-->
Kamis, 07 Februari 2013 - 0 komentar

Panglima Ishak Daud di mata saya (Bagian II)

pasukan Ishak Daud/ Photo by Nani Afrida


Setelah pertemuan di Keude Gerubak tahun 2001 itu saya tidak pernah lagi ke Aceh Timur untuk bertemu Ishak Daud. Maklum, karena posisi saya di Banda Aceh, saya cenderung untuk meliput di kawasan Aceh Besar atau Aceh Utara. Kawasan Aceh Timur memang biasanya diliput teman-teman wartawan di Aceh Utara.
Meskipun demikian saya sering menghubungi Ishak Daud melalui telpon satelitnya sekedar konfirmasi berita atau beliau menelpon untuk melaporkan suatu kejadian. Saya memang mulai menjadi koresponden The Jakarta Post untuk Aceh waktu itu. Biasanya beliau menelpon sore hari, seakan tahu sekali kalau deadline saya itu pukul 5 sore.
Tentu saja tidak semua informasi yang diberikan panglima GAM yang satu ini bisa saya tulis. Saya bukan corong mereka dan saya akan memilih yang benar-benar penting untuk media saya. Sebagai wartawan saya mesti berjuang untuk memilah news value dan berusaha sedemikian mungkin untuk tidak terjebak di antara TNI  dan GAM :( Sumpah, ini bukan pekerjaan yang mudah.
Di akhir tahun 2002 ternyata saya kembali bertemu Panglima Ishak Daud. Beliau mengundang saya untuk “main” ke tempatnya.
“Ke sinilah, nanti kita makan ikan bakar sama-sama,” katanya. Ikan bakar? Saya sepertinya tergoda untuk memenuhi undangan itu. Bukan karena ikan bakarnya, tetapi karena saya kebetulan penasaran dengan kondisi Panglima itu.
Dan kelihatannya beliau semringah begitu tahu saya bersedia ke tempatnya.
“Nah, nyan jrohBek jak u piasan awak tantra manteng (nah itu kan baik, jangan Cuma datang ke acara tentara saja),” katanya masih sempat-sempatnya bersinis ria pada saya.
Undangan itu juga kebetulan datang saat Aceh sedang mencoba untuk menyelesaikan konflik sejak 1976 itu. Adalah Henri Dunant Center (HDC) yang sedang mencoba menjadi fasilitator perdamaian antara GAM dan TNI di tahun 2002. Dalam proses perdamaian itu, ada proses yang dinamakan the cessation of hostilities agreement (perjanjian penghentian permusuhan). Pihak GAM dan TNI dilarang saling serang.
Saya dan beberapa teman dari Banda Aceh dan Lhokseumawe kemudian berangkat ke Aceh Timur. Seperti biasa hanya saya satu-satunya perempuan dalam rombongan. Kami sempat bermalam di losmen Kartika (sekarang hotel) Langsa semalam, sebelum paginya mendapat informasi dimana pertemuan akan diadakan.
Sepertinya pergerakan kami sudah diketahui beberapa aparat keamanan yang menyamar di losmen tempat kami menginap. Para anggota intelejen itu mondar mandir di depan kami yang kebetulan baru pulang sarapan nasi gurih di dekat losmen. Beberapa dari mereka malah duduk dekat kami, sementara yang lainnya duduk di teras losmen.
Sebagai wartawan yang sudah lama di Aceh, kami sangat mengenal mana yang intelejen aparat keamanan atau yang intelejen GAM.
“Kita harus naik kendaraan biasa,” kata seorang teman TV. ”Kalau membawa mobil bisa-bisa kita diikuti,”
Ishak Daud menelpon dan mengatakan bahwa pertemuannya akan diadakan di suatu kawasan dekat Simpang Ulim yang artinya kami semua harus kembali lagi ke arah Lhokseumawe.
Kami menumpang labi-labi (angkot di Aceh), kemudian menyambung kendaraan colt L-300. Di Simpang Ulim (mengikuti petunjuk Ishak lewat telepon satelitnya) kami berbelok menuju kawasan Pante Bidari Aceh Timur. Cukup jauh juga kami menyusuri jalan hingga akhirnya mobil itu berhenti di sebuah tempat bertenda biru yang  dipenuhi dengan penduduk setempat.
Ishak menyambut rombongan kami dengan senyum lebar. Masih seperti beberapa tahun saya bertemu, panglima ini kelihatan tetap cool. Pakaiannya rapi sepertinya siap bertemu dengan wartawan. Pistol jenis FN terlihat di pinggangnya, sementara anak buahnya seperti biasa menjinjing senjata AK-47 dan M-16 berbaur dengan masyarakat, termasuk anak-anak dan para remaja putrinya.
Bila dengan wartawan lelaki Ishak bersalaman sangat lama, saya justru diperlakukan beda. Dia menjabat tangan saya sekilas dan begitu cepat seolah terpaksa harus bersalaman dengan perempuan. Meski begitu, dia begitu ramah pada saya, bahkan jauh lebih ramah dibanding pertemuan di Keude Geurubak beberapa tahun yang lalu.
”Kiban Nani? Jroh mandum (bagaimana Nani, semua baik?)?” tanyanya. Pertanyaan sama yang biasa dia lontarkan kalau menelpon saya.
Di tempat itu kami kembali bertemu dengan masyarakat yang begitu mengidolakan sang panglima. Tidak ada rasa takut di wajah mereka. Padahal saya, dan saya yakin mereka juga, tahu kalau sebentar lagi akan ada operasi TNI ke wilayah tersebut mencari idola mereka. Dan seperti biasa rakyat sipil akan diinterogasi.
Kami ngobrol soal update kondisi kekinian Aceh yang menjelang perdamaian. Ishak sepertinya tidak begitu percaya bahwa perdamaian akan terjadi. Pasalnya meskipun ada informasi penghentian permusuhan, TNI tetap saja melakukan operasi.
”Bagaimana mungkin bisa damai kalau tidak ada kepercayaan,” katanya serius.
Menjelang siang pesta ikan dimulai. Ada banyak ikan besar, termasuk ikan pari, yang panggang masyarakat untuk dimakan bersama-sama. Saya hanya menghabiskan seekor ikan ukuran kecil yang seperti biasanya rasanya sangat enak. Sementara teman-teman saya sepertinya mabuk ikan bakar.
Menjelang sore kami meninggalkan tempat itu. Saya bersyukur tidak perlu menginap kali ini. Kali ini kami langsung tancap gas ke arah Lhokseumawe tanpa melihat kiri kanan. Beberapa teman kelihatannya tertidur sepanjang perjalanan. Mungkin mereka kebanyakan makan ikan bakar. (Bersambung)
Sumber : NaniAfrida.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar