-->
Selasa, 20 Agustus 2013 - 0 komentar

Zakaria, Si Pandai Besi dari Gampong Blang Seupeng

Duduk mengawasi tumpukan besi dan plat dihadapannya, Zakaria, seorang pandai besi yang disambangi oleh The Globe Journal, Senin, 19 Agustus 2013, menjelaskan satu persatu alat-alat yang ia produksi. Dia berbagi cerita di sebuah balai sederhana yang terbuat dari dahan bambu dan beratapkan daun rumbia.
Tampak beberapa orang berdatangan membawa parang dan sabit. Benda-benda tersebut, dibakar dan dipertajam oleh Zakaria. Para pelangganya menunggu dan duduk di bangku bambu di bawah pohon-pohon melinjo yang rindang.
“Saya membuat tembilang, linggis, skrop, bunga pagar, dan memperbaiki mata sabit serta parang,” kata lelaki kelahiran Gampong Blang Seupeng, 30 Desember, 1961 itu.
Zakaria adalah salah satu pandai besi yang ada di Gampong Seupeng, Kecamatan Peukan Baro, Pidie. Profesi itu, kata dia, telah ia lakoni sejak Sekolah Dasar dan merupakan pekerjaan turun-temurun keluarganya.
“Dulu sepulang sekolah saya bantu-bantu orang tua. Alah bisa karena biasa. Hingga hari ini saya masih meneruskan profesi ini,” kata dia sambil meneruskan pekerjaannya.
Memproduksi alat-alat, seperti tembilang, linggis, dan skrop, ujar Zakaria, membutuhkan bahan baku yang berupa besi atau plat, arang batok kelapa. Awalnya, besi yang akan digunakan, dipanaskan dengan arang dari batok kelapa selama sepuluh menit. Lalu, dibentuk dengan menggunakan alat pembentuk khusus. Dan setelah terbentuk, akhirnya alat-alat tersebut ditajamkan dengan grenda.
Menurutnya, usaha yang telah ia lakoni tersebut, mampu untuk menopang kehidupan dirinya dan keluarga. Barang-barang yang ia produksi dibeli oleh agen-agen dan dipasarkan ke Banda Aceh hingga ke Medan, Sumatera Utara.
“Plat, saya beli di toko bangunan, seharga Rp 700 ribu. Itu biasanya untuk tiga hari kerja. Nah, kalau besi-besi bekas, saya beli dari agen-agen besi bekas. Untuk setiap alat yang saya produksi, saya menjualnya seharga Rp 50 ribu. Itu habis biasanya diborong ama agen. Seluruh Aceh, ada barang-barang yang saya produksi. Lumayanlah untuk penghasilan saya, setidaknya cukup untuk keluarga,” katanya.
***
Di sudut atas balai tempat kerjanya, terpampang sebuah papan nama, berukuran kecil. Di papan tersebut tertulis: Pemerintah Aceh; Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Program Pemberdayaan Fakir Miskin. Kelompok: Abee Dapu, Blang Seupeng, Peukan Pidie, Pidie, 2010.
Ditanyai mengenai papan tersebut, Zakaria hanya tersenyum tipis dan berkata, “Itu sudah lama. 2010 lalu. Dibantu cuma sekali, per kelompok diberi Rp 10 juta. Satu kelompok terdiri dari 10 pandai besi,” kata Zakaria menerangkan. “Sekarang tidak ada lagi.”[theglobejournal.com]
- 0 komentar

