.
Terlepas dari kejadian terakhir di Lhok Jok, saya tetap mengagumi sang panglima sebagai komandan GAM terbaik. Buat saya beliau tidak hanya berkharisma dan alim, tetapi juga sangat menghormati perempuan.  Untuk wartawan perempuan seperti saya, liputan di wilayah konflik berarti harus siap juga dengan gangguan, godaan bahkan terkadang pelecehan seks. Tetapi, beberapa kali bertemu dengan Teungku Ishak, saya merasa diperlakukan cukup baik dan terhormat.
Selamat Jalan Teungku Ishak, saya akan selalu mengenangmu… [Tamat]
Sumber : Naniafrida.wordpress.com