-->
Selasa, 28 Februari 2012 - 0 komentar

Aksi Nurdin Menjelang Senjakala Kekuasaan

OLEH : THEGLOBEJURNAL.COM

Nurdin Abdul Rahman hanya menghitung bulan saja duduk di bangku Bupati Bireuen. Mulai April nanti dia sudah harus bersiap-siap mengemas barang dari pendopo. Namun menjelang sore kekuasaan, Dia mulai beraksi. Kali ini Mustafa dengan Kas Bon jilid II nya yang jadi sasaran. Sedangkan Muslim Syamaun malah diamankan.

Kasus kas bon jilid II yang sempat menghebohkan publik Bireuen secara telah ditutup rapat dari perhatian publik. Aparat kepolisian Bireuen telah menyatakan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) terhadap kasus yang melibatkan mantan Bupati Bireuen Mustafa A. Geulanggang. Surat yang ditandatangani oleh Kapolres Bireuen AKBP Yuri Karsono, S.Ik itu bertanggal 6 Januari 2012.

Adapun alasan SP3 yang disebutkan oleh polisi terhadap kasus kas bon jilid II itu yaitu tidak terdapat cukup bukti, bukan tindak pidana, penyidikan dihentikan demi hukum. Penyidik menemukan satu atau lebih tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti.

Menurut kepala bidang Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Bireuen, Faisal Moga, surat SP3 itu dikirimkan oleh Kepolisian Resort Bireuen ke pihaknya dan ditembuskan kepada Pemda. Selanjutnya pihak kejaksaan telah menerima surat tembusan yang dikirimkan Pemda terkait penolakan terhadap keputusan SP3 yang dikeluarkan oleh polisi.

Ditemui di ruang Kepala Kejaksaan Negeri Bireuen, Jumat (17/2) kepada The Globe Journal, Faisal membantah pernyataan bupati Bireuen yang mengatakan bahwa Pemda Bireuen telah melaporkan kembali kasus kasbon jilid II dan Simkuda kepada pihak Kejari pada Senin lalu (lihat: Bupati Bireuen lapor Kas Bon II ke Kejaksaan. Rubrik hukum)

"Kita tidak menerima laporan kasus kasbon jilid II dan Simkuda yang disampaikan oleh Pemda Bireuen. kita hanya menerima tembusan surat ketidak setujuan Pemda terkait SP3 kasus itu ke pihak kepolisian," terang Moga yang diamini oleh Kajari Bireuen Thohir, SH yang berpangkat Jaksa Madya.

Terkait mengapa kas bon jilid II di SP 3 kan oleh polisi, Faisal juga mengatakan pihaknya sedang mempelajari resume yang diberikan oleh Polisi. Sehingga belum bisa memberikan jawaban. Kejaksaan sendiri harus menanggapi SP3 tersebut setelah mempelajari berkas analisa mengapa kasbon II bisa di SP3 kan.

Faisal di depan Kajari juga mengatakan bahwa dari berkas kas bon jilid II yang diserahkan polisi kepihaknya menyebutkan bila dana sebesar Rp. 8,5 miliar itu mengalir kepada Ali Cina sebesar 1 miliar, Dahlan Majid Rp. 600.000.000, Bank Danamon Banda Aceh Rp.2 miliar. Polisi sudah menyita dari Ali Cina sebesar Rp 300 juta sehingga lelaki itu masih menunggak sebesar Rp. 700 juta.

Terkait dengan Simkuda, Faisal mengatakan sampai saat ini pihak kejaksaan Bireuen belum menerima SPDP.. 

Jaksa yang membidangi bidang pidana khusus itu juga menambahkan bahwa polisi Bireuen bukan hanya meng-SP3 kan kasus kas bon jilid II, namun juga kasus korupsi yang dilakukan oleh Aziz Fandila cs. Kasus pengadaan mobil dinas Mitsubishi 4 WD yang sempat bermasalah dengan showroom  juga telah dinyatakan dihentikan. Alasan korps Bhayangkara Bireuen dalam surat SP3 nya bertanggal 13 januari 2012 menyatakan bahwa kasus itu dihentikan karena unsur kerugian negara tidak ada lagi karena sudah dikembalikan sebelum penyidikan dilakukan.

Penelusuran The Globe Journal, medio November 2011, Polda Aceh juga telah menyatakan SP3 terhadap kasus penggelapan Pajak Pph dan Ppn yang melibatkan Bendahara Umum Daerah Muslim Syamaun.

Kisah mulai menarik, ketika Bupati Nurdin hanya tertarik memprotes SP3 terhadap kasus kasbon II yang melibatkan Mustafa. Tak menunggu waktu, setelah menerima surat tembusan polisi, setelah berdiskusi dengan pengacara Pemda sekaligus pengacara pribadinya, mantan juru runding GAM ini memilih menggugat keputusan polisi.

Alasan yang diberikan Nurdin mengapa dia melakukan bantahan, sebab dalam kasus kasbon jilid II itu, Mustafa dengan sangat jelas telah berupaya melakukan korupsi. Sehingga bila dibiarkan dan didiamkan, ke depan walaupun dirinya tidak lagi menjabat, jeratan hukum terhadap Nurdin tetap terbuka. Sebab dia melindungi koruptor.

Pernyataan ini disampaikan Nurdin kepada The Globe Journal pada Kamis (16/2) saat menelepon The Globe Journal. Pernyataan itu kembali diulang saat dilakukan wawancara dengan Bireuen 1 itu di pendopo Bupati, Jumat (17/2) sekitar pukul 10.30. Wib.

Menurut Nurdin, ada dua kasus yang dia laporkan kembali ke pihak polisi melalui surat tanggapan Pemda. Pertama kasus kas bon sebesar Rp. 7,5 miliar serta Simkuda sebesar Rp. 2,7 miliar.

Dalam kedua kasus ini dengan sangat jelas dan gamblang, Mustafa telah melanggar Undang-undang tindak pidana korupsi nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang 20 tahun 2001. Sebab di dalam kasus itu telah mencukupi tiga syarat tipikor yaitu adanya upaya memperkaya diri, memperkaya orang lain, serta merugikan keuangan negara.

Menurut Nurdin, bila pun kemudian Mustafa disangkakan dengan perdata, ini akan berakibat uang tersebut akan dikembalikan ke APBN. Sehingga akan sangat berpotensi merugikan daerah. Untuk itulah kemudian, untuk mengembalikan uang Bireuen yang telah terlanjur di curi oleh Mustafa, Bupati terpaksa menempuh jalur hukum dengan sangkaan tindak pidana korupsi.

Dalam kasus Simkuda,  pihak Pemda sebenarnya mau menempuh jalan damai, namun karena Irwanto yang bertanggung jawab dalam program itu menghilang, maka pihaknya terpaksa menempuh jalur hukum.

Selain itu, bila kedua kasus ini tidak diselesaikan secara hukum, BPK RI telah menyatakan Bireuen akan terus mengalami disclaimer karena terus terdapat  pelanggaran. Untuk keluar dari jeratan disclaimer, juga alasan mengapa Mustafa harus digugat kembali.

Saat ditanya mengapa hanya kasus kasbon jilid II dan Simkuda saja yang dilaporkan, mengapa kasus Muslim yang sudah SP3 oleh Polda tidak ikut dilaporkan? Dengan gaya diplomasi Nurdin menjawab bila dalam kasus Muslim tidak terdapat cukup bukti yang kuat. Sedangkan tudingan yang ditujukan pada mantan BUD itu tidak kuat. Serta dari keterangan saksi tidak satupun yang memberatkan lelaki yang mempunyai rumah layaknya istana di Gampong Pulo Ara Bireuen. selain itu, dana yang diduga digelapkan oleh Muslim tidak merugikan keuangan daerah. Sehingga berbanding terbalik dengan Mustafa.

Nurdin juga membenarkan tindakan Muslim yang telah membuka rekening penampungan sebagai tempat menyimpan sementara pajak Pph dan Ppn. Sebab menurutnya saat itu aturan membenarkan adanya rekening penampungan. Pun demikian rekening tersebut sekarang telah resmi ditutup.

Nurdin mengaku bahwa tindakannya itu tidak bernuasa politis. Dia tidak sedang bermaksud menjegal langkah Mustafa yang terdengar kabar angin akan mampu memenangkan Pemilukada Bireuen 2012. Menurut Bupati, rencana untuk melaporkan Mustafa telah lama ada. Namun baru terwujud sekarang karena SP3 keluarnya saat ini.

"Tindakan melaporkan Mustafa bukan langkah politis. Ini murni keinginan saya untuk mengembalikan semua hak Bireuen yang telah dirampas. Kenapa baru sekarang, yang karena baru sekarang SP3 keluar," terang Nurdin.

Nurdin boleh berkilah. Namun suara miring dari masyarakat sudah terlanjur keluar. Armia (30) warga Bireuen yang sempat diwawancarai oleh The Globe Journal, kamis (16/2) mengatakan bahwa tindakan Nurdin sangat sarat nuansa politik. Dia hendak menjegal Mustafa yang kembali mencalonkan diri sebagai Bupati. Sebab secara popularitas, mantan Bupati Bireuen itu sangat dikenal oleh masyarakat.

Hal yang sama juga disampaikan berbagai kalangan saat menanggapi berita sebelumnya terkait masalah ini. Walau dianggap sebagai langkah bagus, namun mengapa harus menjelang Pemilukada hal ini dilakukan. Mengapa hanya Mustafa? Muslim bagaimana, Aziz Fandila kenapa tidak dianggap? Lalu kasus rumpon di Dinas Kelautan bagaimana? Hanya Nurdin yang tahu jawabannya.
- 0 komentar

Menapak Ratusan Anak Tangga di Air Terjun Blang Kulam

OLEH : THEGLOBEJURNAL.COM

Air terjun Blang Kulam, salah satu tempat wisata terindah di Aceh Utara, disamping para pengunjung bisa menikmati wisata alam,  juga tersedia fasilitas pemandian seperti ban dan bentuknya seperti kolam renang, serta di kelilingi batu-batuan besar. Airnyapun sangat bening dan sejuk untuk dinikmati bersama keluarga dan teman-teman.

Blang Kulam letaknya sekitar 50 KM jarak dari jalan Medan-Banda Aceh, tepatnya di kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara. Menghabiskan waktu sekitar 2 jam perjalanan dari kota Lhokseumawe karena kondisi jalan yang buruk, setengah perjalanan aspal dan setengah lagi menjelang sampai ke tempat akan mendapatkan jalan batu. Namun anda tidak usah khawatir, meskipun jalannya kurang nyaman, tetapi anda tidak akan terasa karena anda bisa menikmati pohon kelapa sawit yang berjejer disekeliling disepanjang perjalanan.

Dalam perjalanan anda akan menemukan kesan tersendiri, karena disana melalu bukit-bukit mendaki dan menuruni gunung akan anda alami dalam perjalanan. Kalau suasana tidak sedang hujan, ada sebagian pengunjung mengambil jalan alternative, yaitu disela-sela jejeran kelapa sawit, ada jalan kecil sengaja dibuat oleh tukang kebun untuk mobil angkut kelapa sawit saat panen. Jalan tersebut dapat dimanfaatkan pengunjung karena rata tapi kalau sedang musim hujan, jalan alternative itu menjadi becek.

