OLEH : ACEHKITA.COM
PAGI
ITU, CUT MEUTIA KEDATANGAN tamu ‘kelas berat’, pria bersimbah darah
dengan peluru bersarang di paha. Di sekitar ruang perawatannya, belasan
pria kumal menatap awas setiap pengunjung rumah sakit umum Lhokseumawe
itu.
Pria-pria
bersandal jepit ini, melarang wartawan bertanya apapun pada atasannya
yang baru saja ditembak sekelompok orang di Desa Paya Leubu, Kecamatan
Makmur, Bireuen.
Pria
cedera itu, Badruddin, 34 tahun, buronan polisi atas kasus penyanderaan
mobil Cardi, satu LSM asing yang menjalankan misi kemanusian di Aceh.
Selain itu, ia diburu polisi juga sebab merampok sales rokok, Mei tahun
lalu. Pada salah seorang pengikut, dia beberkan yang menembak dirinya
kelompok Husaini dan Muktaruddin. Kedua pria dimaksud, mantan ulee sagoe
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah bergabung ke Komite Peralihan
Aceh (KPA) di Sawang setelah perjanjian damai.
Pengikut
Badruddin lalu menyimpan kedua nama itu dalam target balas dendam.
Namun sebelum berhasil mencari ‘musuhnya’ itu, polisi lebih dahulu
mencekok Badruddin saat dirawat di rumah sakit. Dendam kesumat para
pengikutnya memuncah, setelah Badruddin, untuk kedua kalinya mendapat
serangan. Kali terakhir, akhir Desember tahun lalu, peluru mengambil
nyawanya, (baca: Pedang di Jalan Berlubang).
Beberapa
hari berselang, pengikut Badruddin menemukan Muktaruddin, 35 tahun, di
Meunasah Pulo, Kecamatan Sawang, sedang melayat di rumah seorang warga
yang meninggal. Mantan kombatan itu disiksa, hingga luka gores di
sekujur tubuhnya. Hafid, anggota KPA, juga mendapat siksa serupa.
KPA
tak tinggal diam. Sejumlah pengikut Badruddin ditangkap dan diserahkan
ke polisi. Tuduhannya, mereka terlibat penganiayaan Muktaruddin. Tapi,
polisi melepaskan kembali. Dalih polisi, mereka yang diserahkan, tak
cukup bukti.
Berbekal
keterangan Badruddin sebelum ajal menjemputnya, polisi menangkap
Husaini di Geurugok, Kecamatan Gandapura, Bireuen. Zikri, pemilik rumah,
saat penggerebekan juga digelandang ke Polres Lhokseumawe malam itu.
Dugaannya, Husaini yang menembak Badruddin.
Hanya
tiga hari berada di sel polisi, Husaini menghembus nafas terakhir.
Polisi sebelumnya, sempat membawa tahanan ke rumah sakit TNI AD
Lhokseumawe. Alasannya, Husaini menderita sakit paru-paru. Tapi
keluarga, tak sepenuhnya percaya, sebab, ada sejumlah bekas penganiayaan
di tubuh korban.
Sementara
para pengikut Badruddin, tak luruh dendamnya walau polisi telah
menetapkan Husaini tersangka. “Itulah anehnya, mereka tak yakin kalau
Husaini yang membunuh,” ujar seorang staf lembaga pemantau perdamaian
yang tidak mau disebutkan namanya.
Sumber
itu juga menyebutkan, kelompok ini mulanya hanya beranggotakan 50
orang. Anggotanya, tak hanya warga Sawang, tapi berbagai kecamatan di
Timur Aceh. Namun mereka tak solid. Setelah meninggalnya Badruddin,
jum¬lahnya menciut. “Ada yang pulang ke kam¬pung, ada yang pergi
merantau dan banyak yang memilih tidak peduli,” kata sumber yang terus
mengamati kelompok ini.
Begitupun, kelompok ini masih eksis.
Sejumlah
warga menyebut, pemimpinnya sudah berganti. Saat ini, dipimpin trio
berinisial Brimob, Zack dan Kumbang. Di Sawang, nama-nama ini tak asing.
