-->
Kamis, 07 Februari 2013 - 0 komentar

Panglima Ishak Daud di mata saya (Bagian III)


Indonesia menerapkan darurat militer di Aceh tanggal 19 Mei 2003 setelah dialog antara GAM dan Indonesia yang difasilitasi HDC gagal. Sebenarnya kegagalan dialog itu sudah terlihat sejak pertama karena kedua belah pihak tetap saling tidak percaya dan masih saling serang.
Yang saya ingat pemerintah kemudian menempatkan 30,000 pasukan TNI dan 12,000 polisi di Aceh untuk mensukseskan darurat militer tersebut, dengan target menghancurkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Masa darurat militer cukup menyibukkan kami yang berprofesi sebagai wartawan. Bukan hanya meliput berita yang kebanyakan insiden, tetapi juga memilah-milah mana berita yang bisa dikeluarkan karena salah-salah kami juga bisa dianggap mendukung pihak GAM. Selama darurat militer, sepertinya istilah cover both side terlupakan karena semua informasi resmi itu berasal dari militer, sebagai penguasa darurat di Aceh.
Suatu hari di awal bulan Juni 2003, saya ditelpon nomer satelit. Nomer yang tidak tersimpan di HP saya.
Assalamualaikum, Nyoe Nani (Assalamualaikum, apa ini Nani?)?”
Waalaikum salam, betoi, meuah, nyoe numboi soe (Waalaikumsalam, benar. Maaf, ini nomer siapa ya?)?” tanya saya.
Saya mendengar lawan bicara saya tertawa terbahak-bahak.
Omannn…Bagah that tuwo keu lon. Nyoe lon Ishak (ya ampun cepat sekali lupa saya. Ini Ishak,”
Saya merasa jantung saya berdegub sangat kencang. Ini pertama kalinya Ishak Daud menelpon saya sejak darurat militer di tetapkan di Aceh. Tangan saya langsung keringatan. Tapi saya mencoba menguasai diri dari kegugupan saya.
Oh Teungku Ishak? Kiban teungku? Peu jroh mandum (oh Teungku Ishak? Bagaimana Teungku? Baik semua)?”
Nyoe kamoe kondisi bermasalah bacut Nani. Tapi kamoe hana tem surot. Hana peu syahid demi Aceh. Awak nyan rame that, yang sayang masyarakat habeh ye mandum. Nyoe payah Nani teupeu. (Kondisi kami agak bermasalah sedikit Nani. Tapi kami tidak akan mundur. Tidak apa-apa mati syahid demi Aceh. Mereka ramai sekali dan yang kami sayangkan masyarakat semua takut, ini yang harus Nani tahu,” kata Teungku Ishak panjang lebar.
Oh my God, saya tidak tahu harus bilang apa dan berkomentar apa pada pernyataan Ishak itu. Haruskan saya bilang Teungku hati-hati ya? Atau haruskah saya bilang Saya doakan Teungku, atau saya harus bilang kata-kata lain yang menunjukkan simpati?  Bukankah Ishak Daud juga manusia yang mungkin butuh support dan spirit? Beliau sudah hampir 3 tahun menjadi nara sumber saya.
Tapi kalau saya memberikan semangat pada Teungku Ishak Daud berarti saya memihak dong. Terus bagaimana dengan pihak satu lagi?
Saya mengigit bibir saya. Ishak Daud menganggap Indonesia salah karena menjajah Aceh, dan sebaliknya Indonesia menganggap Ishak Daud sebagai separatis yang ingin keluar dari negara kesatuan.
Nah, berdasarkan pengalaman, saya tahu sekali kalau posisi saya sebagai wartawan ya berdiri di tengah-tengah bersama masyarakat biasa yang menderita karena pertikaian itu. Itu sudah mutlak.
Nani, lon senang droun dalam kondisi jroh. Meudoa ke kamoe beh. Semoga tanyoe bagah merdeka. Insya Allah (Nani, saya senang kamu dalam kondisi baik. Tolong doakan kami ya. Semoga kita semua cepat merdeka. Insya Allah), ‘ kata Ishak.
” Insya Allah Teungku beujroh sabee (Insya Allah Teungku baik-baik selalu),’  kata saya.
” Boh kajeut. Merdeka (Baik, Merdeka). ” telpon ditutup.
Ishak Daud memang selalu menyebut kata Merdeka setiap menutup telponnya.
Itu kali terakhir Ishak Daud menghubungi saya. Berikutnya dia pasti kehilangan jejak saya karena no telpon yang biasa saya gunakan mendadak diblokir oleh Penguasa Darurat Militer. Nomer saya itu dianggap terlalu intens berhubungan dan menghubungi pihak GAM. Ohhh nooo….