Setelah sampai disana anda bisa mendapatkan perlayanan yang baik, disamping tempat parkir kendaraan yang aman, juga bagi yang mau shalat juga tersedia mushala yang luas. Soal uang yang harus anda sediakan, cukup membayar uang parkir Rp 5.000 dan untuk tiket masuk Rp 2.000 sebagai dana keamanan dan kebersihan untuk petugas disana.
Mungkin bagi anda yang belum pernah datang, anda akan terbayang bahwa tempatnya ditengah-tengah hutan jauh dari kota, dan sulit mendapatkan makanan yang layak makan. Nah, yang ini juga tidak perlu khawatir harus bawa makanan yang banyak dari rumah, disana ada dijual nasi goreng, mie goreng dan bermacam minuman tersedia.

Setiba anda disana, akan mengalami kesulitan sedikit, yaitu naik dan turun ratusan anak tangga, itu akan membuat anda sedikit pegal-pegal, tetapi bisa jadi buat olah raga, atau bisa sebagai pemanasan sebelum anda nyemplung ke kolam karena anda akan berkeringat.

Hasballah (50) pengelola tempat tersebut mengatakan dulu pada tahun 90-an, air terjun Blang Kulam pernah maju didatangi oleh turis dari manca negara, sekarang saja masih terlihat sisa-sisa kejayaan tempat tersebut yaitu bekas bangunan WC dan tembok-tembok yang telah ditutupi belukar.

Selain itu katanya lagi pada tangga-tangga itu ada terpasang pegangan saat naik turun tangga supaya tidak jatuh ke jurang. Pada masa konflik aktifitas Blang Kulam pun tersendat, dan pegangan dicuri satu persatu oleh orang tidak dikenal, sehingga tidak tersisa satupun. Selain itu dulu ada diadakan acara yang diisi band dari artis-artis papan atas Indonesia.
Namun ada peristiwa rutin yang sedikit mengerikan selalu terjadi disana. Tetapi anda tidak usah khawatir asal anda berhati-hati saja. Kata Hasballah hampir setiap tahunnya ada satu orang yang hilang. Terkadang tenggelam tidak bisa bangun lagi, dan ada juga yang terantuk dengan batu saat melompat dari atas ke air mengenai batu.

Hasballah menceritakan salah satu kejadian di masa lalu. Dulu pernah tenggelam seorang anak muda ke dasar kolam kemudian datang tim dari PT Arun untuk menyelam ke dasar kolam, dan akhirnya yang bersangkutan didapat sudah menjadi mayat. Anda bisa menghindari hal itu dengan berhati-hati menikmati dinginnya air Blang Kulam.

Saat PT Arun masih aktif banyak sekali turis asing yang datang hampir setiap hari mengunjungi Blang Kulam. Namun sekarang Arun sudah kurang aktif, bule-bule itupun tidak ada lagi yang datang.

Namun kini Blang Kulam sudah mulai menggeliat kembali. Kalau bukan kita yang menghidupkan, siapa lagi...[THEGLOBEJURNAL.COM]
 
- 0 komentar

Para Penjaga Ulu Masen

OLEH : ACEHKITA.COM

Setelah lama menguras hutan, eks pasukan dan para pembalak itu, kini beralih kerja menjadi penjaga Ulu Masen. Harapan keselamatan gunung di bagian utara Aceh itu kini sebagaian berpangku di pundak mereka.

***
MENGENAKAN kostum lengkap ala tentara, –tanpa senjata dengan carrier menggunung– 18 anggota Jantho Ranger menempuh perjalan dalam kelebatan hutan, sekitar satu bulan lalu. Dipimpin sang komandan, Mulyadi, mereka mulai bergerak perlahan. Tujuan kali ini adalah patroli monitoring hutan.
Perjalanan operasi hari itu tidak sia-sia. Setelah menempuh perjalanan jauh dari Jantho, mereka berhasil memergoki pelaku perambahan hutan di pegunungan Panca, Lembah Seulawah, sekitar 20 kilometer dari Kota Jantho.

“Saat itu kita kasih pangarahan tentang akibat dari kerusakan hutan, dan mereka menerima pengarahan kita dengan baik,” kata Mulyadi, Komandan Jantho Ranger, yang dijumpai di Jantho, Sabtu pekan lalu.

Ranger, merupakan organisasi yang dibentuk Fauna & Flora International (FFI) Aceh Programme, untuk menjaga, dan melindungi hutan Aceh, khususnya Hutan Ulu Masen. Setiap bulannya, para ranger selalu berpatroli monitoring hutan di wilayah kerja masing-masing.

“Kita rutin melakukannya di kawasan Hutan Jantho,” ujar Mulyadi. Selain melakukan monitoring, Mulyadi bersama ‘pasukannya’, juga harus menangani konflik satwa, yang belakangan sering terjadi di Aceh.

“Kami pernah turun ke Lhong saat konflik satwa, untuk mendata berapa korban, dan titik koordinat kejadian,” tambah mulyadi.

Pembentukan ranger diinisiasi sejak moratorium logging yang dicanangkan oleh Pemerintah Aceh, 2007 silam. Mereka yang direkrut adalah masyarakat wilayah kemukiman dari tempat ranger itu bekerja, sehingga ranger yang dipilih dari masyarakat bisa bekerja kembali untuk masyarakat.

“Kita mempekerjakan mereka yang bekas kombatan, pemuda, bisa juga mantan logger (pembalak liar). Dalam hal ini kita juga mengajak polhut, dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap hutan,” kata Matthew Linkie, Tehnical Manager FFI-Aceh, yang dijumpai dikantornya, akhir November lalu.
Karena direkrut dari masyarakat, diharapkan para ranger bisa memberi dampak positif secara langsung kepada masyarakat. Selama ini, kata Linkie, apabila terjadi konflik satwa gajah, maka masyarakat akan memburu gajah tersebut. Padahal, ada undang-undang yang melindungi gajah, sebagai satwa yang terancam punah.

“Salah satu kerja Ranger adalah menyelamatkan satwa. Jadi kita membuat program semacam pemberdayaan untuk warga, agar mereka ada kesibukan, dan tidak lagi memotong kayu. Jadi habitat gajah dan satwa lainnya tidak terganggu,” ujar Linkie lagi.

Sebelum Ranger dibentuk, masyarakat mengatakan, banyak terjadi kegiatan illegal loging di pegunungan, khususnya Jantho. Seperti yang diceritakan Munzir, warga Jantho Baru. Ia mengisahkan, sekitar beberapa tahun yang lalu, aktifitas perambahan hutan yang terjadi di pegunungan Jantho begitu parah. Akibatnya satwa liar turun hingga ke perkampungan penduduk.

“Kami merasakannya secara langsung akibat dari illegal logging itu. Harimau turun ke pinggiran gampong. Malah pernah naik ke kandang saya,” kata Munzir.

Keberadaan ranger, memang dirasakan langsung oleh para penduduk. Di Jantho, perambahan hutan mulai berkurang, bahkan bisa dikatakan tidak lagi terjadi.

“Kita rutin melakukan kegiatan monitoring di kawasan hutan Jantho. Illegal loging untuk saat ini sudah sedikit berkurang, bahkan sejak kita melakukan monitoring, kita sudah jarang menemukan bekas illegal loging yang baru. Mungkin ini bentuk kesadaran dari masyarakat,” kata Ibrahim, Anggota Divisi Monitoring Jantho Ranger, 12 November lalu.

Pernyataan Ibrahim, ikut diperkuat Mulyadi. Dia menyebutkan, setiap melakukan operasi, timnya, sudah sangat jarang menjumpai logger, karena pelaku illegal logiing tersebut sudah sangat sulit bisa diketemukan di pegunungan Jantho, khususnya.

“Untuk para tukang angkut kayu ada kita jumpa, tapi logger sudah nggak jumpa lagi. Karena di kota Jantho ini sudah sangat berkurang sudah.”

Mulyadi juga menyebutkan, kondisi hutan Jantho sebelum dibentuknya Community Ranger, rusak berat. Setelah adanya ranger, hutan mulai aman dari suara mesin chain saw. “Penyebab lain, dulu masyarakat membuka lahan berpindah-pindah. Kita kasih sosialisasi, sehingga masyarakat tidak lagi berpindah-pindah, dan menetap di satu lahan saja,” kata Mulyadi.

Panyebab konflik satwa, seperti dikatakan Mulyadi, akibat habitatnya dalam hutan yang sudah rusak. 
“Makanan pun sudah habis, sehingga dia turun ke gampoeng cari makan. Yang kita lakukan bila jumpa dengan pemburu satwa, memberi tahu, jangan terlalu sering memburu rusa yang merupakan makanan satwa seperti harimau di hutan. Kalau nggak, ya dia cari di gampong, sasarannya ya punya masyarakat.”

Mahdi Ismail, Coordinator Community Ranger FFI menjelaskan, organisasi yang dibentuk ditingkat kemukiman ini diharapkan bisa mengkaderkan masyarakat, agar pro terhadap konservasi. “Awalnya kita merekrut ranger dari mereka yang mendapatkan manfaat langsung dari pembalakan liar,” kata Mahdi.

Jadi, sebagian anggota ranger, merupakan mereka yang eks kombatan, dan mereka yang pernah terlibat langsung dengan aktivitas perambahan hutan. “Secara tidak langsung, mereka tidak kembali kepada pekerjaannya yang lama. Secara signifikan sudah terkurang lagi aktifitas illegal logging,” ucap Mahdi.

Dengan membina para pembalak hutan menjadi penjaga, otomatis tingkat kerusakan Ulu Masen bisa lebih kecil, “Jadi setelah kita rekrut, kita bina mereka, dan mereka mulai melakukan eduaksi-edukasi yang sifatnya kecil terhadap orang tua, kerabat, dan keluarga-keluarga mereka. Minimal kita mengharapkannya kesana. Setidaknya pembalak hutan ini sudah menjadi ranger, dan kita memberikan edukasi secara kontinyu,” kata Mahdi.

Walau bekerja sebagai aktivis lingkungan yang bertugas menjaga hutan, kerja ranger berbeda dengan polisi hutan (polhut). Ranger tak punya kuasa untuk menindak para logger (pelaku illegal logging). “Apabila mendapati pekerja yang menurunkan kayu, maka kita hanya bisa memberikan nasihat saja, dan tidak menindak,” kata Mulyadi.

Timnya, seperti kata Mulyadi, juga kontinyu melakukan operasi setiap bulan. Untuk sekali patroli, Comunnity Ranger menghabiskan waktu 5, sampai 10 hari ditengah hutan. Mereka menempuh jarak 45 kilometer, dengan berjalan kaki.

“Kita memberi penyadaran. Kalau polisi hutan bisa langsung menangkap,” sebut Mulyadi. Apabila sudah diberikan pengarahan sekali, tapi terulang, maka ranger hanya berhak melaporkan kepada pihak berwajib, untuk menanganinya.

Waktu mendekati malam. Sayup-sayup lantunan ayat suci terdengar dari Jalin, sekitar satu kilometer dari markas Jantho Ranger. Aktifitas mulai sepi. Beberapa ranger terlihat memberi umpan kambing, sebuah usaha pemberdayaan perekonomian yang dijalankan ranger, disokong FFI. Disisi kandang kambing, sebuah tempat pembibitan tampak tegak berdiri. Disanalah para ranger menanam bibit pohon, untuk meneyemai gunung Jantho dari kerusakan.

“Kita ingin organisasi ini independen. Independen baik dalam bekerja untuk konservasi, maupun dalam segi 
perekonomiannya. Kita mensupport skill konservasinya, dan juga yang kita sebut lifelihood (pemberdayaan ekonomi),” kata Mahdi Ismail.