Mereka kerap berkumpul dan mondar-mandir di kedai-kedai desa. Tak
jarang juga membekali diri dengan senjata parang. ”Berani–berani orang
itu,” ujar seorang warga Punteut, Sawang.
Di
bawah kendali trio ini, tiga bulan lalu, sejumlah bendera hijau
berlambang bintang bulan diapit pedang di bawahnya bertuliskan, “Allahu
Akbar” berkibar di beberapa tempat di Sawang. Pengikut Badruddin, kini
sering terlihat membawa parang hilir-mudik di kampung. “Karena itulah
warga menyebutnya pasukan pedang,” ujar seorang warga.
Brimob,
seorang pentolan ‘pasukan pedang’ ini telah dicokok polisi. Dia
terlibat penculikan seorang pengusaha di Juli, Bireuen. Dia ditangkap
polisi Bireuen. Darinya, ditemukan sepucuk senjata laras pendek.
Sementara
Zack dan Kumbang, yang diduga terlibat penculikan Andrian Moreer, warga
Perancis, September lalu, masih buron. Konsultan World Bank itu,
diculik tujuh anggota pasukan pedang di Desa Punteut, Kecamatan Sawang.
Andrian dan supirnya sempat disekap semalam di semak pedalaman Sawang.
Selain menguras seluruh barang berharga milik korban, pelaku minta
tebusan Rp 5 miliar. Permintaan tebusan tidak dilayani korban.
Singkat
cerita, mereka dibebaskan setelah uang tunai U$ 3.300, satu unit
laptop, dua handphone, satu jam tangan, dan ATM Bank BCA milik Andrian,
serta mobil Innova BK 1920 HN yang digunakan korban, digasak pelaku.
Polisi menemukan mobil korban di kawasan Lhoksukon, Aceh Utara, Oktober
lalu.
Saat
ditemukan, nomor polisinya mobil silver itu sudah diganti menjadi B
1720 HS. Selain itu, Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) juga dipalsukan.
Edy Sofyan, 18 tahun, seorang pelaku juga ditangkap polisi. Ramadhan
alias Madan, yang bertugas menyembunyikan mobil pun telah diringkus.
Tertangkapnya
Madan membuat Kum¬bang mengamuk. Ia meminta polisi untuk membebaskan
anak buahnya. Bila tidak, pasukan pedang akan menyerang. “Ancaman ini
membuat kami semakin melancarkan upaya memburu komplotan itu,” kata
Ka¬polres Lhokseumawe, AKBP Zulkifli.
Sebelumnya,
kata dia, melalui sambungan telepon Si Kubang telah menyatakan akan
menyerahkan diri bila semua media massa mau meliput. “Setelah kita
tunggu-tunggu, ternyata mereka tidak menyerahkan diri,” katanya.
Jelas
bukan karena gentar, kini pihak polisi menambah kekuatan. “Kita diback
up Brimob Ki-4 dan Densus 88 Polda Aceh terus memburu kelompok itu.
Sampai kapanpun dan kemanapun akan kami kejar,” kata AKBP Zulkifli.
Seorang
warga di Sawang menyatakan, mulanya Badruddin memprogandakan
pengikutnya untuk tak mengikuti jejak KPA yang menguasai basis ekonomi
secara masif. Namun secara perlahan kelompok itu sudah mengarah ke
pelaku kriminal. “Mereka ini tidak jelas lagi, maksud dan tujuannya,”
ujar sumber itu.
Soal
tak menguasai ekonomi secara masif, warga setuju saja. Namun, mereka
enggan bergabung dengan pasukan pedang, apalagi setuju aksi kriminal
yang dilakukan selama ini. Warga juga mengaku takut dengan kelompok yang
dihuni mantan GAM ini.
Juru
bicara KPA, Ibrahim Syamsuddin tidak mau berkomentar panjang tentang
ini. “Semuanya, kalau kegiatannya sudah melanggar hukum, itu tugasnya
polisi. KPA tidak punya kapasitas apa-apa untuk itu,” ujarnya. Kalau
menertibkan bekas kombatan, tugas siapa? Tentu bukan Kumbang.
[ACEHKINI.CO.ID]
0 komentar:
Posting Komentar