Beberapa minggu kemudian saya disibukkan dengan liputan yang tidak habis-habisnya. Dan pada akhir Juni 2003 saya mendengar kabar yang sangat mengejutkan. Ishak Daud menyandera wartawan. Ampyunnn…
Saya sempat geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak, disaat mereka diserang ribuan TNI kok bisa-bisanya mengadakan sweeping di jalanan dan kemudian menyandera orang. Ishak benar-benar membuktikan diri kalau dia masih punya taring dalam soal culik menculik. Bahkan dalam kondisi darurat militer sekalipun.
Berikutnya saya mengetahui kalau korban penculikan Teungku Ishak adalah wartawan RCTI Ersa Siregar dan Fery Santoro. Bersama Ersa juga ditawan dua orang istri perwira AU yaitu Safrida (35) dan Suraya (30). Terlepas dari kekesalan saya pada Teungku Ishak yang nekad menyandera wartawan, saya merasa agak aneh juga kenapa Bang Ersa membawa dua orang sipil –istri tentara pula—di dalam mobilnya.
Kembali Ishak Daud menjadi primadona media paska menyandera sipil. Semua media menghubunginya. Dan dia menyatakan kalau dia mencurigai ada pihak militer yang menyamar menjadi wartawan sehingga dia terpaksa juga menyandera wartawan RCTI.
Selama heboh diculiknya wartawan RCTI, saya kebetulan lebih konsentrasi liputan di Banda Aceh. Untuk liputan soal Ishak Daud lebih banyak dilakukan oleh rekan The Jakarta Post yang kebetulan berada di Lhokseumawe, Aceh Utara. Saat itu memang banyak sekali wartawan yang datang dari Jakarta untuk melakukan peliputan di Aceh.
Begitu juga saat Bang Ersa meninggal waktu kontak tembak di kecamatan Simpang Ulim Desember 2003, semua proses peliputan dilakukan oleh rekan-rekan di Lhokseumawe. Selamatnya para istri TNI dalam sandera GAM juga menjadi berita penting setelahnya.
Kini hanya tinggal kameramen RCTI Fery Santoro yang masih disandera. Dan itu sudah menjelang setahun.
Fery Santoro menunggu dibebaskan Ishak Daud
Fery Santoro menunggu dibebaskan Ishak Daud/ foto Nani Afrida
Saya baru aktif meliput penyanderaan Fery Santoro setelah bulan May 2004. Saat itu memang GAM berencana melepaskan Fery. Saat itulah pertama kali saya menelpon Ishak Daud setelah hampir 6 bulan tidak pernah menghubungi dan dihubungi.
Nani, peu haba? Gethat sombong hana hubungi lon (Nani, apa kabar? Sombong sekali tidak pernah hubungi saya)?” kata Ishak begitu saya memperkenalkan diri.
Saya langsung bertanya kapan Fery akan dibebaskan.
Nyan hana masalah Nani. Kamoe na rencana chit undang wartawan keu peukara nyoe. Jak beh? (Itu tidak masalah Nani. Kami juga punya rencana mengundang wartawan untuk masalah ini. Pergi ya nanti,)” kata Teungku Ishak.
Nyan kira-kira pajan Teungku. Bek trep that, sayang ngon lon nyan (Jadi kapan itu kira-kira teungku. Jangan lama-lama. Kasihan teman saya itu,),” kata saya.
Di seberang saya mendengar Ishak tertawa.
Ntrek lon hubungi Nani beh. Pokok jih beusiap sabee (Nanti saya hubungi, yag penting selalu siap), Merdeka,” katanya.
Saya tersenyum kecut.
Bang Munir Nur, teman saya yang menjadi koresponden RCTI di Lhokseumawe mengaku sudah bosan dan lelah membujuk Ishak Daud melepaskan Fery.
”Orangnya keras kepala dan tidak peduli. Jadi tidak ada gunanya membujuk dia,” kata bang Munir yang sejak diculiknya tim RCTI makin intens berhubungan dengan Ishak Daud.
Munir juga mengaku sudah menghubungi panglima GAM lain untuk membujuk Ishak Daud. Salah satunya adalah Darwis Jeunieb, Panglima GAM wilayah Batee Iliek, Tapi, juga gagal.
”Padahal Ersa itu akrab dengan Darwis Jeunieb karena sering liputan ke Jeunieb, tapi tidak ada gunanya juga,” ujar Munir putus asa. (BERSAMBUNG)
Sumber : Naniafrida.worpress.com

0 komentar:

Posting Komentar