***
WILAYAH hutan Ulu Masen menyimpan kekayan yang beragam. Dihutan seluas 738.856 Ha. Ini, terdapat hampir 2000 spesies burung, termasuk 20 endemik Sumatera, dan 6 endemik Aceh. Selain itu, di hutan yang terletak di Pegunungan Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan Pidie Jaya ini, juga terdapat sekitar 773 binatang amphibi dan reptil. Sayangnya, seperti dituliskan dalam buku Selayang Pandang Hutan Aceh, seluruh jenis binatang tersebut hidup dalam keterancaman, akibat banyaknnya pelaku illegal logging yang terjadi.

Sebagai salah satu suksesor penjaga hutan, sampai saat ini, Comunity Ranger sudah terbentuk di empat kabupaten, untuk melindungi semua satwa tersebut dari kepunahan. Di Aceh Besar diberi nama Jantho Ranger, Aceh Barat, dengan Kreung Bajikan Ranger, Purba Ranger di Aceh Jaya, dan Blang Raweu Ranger di Pidie. Hingga kini, jumlah ranger di empat kabupaten tersebut adalah 73 anggota, ditambah, 10 personil Training Of Trainer (TOT).

“Keinginan kita, pada tahun depan akan kita buat persemaian. Kita akan ajak masyarakat untuk menanam pohon yang sudah gundul di kawasan pegunungan kita. Sehingga untuk ancaman banjir dan langsor akan berkurang. Karena sekitar 2 juta penduduk aceh sangat bergantung pada keberadaan hutan Ulu Masen, yang menyediakan pasokan air bersih untuk pertanian, maupun hutannya untuk mencegah terjadinya longsor,” demikian yang menjadi harapan Mulyadi dan ranger lainnya. [][ACEHKITA.COM]
- 0 komentar

Ketika Teungku Rohingya Bertemu Teungku Aceh

OLEH : ATJEHPOST.COM

DUA laki-laki itu terlihat serius, bertutur dengan bahasa Arab. Keduanya terbungkus baju gamis dan berpeci. Yang satu lengkap dengan kain ridak. Dua laki-laki itu, warna kulitnya hampir sama, perawakannya juga tidak jauh beda. Bedanya, yang memakai kain ridak jenggotnya lebih panjang dan jambang tebal.

Mereka terus saja bicara sambil saling menatap. Beberapa laki-laki lain hanya menyimak. Entah mengerti atau tidak dengan pembicaraan dua laki-laki itu. Mereka berdiri tidak jauh dari pintu masuk bekas Kantor Imigrasi Lhokseumawe, petang kemarin, Jumat, 3 Januari 2012. Di tempat ini, 55 pengungsi Myanmar dikarantina setelah ditemukan terdampar di perairan Bluka Tubai, Krueng Geukuh, Aceh Utara pada Rabu, 1 Februari.

Satu dari dua laki-laki itu, yang memakai kain ridak, langsung saya kenali wajah dan namanya. Wajahnya mudah diingat, berjambang tebal dan jenggot panjang. Dari 55 warga Myanmar yang terdampar itu, hanya dia yang berjambang tebal dan jenggot panjang. Wajahnya saya kenali sejak di Bluka Tubai. Tapi namanya baru saya ketahui saat ia difoto oleh petugas Imigrasi, Kamis, 2 Februari. Saat difoto, ia memegang kertas bertuliskan, Nurul Islam, umur 20 tahun.

Lalu siapa satu laki-laki satu lagi, yang juga memakai baju gamis? Hhhmmm... wajahnya tidak terekam dalam ingatan saya. Sayapun mencoba menebak, ia bukan salah satu dari “manusia perahu” itu. Tak mau penasaran terlalu lama, langsung saja saya tanya dengan bahasa Aceh. Ops... ternyata ia Teungku Aceh. Namanya, Teungku Muhammad Amin, Imum Syiek Masjid Al-Abrar, Kareung, Peunteut, Blang Mangat, Lhokseumawe.

Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. “Beruntung” batin saya. Ada orang yang bisa berkomunikasi dengan warga Rohingnya. Harap maklum, sejak pengungsi Myanmar itu ditemukan terdampar di Bluka Tubai, bisa dibilang belum ada yang berhasil berkomunikasi secara lancar dengan mereka. Bahkan, petugas Kantor Imigrasi Lhokseumawe terpaksa menunggu penerjemah bahasa Myanmar yang rencananya akan dibawa pihak IOM (International Organization of Migration) dari Medan ke Lhokseumawe.

Apa saja yang Teungku Muhammad Amin bicarakan dengan Nurul Islam? “Saya tanyakan asal mereka, kebetulan Nurul Islam ini bisa bahasa Arab. Dan, di Myanmar, beliau ini adalah seorang Ustad (Teungku). Pengakuan beliau, sebagian pengungsi ini termasuk muridnya,” kata Teungku Muhammad Amin yang juga alumni salah satu dayah di Lamno.

“Tempat pengajian di Myanmar, tempat beliau mengajarkan pengajian, bernama Taqmil Ulum Walfununun Islam. Beliau juga teungku imum (imam salat) bagi jamaah salat pengungsi ini yang semuanya muslim,” kata Teungku Muhammad Amin lagi kepada saya.

Saya mengangguk. Lalu saya minta bantuan Teungku Muhammad Amin untuk menanyakan beberapa hal kepala Nurul Islam, mungkin lebih tepat disapa Teungku Nurul Islam. Layaknya seorang penerjemah, Teungku Muhammad Amin pun menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan kepada Teungku Nurul Islam dengan bahasa Arab. Dan, Teungku Nurul Islam menanggapi dengan tenang.

“Mereka sebenarnya mau ke Malaysia, tapi dalam perjalanan, pengaruh gelombang laut terbawa ke Aceh. Selama 13 hari di laut, empat hari mereka tidak makan karena kehabisan makanan yang dibawa,” kata Teungku Muhammad Amin.

Mengapa mereka ke Malaysia? “Di Myanmar, mereka tersisih, dikucilkan. Sehingga mereka sering kelaparan. Mereka punya banyak keluarga, kerabat dan sahabat di Malaysia yang sudah lebih dulu mencari rezeki di sana. Khusus Nurul Islam ini, pengakuan beliau kedua orangtuanya masih berada di Myanmar. Beliau sudah pamit pada orangtua mau ke Malaysia,” katanya.

Lalu mengapa ada beberapa anak di bawah umur bersama mereka?  “Nurul Islam bilang ada lima anak kecil dalam rombongan mereka. Orangtua dan saudara dari anak-anak itu ada di Malaysia”.

Saya terus saja mengorek informasi melalui tanya-jawab Teungku Muhammad Amin dan Teungku Nurul Islam. Kali ini saya minta bantu ditanyakan, apakah mereka mau kalau dideportasi atau dipulangkan ke negaranya? “Tidak mau pulang ke sana, mereka takut dizalimi. Mereka minta dibawa ke Malaysia untuk mencari rezeki, karena di Myanmar tidak bisa mencari penghasilan,” kata Teungku Muhammad Amin mengutip penjelasan Teungku Nurul Islam.

Teungku Nurul Islam mengaku masih lajang. Mengetahui hal itu, spontan Teungku Muhammad Amin bertanya, apakah mau dijodohkan atau menikah dengan perempuan Aceh atau Indonesia? Sambil terkekeh Teungku Nurul Islam memberi isyarat dengan tangannya sebagai tanda tidak mau. Lalu, Teungku Nurul Islam berkata: “Malaysia-Malaysia”.

Apa maksudnya ia menyebut Malaysia-Malaysia? “Beliau bilang, dengan perempuan Malaysia beliau mau menikah,” kata Teungku Muhammad Amin. Ledakan tawa menutup cerita Teungku Rohingnya kepada Teungku Aceh.[][ATJEHPOST.COM]
- 0 komentar

Sketsa Pergantian Tahun di Serambi Mekkah

OLEH : ACEHKITA.COM

MALAM masih terlalu muda, di penghujung Desember 2011.  Jarum jam belum lagi melewati seperempat malam. Mendung mengarak awan, tanda-tanda akan turun hujan.  Dari corong Masjid Raya Baiturrahman, lantunan zikir menggema, beradu keras dengan bunyi ribuan kenalpot kendaraan. Di sela-sela itu, sesekali rentetan terompet memekik.
Ibnu GP/ACEHKITA.COM

Kepadatan mulai tampak selepas Isya. Melewati Jambo Tape, di pinggiran jalan, para penjaja burger menyetel keras musik disco. Muda-mudi bercengkerama, sambil berangkulan. Lewat dari situ, Simpang Lima, Banda Aceh. Beberapa kelompok mulai berkumpul, menumpuk hingga ke jembatan Pante Pirak, di atas Krueng Aceh yang membelah ibukota Provinsi Aceh itu.

Dari Masjid Raya, pemandangan serupa: jalanan dipadati lalu lalang kendaraan. Belok kiri, arah ke Lapangan Blang Padang, juga tak jauh berbeda. Di sini, tak ada lampu yang menerangi jalanan. Di beberapa sudut, di atas tanggul, puluhan pasangan tampak sedang memadu kasih. Malam seakan milik mereka berdua. Dengan mesra, beberapa sejoli terus sibuk dengan aktivitasnya, tak memperdulikan keramaian malam.

Jalanan yang macet hanya memungkinkan kendaraan bisa dipacu dengan kecepatan, sekitar 30 kilometer per jam. Tapi tidak bagi Ponda. Ia bersama tujuh rekannya mengayuh pelan wim cycle, menembus keramaian malam. Ia hendak merayakan malam pergantian tahun, di pinggiran pantai  Ulee Lheue. Baginya, ada sebuah keunikan ketika ia dengan kawan-kawan bisa menikmati kebersamaan di penghabisan tahun 2011.

“Jarang-jarang kita bisa seperti ini,” kata Ponda. Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul 21.37 WIB. 
Sayang. Ponda yang datang bersama Komunitas Bocah-Bocah Lampineung atau Bohlam, harus putar kemudi. Warga Ulee Lheue, Meuraxa, menutup badan jalan di depan Masjid Baiturrahim, yang menghubungkan ke Pelabuhan Ulee Lheue itu.

Burhan, salah seorang warga menuturkan, kesepakatan menutup jalan itu diambil berdasarkan hasil musyawarah Pemuda Kecamatan Meuraxa, Koramil, Camat, dan Kapolsek Meuraxa.

“Minimal kita bisa mengurangi perilaku maksiat di tempat kita ini. Untuk mencegah mungkin sulit, tapi untuk mengurangi apa salahnya,” kata Burhan, yang juga penjual pulut di pinggiran Pantai Ulee Lheue ini.

Menariknya, kaum ibu ikut juga mengambil peran mengamankan desa mereka, Ulee Lheu dari maksiat. 
“Tadi kita juga ikut ronda ke Tumpok Teungoh,” kata seorang ibu.

Di tiap malam pergantian tahun, ibu tersebut menuturkan, mereka selalu melakukan ronda. “Kalau nggak seperti ini, yang jelek selalu kami Ulee Lheue. Padahal warga yang asli di sini bisa dihitung, apalagi yang perempuannya,” ujar perempuan tambun itu lagi.

 Dia menyesalkan para pedagang yang kelewatan dalam mencari rezeki. “Di sini hampir semua pendatang. Kalau mau cari uang ya silakan, tapi kan ada batasnya,” gerutu ibu tersebut.

Malam tadi, Ulee Lheue memang dijaga ketat aparat keamanan. Ada TNI, Polisi, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan Polisi Syariat (WH), yang malam itu ikut menutup badan jalan.

