OLEH : THEGLOBEJURNAL.COM
Hiruk-pikuk, gonjang-ganjing serta dinamika
perpolitikan di Aceh terus dan akan tetap menjadi barometer politik di
Republik Indonesia. Partai Politik Lokal (Parlok) menjadi salah satu
instrumen penting sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor
11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh atau lazim disebut UUPA.
Parlok di Aceh lahir setelah perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Ketentuan Partai lokal hasil perjanjian itu diperkuat dengan UUPA.
Berdasarkan UUPA itu, muncul Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 pada 16 Maret 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Dari 12 partai lokal yang sempat didirikan, enam partai lokal dinyatakan Komite Independen Pemilihan (KIP) atau KPUD-nya Aceh berhak mengikuti Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2009.
Partai-partai lokal tersebut diantaranya, Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA) Partai Aceh (PA) dan Partai Bersatu Atjeh (PBA).
Seterusnya, dari keenam parlok yang menjadi peserta Pileg di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) serta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) tersebut, Partai Aceh (PA) memperoleh 1.107.173 atau (43,9%) suara dan memenangi 33 kursi dari 69 jatah kursi di DPRA.
Pertanyaannya, sekian lama keberadaan partai politik lokal di Aceh serta bercokolnya kader Partai Politik Lokal di DPRA dan DPRK, apakah para kader tersebut sudah bekerja sesuai amanat rakyat? Padahal sesuai amanat UUPA pasal 81 dan 82 tentang Hak dan Kewajiban Partai politik lokal, seharusnya mereka yang terhormat itu mempublikasikan segala hal berkaitan dengan kinerjanya. Salah satu yang krusial adalah pengelolaan keuangan partai
Bagian Ketiga tentang Hak dan Kewajiban Partai politik lokal Pasal 81 menyebutkan, huruf (h.) membuat pembukuan, daftar penyumbang, dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah; (i.) membuat laporan keuangan secara berkala; dan huruf (j.) memiliki rekening khusus dana partai.
Bagian Keempat tentang Larangan Pasal 82 ayat (2) Partai politik lokal dilarang, “Huruf (c.) menerima atau memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (d.) menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas."
Seterusnya huruf (e.) menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; atau huruf (f.) meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.
Selanjutnya, di Ayat (3) juga menyebutkan, ‘Partai politik lokal dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha’. Berdasarkan kutipan pasal 81 dan pasal 82 UUPA diatas, sudah sepantasnya ‘masyarakat’ mengetahui dan mempertanyakan hak dan kewajiban partai politik lokal yang telah diatur dalam undang-undang tersebut.
Mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Kamis (14/12/2011) telah melakukan pertemuan dengan Tim Monitoring Sektetariat Jenderal Dewan Pertahanan Nasional (Setjen Wantanas) yang dipimpin Mayjen Rudono Edi kemudian Asisten Deputi Watannas dan dua orang anggota Mohd.Ghazalie dan Any Hendriany, yang datang langsung ke Aceh guna mengumpulkan up-date informasi terkini terkait Isu Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya atau Ipoleksosbud.
Dalam pertemuan di ruangan rapat Gubernur Aceh itu, Irwandi sempat berkicau soal dia adalah anggota PA tapi tidak ada kartu anggota serta menyatakan sebagai donatur/penyumbang terbesar bagi Partai tersebut.
Parlok di Aceh lahir setelah perjanjian perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki. Ketentuan Partai lokal hasil perjanjian itu diperkuat dengan UUPA.
Berdasarkan UUPA itu, muncul Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 pada 16 Maret 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Dari 12 partai lokal yang sempat didirikan, enam partai lokal dinyatakan Komite Independen Pemilihan (KIP) atau KPUD-nya Aceh berhak mengikuti Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2009.
Partai-partai lokal tersebut diantaranya, Partai Aceh Aman Seujahtera (PAAS), Partai Daulat Aceh (PDA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Rakyat Aceh (PRA) Partai Aceh (PA) dan Partai Bersatu Atjeh (PBA).
