OLEH : ACEHKITA.COM
MALAM masih terlalu muda, di penghujung Desember 2011. Jarum jam
belum lagi melewati seperempat malam. Mendung mengarak awan,
tanda-tanda akan turun hujan. Dari corong Masjid Raya Baiturrahman,
lantunan zikir menggema, beradu keras dengan bunyi ribuan kenalpot
kendaraan. Di sela-sela itu, sesekali rentetan terompet memekik.
Kepadatan mulai tampak selepas Isya. Melewati Jambo Tape, di pinggiran jalan, para penjaja burger menyetel keras musik disco. Muda-mudi bercengkerama, sambil berangkulan. Lewat dari situ, Simpang Lima, Banda Aceh. Beberapa kelompok mulai berkumpul, menumpuk hingga ke jembatan Pante Pirak, di atas Krueng Aceh yang membelah ibukota Provinsi Aceh itu.
Dari Masjid Raya, pemandangan serupa: jalanan dipadati lalu lalang
kendaraan. Belok kiri, arah ke Lapangan Blang Padang, juga tak jauh
berbeda. Di sini, tak ada lampu yang menerangi jalanan. Di beberapa
sudut, di atas tanggul, puluhan pasangan tampak sedang memadu kasih.
Malam seakan milik mereka berdua. Dengan mesra, beberapa sejoli terus
sibuk dengan aktivitasnya, tak memperdulikan keramaian malam.
Jalanan yang macet hanya memungkinkan kendaraan bisa dipacu dengan
kecepatan, sekitar 30 kilometer per jam. Tapi tidak bagi Ponda. Ia
bersama tujuh rekannya mengayuh pelan wim cycle, menembus keramaian
malam. Ia hendak merayakan malam pergantian tahun, di pinggiran pantai
Ulee Lheue. Baginya, ada sebuah keunikan ketika ia dengan kawan-kawan
bisa menikmati kebersamaan di penghabisan tahun 2011.
“Jarang-jarang kita bisa seperti ini,” kata Ponda. Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul 21.37 WIB.
Sayang. Ponda yang datang bersama Komunitas Bocah-Bocah Lampineung
atau Bohlam, harus putar kemudi. Warga Ulee Lheue, Meuraxa, menutup
badan jalan di depan Masjid Baiturrahim, yang menghubungkan ke Pelabuhan
Ulee Lheue itu.
Burhan, salah seorang warga menuturkan, kesepakatan menutup jalan itu
diambil berdasarkan hasil musyawarah Pemuda Kecamatan Meuraxa, Koramil,
Camat, dan Kapolsek Meuraxa.
“Minimal kita bisa mengurangi perilaku maksiat di tempat kita ini.
Untuk mencegah mungkin sulit, tapi untuk mengurangi apa salahnya,” kata
Burhan, yang juga penjual pulut di pinggiran Pantai Ulee Lheue ini.
Menariknya, kaum ibu ikut juga mengambil peran mengamankan desa
mereka, Ulee Lheu dari maksiat.
“Tadi kita juga ikut ronda ke Tumpok
Teungoh,” kata seorang ibu.
Di tiap malam pergantian tahun, ibu tersebut menuturkan, mereka
selalu melakukan ronda. “Kalau nggak seperti ini, yang jelek selalu kami
Ulee Lheue. Padahal warga yang asli di sini bisa dihitung, apalagi yang
perempuannya,” ujar perempuan tambun itu lagi.
Dia menyesalkan para pedagang yang kelewatan dalam mencari rezeki.
“Di sini hampir semua pendatang. Kalau mau cari uang ya silakan, tapi
kan ada batasnya,” gerutu ibu tersebut.
Malam tadi, Ulee Lheue memang dijaga ketat aparat keamanan. Ada TNI,
Polisi, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan Polisi Syariat (WH),
yang malam itu ikut menutup badan jalan.
Malam terus saja merangkak perlahan. Kini, satu jam saja selisih
pukul 12. Kemacetan tak dapat dielakkan. Dari Lapangan Blang Padang,
menuju pusat kota, pengguna jalan sudah menyemut. Tampak seorang tentara
melempar batu ke sebuah sudut lapangan dekat dengan monumen RI 001;
ternyata sepasang insan yang sedang dimabuk asmara. Mereka kemudiam
meninggalkan lokasi itu.
Kembali melewati jembatan Krueng Aceh, pengguna jalan lebih memilih
berhenti, daripada merangkak dengan kendaraan di jalanan. Malam yang
pekat dimuntahi dengan kembang api, dan mercon-mercon besar. Mirip
dengan pembukaan sebuah event besar, yang disiarkan di televisi. Polisi
yang betugas ikut mengabadikan dengan kamera handphone.
Tahun
2012 akan menjelang dalam hitungan detik. Sebuah mercon tembak yang
dirangkai dalam sebuah kotak, digelar di tengah jalan. Seorang lelaki
menyulut sumbu kecil dari kotak ‘bom’ itu. Di kerumunan massa, ledakan
menggema, bergantian. Lagit memerah dengan percik indah. Asap mengepul
di angkasa. Terompet ditiup silih berganti.
Tiga, dua, satuuuu, selamat tinggal 2011. Beberapa pemuda
menghidupkan motor besarnya. Mereka dari Ikatan Motor Besar Indonesia.
Seperti sedang pemanasan, mereka menyetel keras bunyi kendaraannya.
Kini, perhatian massa beralih ke kelompok mereka. Ada juga seorang
Petugas Polisi Jalan Raya (PJR), yang ikut menggas kencang motor Highway
Patrol Antik Kepolisian, Harley Davidson. Bunyinya memekakkan telinga,
bersaing dengan letupan kembang api.
Malam itu, semua berbaur. Polisi yang seyogyanya mengamankan ikut
merakan pergantian tahun. Sebagian merekam, dan sebagian lagi larut
dalam perayaan. “Kakaloen ile polisi nyan,” celutuk sekawanan remaja. Ia melirik ke petugas yang tak lagi ‘bertugas’ tersebut.
Berbagai cara perayaan di Simpang Lima. Satu kelompok marching band
merayakan dengan memainkan nada saksofon. Lagi-lagi kegiatan mereka
memecah perhatian publik. Ketika belasan muda-mudi itu selesai meniup
instrumen Nanggroe Lon Sayang, tepuk tangan membahana, silih berganti dengan letupan ke angkasa.
“Lanjut lagi lah. Lagu lain lagi,” pinta seorang petugas polisi kepada mereka.
Tiba-tiba, seorang perempuan jatuh pingsan di kerumunan. Ia terkejut
saat ledakan mercon besar, meletup tak jauh dari posisi dia berdiri.
Oleh seorang kawan perempuannya, ia dipangku, dibawa entah ke mana.
Malam semakin larut. Satu jam telah berlalu di 2012. Kesibukan
perlahan mulai surut. Jalanan masih padat. Kini; semua pengunjung
berebut jalan pulang. Kembang api menghiasai langit Serambi Mekkah,
mengalahkan seruan ulama yang melarang pesta pora menyambut tahun baru.
[][ACEHKITA.COM]
0 komentar:
Posting Komentar