Malam terus saja merangkak perlahan. Kini, satu jam saja selisih pukul 12. Kemacetan tak dapat dielakkan. Dari Lapangan Blang Padang, menuju pusat kota, pengguna jalan sudah menyemut. Tampak seorang tentara melempar batu ke sebuah sudut lapangan dekat dengan monumen RI 001; ternyata sepasang insan yang sedang dimabuk asmara. Mereka kemudiam meninggalkan lokasi itu.

Kembali melewati jembatan Krueng Aceh, pengguna jalan lebih memilih berhenti, daripada merangkak dengan kendaraan di jalanan. Malam yang pekat dimuntahi dengan kembang api, dan mercon-mercon besar. Mirip dengan pembukaan sebuah event besar, yang disiarkan di televisi. Polisi yang betugas ikut mengabadikan dengan kamera handphone.

Tahun 2012 akan menjelang dalam hitungan detik. Sebuah mercon tembak yang dirangkai dalam sebuah kotak, digelar di tengah jalan. Seorang lelaki menyulut sumbu kecil dari kotak ‘bom’ itu. Di kerumunan massa, ledakan menggema, bergantian. Lagit memerah dengan percik indah. Asap mengepul di angkasa. Terompet ditiup silih berganti.

Tiga, dua, satuuuu, selamat tinggal 2011. Beberapa pemuda menghidupkan motor besarnya. Mereka dari Ikatan Motor Besar Indonesia. Seperti sedang pemanasan, mereka menyetel keras bunyi kendaraannya. Kini, perhatian massa beralih ke kelompok mereka. Ada juga seorang Petugas Polisi Jalan Raya (PJR), yang ikut menggas kencang motor Highway Patrol Antik Kepolisian, Harley Davidson.  Bunyinya memekakkan telinga, bersaing dengan letupan kembang api.

Malam itu, semua berbaur. Polisi yang seyogyanya mengamankan ikut merakan pergantian tahun. Sebagian merekam, dan sebagian lagi larut dalam perayaan. “Kakaloen ile polisi nyan,” celutuk sekawanan remaja. Ia melirik ke petugas yang tak lagi ‘bertugas’ tersebut.

Berbagai cara perayaan di Simpang Lima. Satu kelompok marching band merayakan dengan memainkan nada saksofon. Lagi-lagi kegiatan mereka memecah perhatian publik. Ketika belasan muda-mudi itu selesai meniup instrumen Nanggroe Lon Sayang, tepuk tangan membahana, silih berganti dengan letupan ke angkasa.

“Lanjut lagi lah. Lagu lain lagi,” pinta seorang petugas polisi kepada mereka.

Tiba-tiba, seorang perempuan jatuh pingsan di kerumunan. Ia terkejut saat ledakan mercon besar, meletup tak jauh dari posisi dia berdiri. Oleh seorang kawan perempuannya, ia dipangku, dibawa entah ke mana.
Malam semakin larut. Satu jam telah berlalu di 2012. Kesibukan perlahan mulai surut. Jalanan masih padat. Kini; semua pengunjung berebut jalan pulang. Kembang api menghiasai langit Serambi Mekkah, mengalahkan seruan ulama yang melarang pesta pora menyambut tahun baru. [][ACEHKITA.COM]
- 0 komentar

Apa Untungnya Sunarko bagi Partai Aceh?

Oleh : ACEHKITA.COM

BEKAS Panglima Kodam Iskandar Muda Mayjen Sunarko dipastikan akan menjadi juru kampanye Partai Aceh pada pemilihan kepala daerah mendatang. Sunarko yang pernah menjabat di Aceh pada 2008 meminta sendiri untuk menjadi bagian tim kampanye pemenangan calon gubernur dari Partai Aceh.
Apa yang mendasari Partai Aceh atas keputusan itu? berikut pernyataan Fachrul Razi, Juru Bicara Partai Aceh.

“Tentunya, Pak Sunarko merupakan bagian dari rakyat Aceh dan bagian rakyat Indonesia. Tentunya kita mengharapkan kehadiran Pak Sunarko ini akan memiliki suatu hal yang bisa mempengaruhi semua elemen itu untuk bisa juga bergabung secepatnya. Sebenarnya bukan hanya Pak Sunarko, banyak sekali yang sudah bergabung dengan Partai Aceh, baik itu tokoh nasional maupun tokoh yang berada di Aceh. Tapi tentunya kita akan mempublish sehari ke depan dan pada deklarasi nantinya.” (JURU BICARA PARTAI ACEH FACHRUL RAZI)

Soenarko lahir di Medan, 1 Desember 1953. Menjabat sebagai Panglima Kodam Iskandar Muda pada 2008 hingga 2009. Kala itu ia menggantikan Mayjen Supiadin AS yang akan menjadi Asisten Operasi Panglima TNI.

Pengamat Militer dan Pertahanan Teuku Ardiansyah mengatakan hampir tidak ada gebrakan dan prestasi apapun oleh Sunarko ketika menjabat di Aceh. Teuku Ardiansyah juga mengatakan, seharusnya Partai Aceh lebih bijaksana memilih juru kampanyenya, khususnya dari kalangan militer.

“Menurut saya ada penyesatan-penyesatan, gitu lho. Kalau kita mau bicara jujur sekarang, siapa dulu sebenarnya yang melarang bendera Partai Aceh, dulunya pakai nama Partai GAM. Siapa dulunya yang melarang Partai GAM, itu kan Pak Sunarko. Jadi, agak lucu sekarang jika tiba-tiba hanya ada satu penyesatan yang beredar misalnya, Pak Sunarko tidak baik dengan Pak Irwandi, maka kemudian untuk mengganggu kemenangan Pak Irwandi, masuklah Pak Sunarko ke Partai Aceh.

Menurut saya itu suatu penyesatan yang saya sendiri nggak tahu di mana korelasi berpikirnya gitu ya. Artinya, kalau pun Pak Sunarko tidak punya hubungan harmonis dengan Pak Irwandi apakah kemudian berarti Pak Sunarko punya hubungan lebih baik dengan Partai Aceh atau dengan mantan kombatan. Menurut saya juga tidak, gitu lho. Bagi saya Pak Sunarko sebagai mantan militer, mantan Panglima Kodam Iskandar Muda jelas, bagi saya, tidak mempunyai hubungan yang cukup harmonis dengan semua pihak yang berasal dari mantan kombatan.” (TEUKU ARDIANSYAH)

Militerisme masih melekat penuh pada tubuh Partai Aceh. Partai yang dibentuk oleh bekas pejuang Gerakan Aceh Merdeka itu sebelumnya menggunakan nama Partai GAM, sebagai nama partainya. Nama Partai GAM kala itu ditentang oleh Sunarko yang masih menjabat sebagai Pangdam Iskandar Muda.
Fachrul Razi mengaku bahwa ada hubungan yang tidak baik di masa lalu antara GAM dan militer di Aceh.

“Nah, artinya perlu kami sampaikan hari ini kan era sudah era damai, era apa namanya, semua orang sudah masuk dalam fase perdamaian. Jadi ya kita tidak perlu melihat ke belakang lagi. Mungkin ada hal-hal yang pada saat itu terjadi miskomunikasi, kurangnya kesepahaman dan informasi. Namun dalam proses waktu berjalan, trust building itu kan terus dibangun. Artinya, sudah terbangun kepercayaan dari semua pihak yang hari ini sudah bergabung dengan Partai Aceh.

Apa yang dilakukan Partai Aceh, insya Allah, itu benar, yaitu mewujudkan MoU Helsinki, perdamaian Aceh yang abadi dan mewujudkan kesejahteraan. Dan itu sudah terlihat dari beberapa tokoh yang sudah bergabung, walaupun di masa lalu memang kurang, kurang, terjadinya miskomunikasi gitu. tapi insya Allah semua itu bisa kita tepis dengan proses perjalanan waktu.” (JURU BICARA PARTAI ACEH FACHRUL RAZI)

Partai Aceh menduga akan mendulang banyak suara pada pemilihan mendatang, khususnya dari kalangan keluarga militer. Tapi, menurut Teuku Ardiansyah, Sunarko pernah tidak sehaluan dengan Presiden SBY sehingga karir militernya pun tidak sampai pada level tertinggi kala itu. Artinya, tidak banyak keuntungan apa pun yang didapat dari bekas Danjen Kopasus ini ketika bergabung sebagai juru kampanye Partai Aceh.

“Yang juga kemudian penting untuk diperhatikan oleh parapihak, ketika membicarakan seorang purnawirawan TNI, siapakah dia, untuk bergabung dalam sebuah mesin politik, maka kita harus ingat sekarang apakah betul misalnya seorang Sunarko punya kemampuan untuk memobilisasi dukungan. Apa, apakah misalnya kemudian Pak Sunarko selama ini punya prestasi yang cukup baik, cukup menarik, dalam periode waktu beliau di Aceh, pada tahun 2008 dan seterusnya.

Seingat saya tidak ada sesuatu yang cukup apa namanya, menonjol dalam periode Pak Sunarko. Bahkan, seingat saya juga Pak Sunarko berada di Aceh ketika periode pemilihan presiden dan legislatif 2009. Beliau sempat terkena isu menjadi bagian dari satu kelompok militer yang tidak sehaluan dengan, apa, dengan SBY, misalnya. jadi waktu itu ada istilah Jenderal antipresiden S. 
Akibat itu kalau nggak salah, beredar banyak sekali rumor yang mengatakan Pak Sunarko terpancung lah, tidak lagi mendapatkan promosi jabatan gara-gara itu. Nah dalam periode waktu sekarang dengan presidennya adalah Presiden S, Pak Sunarko menjadi bagian dari sebuah pemenangan politik, menurut saya tidak akan berpengaruh besar.” (TEUKU ARDIANSYAH)

Masyarakat Aceh pernah hidup dan akrab dengan militer di masa lalu. Rasa trauma akibat konflik di masa daerah operasi militer, kemudian pemberlakuan darurat militer di Aceh, adalah sebuah pembuktian. Masyarakat itu, pada 9 April mendatang akan berbondong-bondng menuju tempat pemungutan suara, memilih pemimpinnya untuk masa lima tahun mendatang. [Safri Muarif, Radio Rumoh PMI][ACEHKITA.COM]
Senin, 27 Februari 2012 - 0 komentar

Ranger Sarah Deu

OLEH : ACEHKITA.COM

Raungan infrasonik membelah sunyi belantara. Bukan pertanda perang, melainkan riuh Po Meurah bercengkrama di sungai. Bulir air di antara semilir angin membasuh dedaunan.
Seakan bukan sekadar melepas gerah, gajah-gajah saling siram. Kawanan ini dikenal dengan kelompok 13, sesuai jumlahnya. Sore terik itu, jumlahnya bertambah.

Fahmi, Leader Conservasi Rescue Unit (CRU) Sarah Deu, kawasan Ulu Masen, Aceh Jaya, menghitung jumlahnya sudah 14 ekor. Sejak awal bulan lalu, bayi yang belum diketahui jenis kelamin, bergabung dalam kawanan.

”Saat itu kebetulan saya sedang berada di sungai dimana gajah-gajah itu menghabiskan waktu untuk mandi, lalu saya memotret dan setelah menyaksikan hasilnya ternyata jumlah mereka memang sudah bertambah, dengan hadirnya bayi gajah,” jelas Fahmi, saat disambangi acehkita.com di CRU Sarah Deu, pertengahan April lalu.

Sarah Deu sendiri ’medan perang’ antara manusia dan gajah paling kesohor. Agar damai tercipta,” kita jadikan lahan konservasi, untuk meminimalkan konflik,” jelas Fahmi.