Seterusnya, dari keenam parlok yang menjadi peserta Pileg di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) serta Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) tersebut, Partai Aceh (PA) memperoleh 1.107.173 atau (43,9%) suara dan memenangi 33 kursi dari 69 jatah kursi di DPRA.
Pertanyaannya, sekian lama keberadaan partai politik lokal di Aceh serta bercokolnya kader Partai Politik Lokal di DPRA dan DPRK, apakah para kader tersebut sudah bekerja sesuai amanat rakyat? Padahal sesuai amanat UUPA pasal 81 dan 82 tentang Hak dan Kewajiban Partai politik lokal, seharusnya mereka yang terhormat itu mempublikasikan segala hal berkaitan dengan kinerjanya. Salah satu yang krusial adalah pengelolaan keuangan partai
Bagian Ketiga tentang Hak dan Kewajiban Partai politik lokal Pasal 81 menyebutkan, huruf (h.) membuat pembukuan, daftar penyumbang, dan jumlah sumbangan yang diterima, serta terbuka untuk diketahui oleh masyarakat dan pemerintah; (i.) membuat laporan keuangan secara berkala; dan huruf (j.) memiliki rekening khusus dana partai.
Bagian Keempat tentang Larangan Pasal 82 ayat (2) Partai politik lokal dilarang, “Huruf (c.) menerima atau memberikan sumbangan kepada pihak asing dalam bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; (d.) menerima sumbangan, baik berupa barang maupun uang, dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas."
Seterusnya huruf (e.) menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; atau huruf (f.) meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau dengan sebutan lainnya, koperasi, yayasan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi kemanusiaan.
Selanjutnya, di Ayat (3) juga menyebutkan, ‘Partai politik lokal dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha’. Berdasarkan kutipan pasal 81 dan pasal 82 UUPA diatas, sudah sepantasnya ‘masyarakat’ mengetahui dan mempertanyakan hak dan kewajiban partai politik lokal yang telah diatur dalam undang-undang tersebut.
Mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Kamis (14/12/2011) telah melakukan pertemuan dengan Tim Monitoring Sektetariat Jenderal Dewan Pertahanan Nasional (Setjen Wantanas) yang dipimpin Mayjen Rudono Edi kemudian Asisten Deputi Watannas dan dua orang anggota Mohd.Ghazalie dan Any Hendriany, yang datang langsung ke Aceh guna mengumpulkan up-date informasi terkini terkait Isu Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya atau Ipoleksosbud.
Dalam pertemuan di ruangan rapat Gubernur Aceh itu, Irwandi sempat berkicau soal dia adalah anggota PA tapi tidak ada kartu anggota serta menyatakan sebagai donatur/penyumbang terbesar bagi Partai tersebut.
Agar menjadi jelas dan sesuai amanat UUPA pasal 81 dan 82 tersebut,
sudah sepantasnya Partai Aceh sebagai partai lokal terbesar dan
menguasai mayoritas suara di parlemen provinsi Aceh, melakukan terobosan
terkait mengumumkan keuangan partai dan daftar penyumbang agar jelas,
transparan dan akuntabel.
Terlebih saat ini hegemoni Partai Aceh sedang digoyang oleh mantan kadernya sendiri (Irwandi Yusuf dan Sofyan Dawood Cs-red) yang berkeinginan mendirikan partai lokal tandingan sebelum hari H pencoblosan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 9 April 2012 mendatang.
Terlebih saat ini hegemoni Partai Aceh sedang digoyang oleh mantan kadernya sendiri (Irwandi Yusuf dan Sofyan Dawood Cs-red) yang berkeinginan mendirikan partai lokal tandingan sebelum hari H pencoblosan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) 9 April 2012 mendatang.
Transparansi keuangan menjadi sangat penting agar tidak menjadi
dakwa-dakwi di kemudian hari. Apalagi dua pihak yang bertentangan
biasanya akan saling mencari kelemahan lawan masing-masing untuk saling
menjatuhkan. Pengumuman keuangan partai juga menjadi kewajiban partai
agar semakin dipercayai oleh masyarakat.[theglobejurnal.com]
0 komentar:
Posting Komentar