Dari area menyeramkan, Sarah Deu disulap menjadi kawasan menyenangkan. Kawasan ini dijadikan markas ’gajah polisi’, dilatih untuk menghalau amuk gajah liar yang kerap melumat kebun warga.
Jelas manusia turut andil membuat gajah jadi berang. Agar adil, tak hanya gajah yang dididik. Sarah Deu juga difungsikan sebagai ’taman belajar’. ”Kawasan ini juga menjadi kawasan edukasi bagi warga untuk menjaga lingkungannya,” kata Fahmi.

Sebenarnya, warga sekitar tak berhubungan langsung dengan gajah. Namun aktifitas membuka lahan perkebunan yang terus menjorok ke dalam hutan membuat gajah terusik. ”Karenanya kawasan konservasi didirikan disini,” kata Fahmi.

Serupa gajah, warga juga dilatih menjadi ranger. Tugasnya menjaga hutan. Menurut Fahmi, pihaknya juga mengajarkan masyarakat memanfatkan hutan untuk peningkatan sumber ekonomi.”Misalnya bagaimana menjadikan kotoran gajah sebagai pupuk biogas,” terang Fahmi.

Kini Fahmi dan rekan-rekannya memilki lima ekor gajah terlatih. Tiga diantaranya menjadi pentolan seperti Ida, Suci dan Haris. Namun kelompok lima ini, semuanya ’gajah polisi’. Sedikitnya tujuh mahot, alias pawang gajah disiagakan untuk melatih dan mendampingi.

”Setiap pagi gajah-gajah ini kita bawa ke hutan, dimana mereka bisa menghabiskan waktunya di sana, dan ketika sore hari mereka kembali untuk belajar, berlatih dan istirahat,” jelas Sofyan, sang mahot.

Bagi Sofyan, 30 tahun, mengawal gajah bukan hal baru. Pengalamannya menjadi mahot hampir 10 tahun, membuat Sofyan paham betul apa keinginan para gajah.

”Mereka hewan yang manis sebenarnya jika kita mau memahami kehidupannya, buktinya gajah-gajah terlatih ini akan sangat menghibur jika kita ada bersama mereka,” kata Sofyan

Menjadikan kawasan Sarah Deu sebagai wilayah konservasi merupakan program perlindungan hutan yang dikelola Flora & Fauna International (FFI) Aceh. Selain Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Barat juga menjadi target konservasi.

”Kita terus menyosialisasikan program ini, sehingga pemerintah nantinya benar-benar akan mencanangkan kawasan Ulu Masen sebagai kawasan yang harus dilindungi,” kata Fahmi.

Menurut Fahmi, pengusulan kawasan hutan Ulu Masen dimulai sejak tahun 2002. Kala itu, FFI telah menjalankan program di Aceh selama empat tahun. Berdasarkan data yang dikumpulkan, bagian utara Aceh cukup syarat memiliki kawasan konservasi.

Kegiatan program ini mulanya hanya fokus mengusung jenis Elephas maximus sumatranus (gajah sumatera) sebagai jenis utama (Flagship species) yang perlu dilindungi keberadaannya di habitat aslinya.

“Tapi saat ini tanpa meninggalkan jenis utama, tujuan pelestarian Hutan Ulu Masen menjaga kesinambungan jasa lingkungan yang disediakan untuk masyarakat Aceh, terutama penduduk lima kabupaten di sekitar wilayah hutan ini,” tambah Fahmi.[][ACEHKITA.COM]
- 0 komentar

Kepergian yang Diiringi Isak Tangis

OLEH : THEGLOBEJURNAL.COM

Memasuki hari ke-22 terdamparnya warga muslim Rohingya Myanmar,  mereka ditempatkan di kantor imigrasi lama, di kawasan Blang Mangat Kota Lhokseumawe, akhirnya pihak Keimigrasian Kota Lhokseumawe, pada Rabu pagi (22/2) sekitar pukul 09:45 wib, memberangkatkan 53 pengungsi tersebut ke Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Pusat di Kepulauan Riau.

Saat sebelum keberangkatan, sekitar pukul 09:00 wib, 53 warga Myanmar itu melakukan doa bersama yang diiringi isak tangis. Terdengar doa-doa yang begitu fasih dari mulut pengungsi yang memakai peci, baju serba kuning dan duduk diatas lantai.
Mereka sepertinya sangat terharu dan sedih meninggalkan Aceh. Betapa tidak, nyawa mereka diselamatkan oleh sejumlah nelayan Aceh Utara pada 01 Februari lalu.

Usai berdoa, warga Myanmar itu bergegas mengumpulkan barang-barang mereka, termasuk pakaian-pakaian bantuan dari sejumlah warga. Waktu terus berjalan, satu persatu warga Myanmar memeluk sejumlah pengunjung yang datang, pun pengunjung ikut meneteskan air mata, karena tak kuasa menahan kesedihan melihat nasib saudara seiman yang akan diberangkatkan ke Kepulauan Riau.

Disela-sela persiapan keberangkatan, satu unit bus CV. Pelangi pun tiba yang diparkir tepat didepan lokasi penampungan ini. Disana, meski ditunggu oleh bus pelangi, muslim Rohingya Myanmar itu masih saja memeluk dan menyalami para pengunjung yang datang satu persatu. Waktu pun terus berjalan, satu persatu warga Myanmar mulai masuk ke bus tersebut.

Pengungsi melambaikan tangan kearah pengunjung dan tentunya kepada pihak Keimigrasian Kota Lhokseumawe. Isak tangis pun masih berlanjut meski mereka telah masuk ke bus itu. Sang supir bus pun mulai menginjak gas, memindahkan persneling. Bus mulai jalan pelan-pelan, lambaian tangan mereka masih saja terlihat dan mulai menghilang dari kejauhan. 

Perjalanan mereka ke Kepulauan Riau tidak berjalan begitu saja, melainkan dikawal oleh Kepolisian, TNI, dan petugas imigrasi serta pihak IOM. Hal itu dikatakan oleh Kabag Operasi dari Polres Lhokseumawe, AKP. Prasetyo.
“Ada 25 personil gabungan untuk melakukan pengawalan perjalanan mereka ke sana,”kata Prasetyo.

Sementara Kepala Imigrasi, Ahmad Fauzi, menjelaskan, pada hari ini mereka dipindahkan ke Rudenim, 

Pusat Tanjung Pinang. “Besok, apabila tidak ada kendala dijalan, mereka akan sampai dilokasi. Sementara proses selanjutnya akan menjadi tanggung jawab pihak Rudenim. Hal ini berdasarkan SOP Direktorat Penindakan Keimigrasian,”jelas Ahmad Fauzi, sembari menambahkan bahwa pihaknya belum bisa memastikan apakah warga Myanmar itu akan di kembalikan ke negara asal mereka atau ke negara Malaysia.

Sementara dua warga Myanmar M Nizam dan Kolimullah yng kabur pada Rabu 8 Februari lalu, dan 15 Februari, sampai saat ini masih dilakukan pencarian. “Kita masih terus berusaha untuk melakukan pencarian terhadap dua orang itu yang kabur,”ujar Ahmad Fauzi. Hal yang sama juga dikatakan oleh Kabag Operasi, Prasetyo, pihaknya akan turut membantu pihak imigrasi untuk mencari dua warga Myanmar yang kabur.

Kini, lokasi yang dijadikan untuk penampungan sementara terhadap warga pengungsi Myanmar tampak sepi, tak ada satupun suara-suara yang tedengar lagi dari gudang penampungan tersebut. Seperti yang sempat diberitakan pada sebelumnya, bahwa ke 53 warga Myanmar itu terdampar di perairan Bluka Tubai, Krueng Geukuh, Aceh Utara, Rabu (1/2) lalu. Dan berhasil di tolong oleh sejumlah nelayan Aceh Utara dengan menggunakan enam unit boat.[THEGLOBEJURNAL]
- 0 komentar

Janda Konflik Rosdiana : Disuruh Buka Rekening, Rumah Tidak Ada

OLEH: THEGLOBEJURNAL.COM

Matahari sudah mencapai ubun-ubun saat ratusan tapak kaki melangkah masuk ke Gedung Dewan perwakilan Rakyat (DPRA). Halaman gedung dewan semula kosong, langsung dipenuhi dengan ratusan masyarakat korban konflik. Ratusan orang terlihat duduk-duduk di bawah pohon untuk melepas lelah.

Puluhan plastik air mineral yang sudah kosong tergelatak begitu saja di halaman gedung wakil rakyat. Warga asal Aceh Tengah, Bener Meriah dan Pidie tersebut melepas lelah usai berjalan sejauh lima kilometer. Mereka melakukan longmarch dari kantor Aceh Judical Monitoring Institute (AJMI) yang terletak di Meunasah Manyang, Ingin Jaya, Aceh Besar. Mereka adalah masyarakat yang menjadi korban semasa konflik Aceh yang dijanjikan mendapat bantuan rumah.

Panas matahari ternyata tidak menyurutkan semangat warga dari tiga kabupaten untuk bertemu dengan wakil rakyat yang telah mereka pilih.  Tuntutan mereka sederhana, rumah mereka segera dibangun.

“Rumah kami dibakar. Udah sering kami urus, tapi nggak dapat-dapat,” ujar Rosdiana pada The Globe Journal, Senin (20/2). Tidak hanya Rosdiana, puluhan wanita dan laki-laki yang datang ke tempat itu juga mengalami nasib yang sama. Rumah tempat mereka berteduh dari panas dan hujan, sampai saat ini belum dibangun oleh Badan Reintegrasi Aceh (BRA).

Ros, sapaan perempuan beranak tiga ini mengatakan bahwa rumahnya telah dibakar saat konflik Aceh tahun 2001. Bersama beberapa perempuan lain, Ros ingin menuntut janji BRA akan rumah yang dibangun untuk korban konflik. “Karna udah capek ngurus, udah sering masukin berkas jadi kami kemari. Masukin berkas udah sering kali kayaknya. Ada ke BRA ada yang lewat calo, disuruh buka buku rekening,  tapi nggak ada hasilnya,” keluhnya.

Pada The Globe Journal, warga Simpang Baleek ini mengungkapkan kesedihannya. Dia mengganggap BRA telah salah sasaran dalam hal membangun rumah untuk korban-korban konflik di Bener Meriah dan Aceh Tengah. Dalam beberapa tahun terakhir, dirinya merasa sangat bosan untuk mengurus surat rekomendasi serta mengetik proposal-proposal agar bisa mendapatkan rumah.  Sementara itu, ada banyak yang mendapatkan rumah bantuan, tidak tanggung-tanggung, ada tiga rumah yang didapat sekali bangun.

Namun, hingga mereka harus meninggalkan kampung halaman untuk datang ke gedung DPR Aceh di Banda Aceh.

“Kami maunya rumah kami dibangun. Seperti yang diorasikan bapak-bapak ini, di tangan calo itu, kami yang punya hak bukan dikasih untuk kami, tapi dikasihnya ke orang lain,” tuturnya.

“Kayak misalnya janda korban konflik mendapatkan dana pemberdayaan ekonomi, kakakpun belum dapat. Mungkin aja jalan untuk kami disini untuk ngomong ya kami minta, karena kami berhak seperti yang lain juga,” sambungnya.

Sambil menidurkan anaknya, Ros kembali mengenang saat Aceh masih dilanda konflik. Suaminya dituduh sebagai simpatisan Abdullah Syafi’i, diculik dari rumah. Beberapa hari kemudian, suaminya ditemukan menjadi mayat di sungai oleh masyarakat desa.  

“Sedih kali lah dek, apa salah suami kami. Suami kami masyarakat biasa, bukan GAM. Yang kami tau, suami kami masyarakat biasa. Yang kami tau dia pergi ke kebun. Nggak tau masalah politik,” ujarnya.

Hingga kini, perempuan berjilbab kuning kecoklatan itu menempati sebuah rumah kontrakan. Tiap tahunnya dia harus membayar seharga Rp 3,5 juta untuk tempatnya berlindung bersama anaknya. Rumahnya yang dulu, di Ateuh Singkih sudah dibakar oleh orang tak dikenal. Tempatnya bernaung tersebut telah menjadi puing dalam beberapa hari setelah suaminya  juga diculik dan dibunuh OTK. Rumah yang seharusnya dia dapatkan sampai saat ini masih berupa berkas-berkas yang akan diproses oleh BRA.

“Kami nggak perlu diproritaskan, tapi maunya kamipun dapat,” harapnya.

Sudah tiga hari, Ros dan kawan-kawannya bermalam di Banda Aceh. Mereka masih menunggu berkas-berkas untuk pembangunan rumah mereka diproses oleh BRA.  Saat terakhir kali dihubungi The Globe Journal,  Ros dan rombongannya bersiap-siap hendak kembali ke kampung halamannya. Dia merasa bersyukur dan lega bahwa permintaan mereka akhirnya ditanggapi oleh orang-orang penting di Aceh.

“Kami perempuan kalau udah ada rumah lebih enak kami usaha, walaupun jadi tukang cuci orang, yang penting kami punya rumah,” ungkapnya.[003][THEGLOBEJURNAL.COM]
- 0 komentar

Menelisik Dompet Partai Lokal di Aceh

OLEH : THEGLOBEJURNAL.COM

Hiruk-pikuk, gonjang-ganjing serta dinamika perpolitikan di Aceh terus dan akan tetap menjadi barometer politik di Republik Indonesia. Partai Politik Lokal (Parlok) menjadi salah satu instrumen penting sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh atau lazim disebut UUPA.

Parlok di Aceh lahir setelah perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Ketentuan Partai lokal hasil perjanjian itu diperkuat dengan UUPA.

Berdasarkan UUPA itu, muncul Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 pada 16 Maret 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Dari 12 partai lokal yang sempat didirikan, enam partai lokal dinyatakan Komite Independen Pemilihan (KIP) atau KPUD-nya Aceh berhak mengikuti Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2009.

Partai-partai lokal tersebut diantaranya, Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA) Partai Aceh (PA) dan Partai Bersatu Atjeh (PBA).

Seterusnya, dari keenam parlok yang menjadi peserta Pileg di Dewan Perwakilan Rakyat  Aceh (DPRA) serta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) tersebut, Partai Aceh (PA) memperoleh 1.107.173 atau (43,9%) suara dan memenangi 33 kursi dari 69 jatah kursi di DPRA.

Pertanyaannya, sekian lama keberadaan partai politik lokal di Aceh serta bercokolnya kader Partai Politik Lokal di DPRA dan DPRK, apakah para kader tersebut sudah bekerja sesuai amanat rakyat? Padahal sesuai amanat UUPA pasal 81 dan 82 tentang Hak dan Kewajiban Partai politik lokal, seharusnya mereka yang terhormat itu mempublikasikan segala hal berkaitan dengan kinerjanya. Salah satu yang krusial adalah pengelolaan keuangan partai

Bagian Ketiga tentang Hak dan Kewajiban Partai politik lokal Pasal 81 menyebutkan, huruf (h.) membuat pembukuan, daftar penyumbang, dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah; (i.) membuat laporan keuangan secara berkala; dan huruf (j.) memiliki rekening khusus dana partai.

Bagian Keempat tentang Larangan Pasal 82 ayat (2) Partai politik lokal dilarang, “Huruf (c.) menerima atau memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (d.) menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas."

Seterusnya huruf (e.) menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; atau huruf (f.) meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.

Selanjutnya, di Ayat (3) juga menyebutkan, ‘Partai politik lokal dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha’. Berdasarkan kutipan pasal 81 dan pasal 82 UUPA diatas, sudah sepantasnya ‘masyarakat’ mengetahui dan mempertanyakan hak dan kewajiban partai politik lokal yang telah diatur dalam undang-undang tersebut.

Mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Kamis (14/12/2011) telah melakukan pertemuan dengan Tim Monitoring Sektetariat Jenderal Dewan Pertahanan Nasional (Setjen Wantanas) yang dipimpin Mayjen Rudono Edi kemudian Asisten Deputi Watannas dan dua orang anggota Mohd.Ghazalie dan Any Hendriany, yang datang langsung ke Aceh guna mengumpulkan up-date informasi terkini terkait Isu Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya atau Ipoleksosbud.

Dalam pertemuan di ruangan rapat Gubernur Aceh itu, Irwandi sempat berkicau soal dia adalah anggota PA tapi tidak ada kartu anggota serta menyatakan sebagai donatur/penyumbang terbesar bagi Partai tersebut.
Agar menjadi jelas dan sesuai amanat UUPA pasal 81 dan 82 tersebut, sudah sepantasnya Partai Aceh sebagai partai lokal terbesar dan menguasai mayoritas suara di parlemen provinsi Aceh, melakukan terobosan terkait mengumumkan keuangan partai dan daftar penyumbang agar jelas, transparan dan akuntabel.

Terlebih saat ini hegemoni Partai Aceh sedang digoyang oleh mantan kadernya sendiri (Irwandi Yusuf dan Sofyan Dawood Cs-red) yang berkeinginan mendirikan partai lokal tandingan sebelum hari H pencoblosan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 9 April 2012 mendatang.
Transparansi keuangan menjadi sangat penting agar tidak menjadi dakwa-dakwi di kemudian hari. Apalagi dua pihak yang bertentangan biasanya akan saling mencari kelemahan lawan masing-masing untuk saling menjatuhkan. Pengumuman keuangan partai juga menjadi kewajiban partai agar semakin dipercayai oleh masyarakat.[theglobejurnal.com]
- 0 komentar

Gagal Lari dari Jeruji

OLEH : ACEHKITA.COM

Nurmala, meratap tepat di ambang jeruji besi. Bulir air mata mengalir mengiring isaknya tersedu. Dalam kurungan, T Zulfan Nurdin Zakaria, 33 tahun, hanya menunduk dengan wajah pucat pasi. Peluh masih mengalir di sekujur wajahnya.

“Kenapa kamu lakukan itu?” tanya Nurmala, sambil menjulur tangannya ke dalam jeruji mengusap tubuh Zulfan. Dalam sel tahanan Pengadilan Negeri Banda Aceh, putra ketiganya itu diam membisu. “Ibu tak sanggup begini.”

Nurmala tak menyangka, Zulfan menggandakan pilunya. Padahal, tadinya ia ingin memberi semangat untuk putranya. Tak lupa ia membawa bekal makanan yang dibungkus dalam plastik untuk Zulfan. “Walaupun jahat sekalipun dia tetap anak saya,” sebut warga Peuniti, Banda Aceh itu, Selasa (14/4).

Sebelumnya, Zulfan tersangka kasus pencurian sepeda motor itu, sempat melarikan diri dari mobil tahanan yang menghantarnya menuju persidangan, pukul 11.45 WIB tadi.

Polisi berhasil menangkap kembali tersangka di depan bank Mandiri, di jalan Diponegoro Banda Aceh. Aksi kejar-kejaran antara polisi dan tersangka mengagetkan warga. Apalagi Polisi melepaskan beberapa kali tembakan peringatan.

Beberapa tukang becak, juga membantu polisi untuk membekuk tersangka. “Kami sempat terkejut, ada yang teriak maling,” kata Abdullah, salah seorang warga yang menyaksikan peristiwa tersebut.

Kamaruzzaman, Kejari Banda Aceh, menyebutkan, ini merupakan persidangan kedua. Zulfan terlibat kasus pencurian sepeda motor dan handphone. “Setelah diturunkan dari mobil tahanan mau dibawa ke ruang tahanan sementara. Melihat situasi yang memungkinkan dia lompat dan melarikan diri,” sebutnya.

Zulfan mengaku melarikan diri karena stres di penjara. Dia mengeluhkan sakit di badannya. “Nggak tahan udah sakit semua badan di penjara, nggak sanggup saya sendiri. Tolong bebaskan saya,” harapnya.[ms][Acehkita.com]
- 0 komentar

Demam Juan Carlos di Setui

OLEH : ACEHKITA.COM

MALAM kian usang, gerai makanan khas Italia di kawasan Setui, telah tutup. Namun riuh masih terdengar persis di belakang gerai. Di sana, puluhan pemuda larut bermain futsal.

Sejak sebulan silam, bekas terminal L 300 jurusan pantai barat dan selatan Aceh itu disulap Dedi Sartika, warga Geuce Komplek, Banda Aceh, menjadi lapangan sepak bola ala Amerika Latin. Jauh beda dari sepak bola biasa, lapangannya seluas 15 x 25 meter. Berat bola yang dimainkan pun hanya 400 gram.
Permainan juga tidak dilangsungkan di lapangan berumput, melainkan karpet sintetik dari tali rapia. Lebar gawang hanya tiga meter dengan tinggi dua meter. Sekeliling lapangan dibatasi jaring. Jumlah pemain satu tim hanya lima orang.

Walau arena bermain kecil, jangan kira futsal tidak bisa memeras keringat. Anda tak akan sempat berdiri seperti bermain sepak bola, futsal memaksa pemain terus bergerak. ”Pertama mikirnya nggak terlalu capek karena lapangannya kecil, ternyata lumayan capek main futsal,” kata Ronny Chandra, seorang eksekutif muda.

Tapi jangan khawatir, pergantian pemain dalam futsal tak terbatas. Kapan saja pemain dapat masuk dan meninggalkan lapangan. Khusus penjaga gawang, hanya boleh diganti bila bola sedang tidak digiring, itupun atas persetujuan wasit.

Hendri, seorang mahasiswa di Banda Aceh, hafal benar peraturan permainan ini. Menurutnya, jika bola keluar lapangan, maka bola harus ditendang, bukan malah dilempar.

Selain itu, pemain tak boleh membawa bola lebih dari empat detik tanpa dioper ke pemain lain. ”Bila tidak, si pemain akan dikenakan hukuman pelanggaran,” jelas Hendri. Waktu permainan dibagi dua babak, masing-masing 25 menit.

Masalah perlengkapan, selain kaos seragam agar dapat membedakan kawan dan lawan, futsal juga membutuhkan sepatu khusus. Tapi tidak seperti sepatu untuk permainan sepak bola yang memiliki grip. Sepatu untuk futsal terbuat dari karet. ”Harganya mulai 200 ribu sampai ada yang satu juta, tapi banyak juga yang pakai sepatu biasa, asal nyaman aja di kaki,” ungkap Hendri.

Melihat permainan itu mulai digandrungi, Dedi Sartika, setelah menamatkan pendidikan di Universitas Trisakti, Jakarta, dia kembali ke Aceh. Pemuda berusia 26 tahun inilah yang memperkenalkan futsal pertama di Aceh. Ia membangun dua lapangan. Modalnya, mencapai lima milyar. Gedung futsal miliknya sudah masuk kategori standar.

Selain lapangan, lokasi itu juga dilengkapi kafetaria dan kamar mandi khusus untuk para pemain. Ada juga loker, untuk para member. ”Saya ingin membuat arena ini benar-benar nyaman, rencananya saya juga akan bekerja sama dengan sebuah perusahaan sepatu untuk memasok sepatu futsal,” ungkapnya.

Dedi serius menggarap usahanya. Ia merekrut sembilan orang karyawan untuk mengelola usaha yang dibuka dari pukul 10.00 pagi sampai 12.00 tengah malam. Laba yang diraih, mencapai Rp 3 juta saban hari.
”Kebanyakan mereka mainnya malam, apalagi kalau Sabtu dan Minggu, ya lumayanlah omsetnya” katanya.

Walau Dedi telah membuat dua lapangan, namun peminat tak langsung dapat main. Tak cukup sehari menunggu nama tim bisa tercantum di papan jadwal yang ditempel dekat ruang ganti. ”Saya pesan lapangan jauh-jauh hari, sebab peminatnya banyak,” kata Ronny.

Ronny memilih bermain futsal di malam hari, karena alasan jadwalnya terlalu padat dengan kerjaan. Apalagi setelah main futsal, dia mengaku bisa tidur pulas dan menghilangkan semua beban kerjannya selama sepekan.

”Setiap akhir pekan kami selalu datang dan main futsal bersama di sini. Habis main, kan capek tapi besok badan udah enakan, karena semua keringat keluar, Senin bisa kerja lagi,” akunya.

Tak hanya para eksekutif muda yang menggandrungi permainan ini. Para remaja usia sekolah maupun mahasiswa juga banyak mengantri untuk ikut mencoba kepiawaian dalam mengolah bola. Maklum di Banda Aceh sendiri baru di tempat ini sajalah permaian itu ditemukan.

”Untuk sewa lapangan, biasanya kami kumpul duit, karena harga sewanya Rp 150 ribu perjam. Tapi, kalau malam susah bisa main, karena udah banyak grup yang booking duluan, jadi kadang kami mainnya sore,” ungkap Hendri, seorang mahasiswa di Banda Aceh.

Dedi berencana menggelar turnamen dalam waktu dekat, untuk menambah peminat olahraga ini. Meski baru secara resmi dibuka pada akhir Oktober, sudah banyak klub yang menjamur dan mengantri di lapangan Dedi.
***
FUTSAL sendiri berasal dari bahasa Spanyol, yaitu Futbol (sepak bola) dan Sala (ruangan), yang jika digabung artinya menjadi sepak bola dalam ruangan. Futsal mulai dikenal sejak tahun 1930 di Montevideo, Uruguay.

Permainan ini diperkenalkan Juan Carlos Ceriani, seorang pelatih sepak bola asal Argentina. Hujan yang sering mengguyur Montevideo membuatnya kesal, karena rencana yang ia susun jadi berantakan akibat lapangan yang tergenang air.

Lalu, Ceriani memindahkan latihan ke dalam ruangan. Pertama ia tetap memakai jumlah pemain 11 orang, namun karena lapangan yang sempit, dia memutuskan untuk mengurangi jumlah pemain menjadi 5 orang tiap tim, termasuk penjaga gawang.

Ternyata latihan di dalam ruangan itu sangatlah efektif dan atraktif. Sehingga mampu menarik minat banyak masyarakat Montevideo. Lalu banyak penggemar bola di kota itu yang mencoba permainan baru ini, dan jadilah Futsal olahraga yang diminati masyarakat luas.

Di Indonesia sendiri, futsal baru menjamur sekitar tahun 1998 di beberapa kota besar, seperti Jakarta dan Bandung. Kalangan artislah yang lebih intens memperkenalkan olahraga itu. Bahkan Luna Maya, aktris kawakan Indonesia yang lagi naik daun, juga kepincut olahraga ini. [acehkini.co.id]

- 0 komentar

Cinta Bersama Messa

OLEH : ACEHKITA.COM

Tak perlu binggung kemana menghabiskan malam akhir pekan. Mampir saja ke cafe Pante Pirak Bakery and resto, kawasan pertokoan simpang lima Banda Aceh.

Di sana sekelompok anak muda siap menghibur anda dengan pertunjukkan musik live. Messa Band, nama grup musik para mahasiswa itu. Menurut Muhammad Reza, sang manager, Messa terbentuk dari keinginan bermain musik profesional.

“Awalnya kita tidak kenal satu sama lain, tapi kemudian kita merasa cocok dan kemudian bersepakat untuk bergaung dalam sebuah wadah,” kata Reza.

Para personil Messa yakni Reza vokalis, Zulirfan Malao memainkan keyboard, Zulkifli dan Yuril memetik gitar, Ansarullah pemain bass dan Adil penabuh drum.

Lucunya, nama Messa dari rasa senasib para personil. Semuanya, anak rantau. “Kami mahasiswa dan tinggal di mess, jadi memilih nama Messa,” jelas Reza sambil tersenyum sumringah.

Sejak terbentuk pada Juli tahun 2008 lalu, Band Messa sudah memulai menunjukkan debutnya. Selain pertunjukkan live, juga sudah merilis single-single bertajuk cinta dengan aliran musik pop rock.

Zulirfan Malao, salah seorang personil, menyebutkan beberapa single yang sudah dirilis diantaranya, lagu berjudul Rasa Hati, Menanti, dan Kasih. Selain itu, Messa juga rajin berkompetisi.

Sebagai mahasiswa, tentu saja bukan ’cinta-cintaan’ saja yang diurus. Messa menunjukkan idealisme-nya lewat musik. Tahun lalu, mereka menjadi juara dua lomba jingle anti korupsi yang diselenggarakan oleh KPK di Aceh.

Mempertahankan keberadaan band menjadi hal utama dalam setiap perjalanan Messa. “Kita selalu mengutamakan diskusi dan demokrasi untuk setiap upaya penyelesaian masalah di band,” jelas Reza.
Masih banyak mimpi yang harus diwujudkan oleh Messa, diantaranya menjadi band papan atas di blantika musik indonesia. “Itu mimpi kami, dan kami berharap itu bisa terwujud, meski jalannya masih panjang,” ungkap Reza.[]
- 0 komentar

Yang Lokal Bakal Menang

OLEH :ACEHKITA.COM

Partai lokal diprediksi bakal menang di Aceh. Alasannya dekat dengan rakyat. Siapapun yang kalah diharap dapat menerimanya dengan lapang dada.

“SAYA AKAN memilih partai lokal,” ujar Jamaluddin, warga Ulee Kareng, Banda Aceh, dua hari lalu, bertepatan dengan kampanye sebuah partai lokal di Banda Aceh.

Dia punya alasan, kalau partai lokal lebih dekat dengan rakyat dibandingkan partai nasional. Tapi Jamal masih belum menentukan siapa calon legislator yang bakal dipilih untuk DPR-RI. Maklum, partai lokal tak berhak mengirimkan calon untuk duduk di parlemen tersebut. Mereka hanya berhak untuk dewan provinsi dan kabupaten/kota.

“Kemungkinan besar saya akan memilih orang yang telah saya kenal untuk DPR-RI, tidak melihat asal partai,” tambahnya.

Di Aceh, Pemilu 2009 diikuti oleh 43 Partai, yang terdiri dari 37 Partai Nasional (minus Partai Persatuan Indonesia Baru) dan enam Partai Lokal. Adapun partai lokal itu adalah; Partai Aceh (PA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Bersatu Aceh (PBA) dan Partai Daulat Aceh (PDA).

Pakar politik Aceh, M Jafar mengungkapkan, partai politik lokal di Aceh lahir setelah perdamaian ada. Peluang awal dibuka melalui MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 lalu. Kemudian aturan partai lokal dipertegas dalam Undang Undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Enam partai lokal yang berhak ikut pemilu lahir dari bermacam latar belakang. Partai Aceh misalnya, didirikan oleh para mantan petinggi GAM untuk memperjuangkan aspirasi politiknya. Bahkan partai itu diketuai oleh Mantan Panglima GAM, Muzakkir Manaf.

Sementara Partai Rakyat Aceh dilahirkan oleh anak-anak muda mantan aktivis mahasiswa dulunya. Sama halnya dengan Partai Suara Independen Rakyat Aceh, diusung oleh aktivis yang umumnya tergabung dalam Sentral Informasi Referendum Aceh, sebuah organisasi yang menyuarakan referendum di Aceh, tahun 1999 – 2000.

Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) yang dipelopori oleh Ghazali Abbas Adan, seorang politisi. Selanjutnya Partai Bersatu Aceh (PBA) juga didirikan oleh politisi Aceh, Farhan Hamid yang saat ini tercatat sebagai anggota DPR-RI. Yang terakhir adalah Partai Daulat Aceh (PDA). Partai ini kabarnya disokong oleh sebagian ulama Aceh dan para santrinya.

Menurut Jafar, keberadaan partai lokal dalam meraih suara lebih mudah dibandingkan dengan partai nasional. “Karena pusatnya di Aceh, mereka dalam posisi dekat dengan pemilih,” ujarnya.

Kesulitan mereka, karena tidak punya calon untuk parlemen di Jakarta. Secara internal partai lokal, akan kesulitan dalam komunikasi nantinya dengan pemerintahan di pusat.

Penilaian Jafar, siapapun yang menang atau kalah nantinya harus dapat menerima dengan lapang dada.
Karena semua calon legislatif dipilih langsung oleh rakyat sesuai dengan keiinginan mereka.
Tentang isu kalau Partai Aceh atau partai lokal yang menang, akan muncul kericuhan, Jafar mengatakan tidaklah beralasan. Menurutnya tidak ada persoalan kalau PA nantinya meraih suara terbaik di Aceh.

“Mereka juga membangun kerjasama dengan partai lain dan mereka telah komitmen untuk menjaga keutuhan Republik Indonesia, dan mereka tahu itu,” ujarnya.

Prediksinya, PA memang menjadi mayoritas di Aceh, tapi kemungkinan partai itu tidak menang mutlak. Ada beberapa wilayah di kabupaten/kota yang tidak banyak pendukung mereka. “Sulit menang di atas lima puluh persen kursi di parlemen,” kata Jafar.

Prediksi Partai Lokal bakal menang juga pernah dipublikasikan Center for Aceh Justice and Peace (CAJP), melalui pollingnya, pertengahan tahun lalu. Hasilnya menempatkan dukungan warga terhadap Partai Lokal di atas Partai Nasional, dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2009 mendatang. Polling dilakukan melalui pesan singkat (SMS).

Ketua Tim Polling dukungan Pemilu 2009 CAJP, Muhsin A Gani mengatakan, dari 2.136 responden yang masuk, sebanyak 1.292 responden atau 60,44 persen mendukung Parlok. Sementara untuk Parnas didukung oleh 545 responden atau 25,51 persen. Dan selebihnya belum dapat menentukan pilihannya. “Ini adalah hasil polling yang kami lakukan selama seminggu,” katanya.

Menurut Muchsin, dalam melakukan polling tersebut pihaknya menggunakan dua metode, yaitu; rule of 25 persen. Artinya membagi responden dalam empat kategori; memilih partai karena uang, karena paksaan, karena fanatik dan massa mengambang yang kemungkinan golongan putih (golput). [ ]

[FEATURE ini sudah dimuat di Acehkita.com pada 02/04/2009 - 14:12 WIB]
 

- 0 komentar

Klaim Persen Partai Lokal

OLEH : ACEHKITA.COM

Enam partai politik politik lokal di Aceh siap meramaikan pemilu 2009 bersama partai nasional lainnya. Beragam persoalan muncul dalam upaya pemenangan dan menarik pendukung, dari intimidasi sampai kekurangan dana.

BENDERA-BENDERA partai lokal di Aceh menghiasi setiap sudut jalan. Dominan dibandingkan partai nasional . Demam partai lokal sampai pelosok, bahkan para kadernya ikut turun ke desa-desa terpencil untuk memenangkan pemilu 2009.

Ada enam partai lokal di Aceh yang berhak ikut pemilu, sebagai amanat dari perdamaian yang telah lahir di Aceh, 15 Agustus 2005 silam. Undang Undang Nomor 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, juga mengatur tentang keberadaan partai lokal tersebut.

Partai Aceh (PA) adalah salah satunya. Partai itu dibentuk secara resmi pada tangal 7 Juni 2007, oleh para petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). “Untuk menampung aspirasi politik masyarakat Aceh secara umum,” ujar Juru Bicara Partai Aceh, Adnan Beuransyah, pekan lalu.

Menurutnya, kader partai tidak hanya mantan gerilyawan, tetapi juga masyarakat umum. Partai ini terbuka bagi siapa saja. Adnan mengatakan PA memasang target tinggi untuk memenangkan Pemilu 2009 di Aceh dan akan menguasai parlemen baik di tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi.

Target yang dipatoknya sekitar 70 persen. “Ini memungkinkan, karena kami tersebar di seluruh Aceh dan didukung oleh masyarakat. Kami kuat di seluruh wilayah Aceh,” ujarnya. Bahkan, jelasnya, banyak juga suku non-Aceh yang menjadi kader PA, seperti di Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tamiang, Singkil dan Aceh Tenggara.

Dia mengatakan, kendala yang dihadapi partai selama ini adalah adanya intimidasi dari kelompok tak dikenal, seperti pengrusakan atribut, penurunan bendera dan bahkan lebih keras lagi, pembunuhan kader dan teror granat terhadap kantor dan aset mereka.

Programnya adalah merawat perdamaian. “Dengan perdamaian abadi, semuanya bisa dilakukan di Aceh,” ujarnya. Lainnya adalah menguatkan platform Partai Aceh untuk negosiasi politik dengan pusat. PA berkeinginan untuk memperkuat kewenangan pemerintahan sendiri di Aceh yang sesuai dengan amanat MoU Helsinki dan UUPA.

Untuk kepentingan itu, kader PA terus membina hubungan secara personal dengan orang-orang di pemerintah pusat maupun partai nasional. Kendati demikian, pihaknya secara intitusi belum memutuskan
untuk berafiliasi dengan salah satu partai nasional.

Pengakuan Adnan, hampir tidak ada kendala soal dana. PA mendapat sokongan kuat dari rakyat dan para kader. Misalnya untuk cetak stiker, baju partai dan spanduk, itu umumnya dilakukan oleh personal kader PA. Sehingga pengurus partai tidak perlu memikirkan hal seperti itu.

Di luar partai yang dibentuk para mantan anggota GAM itu, Partai Rakyat Aceh (PRA) juga terus menebar simpati masyarakat. Partai yang resmi berdiri Maret 2007 silam didirikan oleh kalangan oleh anak-anak muda mantan aktivis mahasiswa, serta masyarakat kecil.

Sekretaris Jenderal PRA, Thamrin Ananda mengatakan kehadiran partainya bukanlah tiba-tiba. Ini adalah kelanjutan perjuangan dari banyak tokoh sosial dan politik yang sudah sejak lama terlibat dalam berbagai gerakan perubahan.

“Sejarah PRA dapat dirunut dari sejarah perlawanan rakyat Aceh terhadap penindasan sejak 1998 dan sebelumnya. Para aktivis mahasiswa, kaum intelektual, kaum agamawan, aktivis perempuan, kelompok petani dan nelayan serta rakyat korban pelanggaran HAM, adalah motor atau elemen utama lahirnya PRA. Sederhananya mereka inilah rahimnya dari PRA.”

PRA, kata Thamrin, mengusung sebuah ide untuk kesejahteraan massyarakat Aceh. Program yang dijual secara umum hanya tiga poin; menciptakan lapangan kerja, pendidikan dan kesehatan gratis yang berkualitas dan berdaulat atas sumber daya alam di Aceh.

Menurutnya, mereka fokus pada seluruh wilayah di Aceh, tidak ada kabupaten/kota yang diistimewakan dalam merekrut pemilih. Targetnya juga sama, minimal meraih satu kursi per daerah pemilihan untuk duduk di parlemen kabupaten/kota. Sementara untuk parlemen di provinsi, mereka mematok target 12 kursi dari 69 kursi untuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). “Secara umum, kami ingin meraih suara total 25 persen dari tiga juta pemilih di Aceh.”

Dana didapat PRA dari dari kader partai sendiri. Tidak ada penyandang dana khusus di partai tersebut. Thamrin mengaku pihaknya sedikit kesulitan dalam masalah keuangan. Kendala lain soal politik uang yang dipraktikkan partai besar dalam mempengaruhi pemilih. “Banyak teror yang dilakukan oleh partai lain ke partai kami, bahkan sampai pencabutan atribut,” keluhnya.

Sejauh ini PRA juga belum memutuskan untuk berafiliasi dan koalisi dengan partai nasional maupun partai lokal lainnya. “Ini akan kami lakukan setelah kader kami ada di parlemen Aceh nantinya.”

Sementara itu, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) juga sedang gencar melakukan kampanye pemenangan pemilu 2009. Partai ini juga dipelopori oleh anak muda mantan aktivis, umumnya adalah yang dulu tergabung dalam Sentral Informasi Referendum Aceh, juga dengan singkatan SIRA. Partai ini dipimpin oleh Muhammad Nazar sebagai Ketua Majelis Partai, yang juga Wakil Gubernur Aceh. Sementara Muhammad Taufik Abda duduk sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat.

Muhammad Taufik Abda mengatakan mereka punya basis di seluruh Aceh, bahkan sampai ke tingkat desa. Mereka yakin dapat mendulang suara pada dua pertiga wilayah Aceh. “Kader kami sampai ke pedesaan, tidak ada satu wilayah yang kuat, semua merata,” ujarnya.

Target dipasang 20 persen kadernya duduk di DPRA. Sementara di kabupaten/kota beragam, dari 10 sampai 30 persen wakilnya bisa duduk di parlemen wilayah tingkat dua.

Menurut Taufik, tidak ada kendala yang berarti mendera partainya. Hanya saja kendala dana yang sedikit berpengaruh terhadap kampanye partai. Mereka tidak punya donatur khusus atau mesin dana di partai itu, semua dana berasal dari kader partai.

Partai SIRA juga belum memutuskan untuk afiliasi dan koalisi dengan partai lain. “Kami fokus dulu untuk pemenangan pemilu 2009, soal afiliasi nanti kami pikirkan,” ujarnya.

Kemudian ada Partai Daulat Atjeh (PDA), lahir pada Februari 2008 lalu, partai ini dipelopori oleh para santri dan ulama. Ketua Partai, Harmen Nuriqmar menjelaskan, PDA didirikan dengan semangat pemberlakuan syariat Islam di Aceh. “Karena syariat belum berjalan optimal dan juga untuk memperjuangkan agar anggaran pembangunan Aceh nantinya dapat dinikmati masyarakat kecil,” ujarnya.

Menurutnya, partai ini didukung oleh para santri dan ulama di seluruh Aceh. salah satu perbedaan mereka dengan partai lain adalah PDA diatur oleh ulama, termasuk dapat melakukan recall terhadap wakil di parlamen nantinya, jika diangap melanggar aturan partai.

Para ulama duduk sebagai dewan penasehat partai. “Tapi mereka tidak berpolitik praktis di PDA, hanya memberi inspirasi dan aspirasi baik terkait politik maupun sosial ekonomi.”

PDA juga menargetkan 20 persen dari jumlah kursi di DPRA. Kendala yang mereka mereka hadapi adalah dana dan juga intimidasi serta black campaign dari partai lain. “Ada teror melalui SMS, ada juga yang mengatakan kami partainya tidak jelas. Saya menilai, banyak pihak di Aceh yang belum siap berdemokrasi secara baik,” ujarnya.

Harmen berharap semua pihak di Aceh dapat memberikan pendidikan positif kepada masyarakat pemilih. Kepada semua partai juga berharap siap berkompetisi secara objektif dalam azas demokrasi, dan siap menerima kekalahan .

Selanjutnya adalah Partai Bersatu Aceh (PBA). Partai ini dipelopori oleh politisi asal Aceh yang saat ini tercatat sebagai salah seorang angota DPR-RI, Ahmad Farhan Hamid.

Kata Farhan, PBA lahir dengan mengusung ide pluralisme atau kemajemukan masyarakat Aceh. Hal itu perlu dipertahankan untuk membangun Aceh yang lebih maju dengan masyarakatnya yang kosmopolit. “Aceh adalah daerah dengan warga yang beragam suku, bagaimana upaya menyatukan ini demi kemajuan,” ujarnya.

Menurutnya, kekuatan pendukung mereka sudah cukup baik di seluruh wilayah pesisir Aceh, juga di Kabupaten Aceh Tengah. Sementara wilayah tengah dan tenggara Aceh lainnya, belum terlalu kuat.
Soal dana, PBA tidak mengalami kendala yang berarti, kerena semua kader maupun pengurus mau berkorban untuk menghidupkan partai lokal tersebut. Kendala yang mendera partai itu selama ini adalah intimidasi. Farhan menyebutnya ada ancaman dari pihak tertentu, sehingga banyak kader yang merasa ditakut-takuti.

Juga ada kader PBA yang mendapat tindak kekerasan. “Saya hanya pesan, jangan balas dengan kekerasan, tapi lapor kepada aparat keamanan,” ujarnya.

PBA juga belum memutuskan untuk koalisi dengan partai lain. Soal target perolehan suara, Farhan enggan mengatakannya. “Saya yakin PBA akan mendapat suara yang signifikan,” ujarnya diplomatis.

Satu lagi partai lokal di Aceh adalah Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS). Partai yang lahir 3 Juni 2007 lalu juga dipelopori oleh politisi asal Aceh, Ghazali Abbas Adan. Menurutnya tujuan mendirikan partai tersebut untuk menegakkan demokrasi yang beradab, sekaligus memperbaiki politik Aceh yang telah terkontaminasi dengan ’politik premanisme’ dan ’politik uang’.

Ghazali mengatakan sulit pemilu 2009 berlangsung demokrasi di Aceh. Banyak ancaman dan intimidasi berlangsung di tingkat-tingkat desa, yang dilakukan oleh oknum beberapa partai lain yang menjalankan politik kotor. “Di kota memang jarang, tapi di desa-desa sangat brutal. Panwaslu juga kurang punya nyali di Aceh,” ujarnya.

Bahkan menurutnya, ancaman yang dilakukan terhadap masyarakat sudah melebihi semasa orde baru. “Kita dulu melawan orde baru, tetapi sekarang di Aceh intimidasi dalam pemilu melebihi masa lalu,” ujarnya.

Ghazali mengatakan, PAAS sebenarnya punya pendukung banyak di pantai timur dan selatan Aceh. Tetapi karena banyaknya intimidasi yang dilakukan terhadap kadernya, partai itu sulit bergerak. “Kita hanya berharap satu daerah pemilihan ada satu calon dari kami untuk duduk di parlemen Aceh,” sebutnya. Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, dibagi delapan Daerah Pemilihan (DP) untuk menempatkan wakil di parlemen Aceh.

Sumber dana, menurut Ghazali, PAAS tidak mempunyai anggaran permanen untuk operasional, semua diperoleh dari sukarela masyarakat pendukung partai tersebut.
Kendati sulit, dia menaruh harapan kepada masyarakat Aceh dan semua pihak, agar dapat memperjuangkan dan menjaga bagaimana pemilu 2009 di Aceh dapat berlangsung demokratis. []

[Feture ini sudah dimuat di Acehkita.com pada 30/03/2009 - 16:47 WIB]