Hendra dan Nilawati Serta Janji Damai Bernama MoU Helsinki

"Andai Ayah bisa dibeli, aku ingin ia kembali kesini melihat nasib kami, nasib anak pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah dilupakan oleh mereka, oleh sahabat-sahabat Ayah kala masih mengangkat senjata. Kala itu Ayah sangat dihormati oleh mereka, Ayah adalah kepala Kepolisian GAM wilayah Matang Teungoh. Seolah kami ini bukan bagian dari mereka ketika Ayah telah tiada, padahal Ayah menaruh nyawa saat memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Hingga nyawa Ayah pun melayang ditembak musuh dari pasukan TNI yang sangat kejam memberantas pasukan bentukan Hasan Tiro untuk memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari NKRI kala itu"
Pasukan GAM dari wilayah Samudra Pasee memang dikenal sangat tangguh, salah satunya Jamaluddin AR Bin Abu Rani, teman-teman seperjuangan memanggilnya Din Rani, beliau gugur dalam peperangan pada 23 November 2000. Benar, inilah Ayah kandung Hendra (28 tahun) yang menceritakan kehidupan keluarganya pasca Aceh melapangkan dadanya untuk duduk satu meja, menghilangkan perbedaan dan membicarakan masa depan yang terbaik bagi Aceh dan nusantara ini di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam.
The Globe Journal tiba di Gampong Cibrek Kecamatan Tanah Luas pedalaman Aceh Utara, sekira pukul 16.00 WIB sore kemarin, Rabu (14/8/2013). Hendra yang didampingi Ibunya Fatimah (61 tahun)  menyambut hangat kedatangan kami ke kediamannya, mengapa tidak? Mereka memang menunggu kedatangan media untuk mencurahkan isi hatinya kepada Pemerintah dan rekan seperjuangan suaminya untuk memperdulikan nasib janda dan yatim korban konflik. “Bantuan yang kami terima cuma waktu Meugang aja, itupun Cuma 150 ribu atau 200 ribu itupun kan setahun sekali,” katanya diawal pertanyaan.
Didepan gubuk 3x5 meter, penulis dipersilahkan duduk. Awalnya penulis mengira gubuk tersebut hanya sebuah kios untuk berjualan, namun didalam gubuk ini terdapat 2 anak manusia yang sedang menonton televisi, mereka adalah Muhammad Reza (20) dan Lia Nursa’dah(16) keduanya adalah adiknya Hendra, buah pernikahan Jamaluddin AR dengan Fatimah. Penulis sempat meneteskan air mata ketika mendengar curahan hati Fatimah yang didampingi Hendra, mereka seolah terabaikan dalam hal penerimaan bantuan untuk korban konflik, tercatat sudah 5 kali mereka memasukkan proposal untuk pembangunan rumah mereka, seperti halnya korban konflik lain yang rumahnya dibangun dari hasil bantuan untuk korban konflik.
Tangisan memang tak dapat dibendung ketika keduanya bercerita tentang rumah, ternyata rumah yang diurus melalui proposal tersebut telah diberikan namun tidak sampai ke tangan mereka, “pengurusan rumah tersebut sudah selesai, rumah pun telah disalurkan namun tidak sampai ke kami,” ungkap Hendra yang diangguk ibunya, Fatimah. Seraya menambahkan, “saya tahu siapa yang telah mengambil rumah kami, rumahnya besar, tapi yasudahlah kita serahkan kepada yang Maha Adil,” tambah Hendra yang matanya mulai berkaca-kaca.
Hendra seperti menaruh rasa dendam dan kebencian kepada Eks Kombatan, perjuangan Ayahnya sangat tidak dihargai ketika Aceh telah dipimpin oleh rekan-rekan Ayahnya dari pasukan perjuangan Aceh Merdeka, “Ketika saya berjumpa, mereka berpaling. Padahal dulu ketika perang mereka dirumah kami makan minumnya, mereka dulu cuma pemegang radio untuk memberikan informasi ke Ayah,” ujar Hendra ketika membicarakan seseorang Eks Kombatan anak buah ayahnya.
Mereka masih berharap bantuan pembangunan rumahnya, jangan hanya diiming-imingkan mendapatkan rumah namun tidak pernah kesampaian untuk merasakan kenikmatan dibawah pucuk pimpinan rekan Ayahnya yang dulu menenteng senjata demi perjuangannya memisahkan Aceh dari NKRI. “Kalau memang mau dikasih bantuan Rumah, Alhamdulillah. Kalaupun bantuannya dalam bentuk uang pasti juga kami akan membangun rumah,” ungkap Fatimah.
Hal yang sama juga dirasakan Nila Wati (47 tahun) isteri dari Tgk Nurdin, Tgk Nurdin dikenal dengan nama Tgk Din Keh  yang menjabat sebagai Juru Penerangan GAM wilayah Pasee. Dua lembar Bendera Bintang Bulan masih terpasang pada tiang disebuah jembatan sebelum tiba dirumahnya yang berada di Gampong Manyang Matang Teungoeh, Tanah Luas, Aceh Utara. Tgk Din Keh sendiri belum ditemukan mayatnya yang dibunuh oleh Pasukan TNI pada 19 Desember 2004 lalu.
Nila Wati yang dikaruniani 6 orang anak dari buah pernikahannya dengan Tgk Din Keh, bercerita panjang lebar mengenai nasibnya sekarang. Dirinya sempat menjual sawah demi mencari keberadaan makam suaminya yang telah dibunuh saat Aceh masih dilanda kabut perang, namun tidak membuahkan hasil. Hingga saat ini mereka pun tidak tahu dimana keberadaan makam sang Juru Penerangan GAM yang sangat dihargai oleh pasukan di wilayah Pasee.
Sama halnya dengan keluarga almarhum Jamaluddin AR Bin Abu Rani, Nila Wati juga tidak pernah mendapatkan bantuan apapun, padahal menurut ceritanya, dirinya juga sempat mengurus rumah bantuan untuk korban konflik, namun rumah tersebut telah disalurkan tapi tidak sampai ke tangannya sehingga sampai saat ini dirinya masih harus membesarkan anak-anaknya di gubuk yang terbuat dari papan tersebut.
“Waktu masih perang, saya disini di depan rumah ini tiap hari harus mandi abu, disuruh guling-guling ditanah. Tidak sanggup memikirkan kalau Aceh masih konflik, tapi setelah damai kami juga merasakan pedihnya tinggal di Aceh,” ungkap Nila Wati terbata-bata. Seraya menambahkan, “Andai saja Tengku masih hidup, mungkin kehidupan kami tidak seperti ini,” tambahnya.
Hari semakin gelap, suara pengajian terdengar dari beberapa balai di gampong itu, penulis pamit pulang. Nila Wati berharap diujung pembicaraan. Janji damai itu mestinya tidak saja di atas kertas. “Semoga pintu hati mereka terbuka melihat nasib kami,” demikian isteri mantan Juru Penerangan. [theglobejournal.com]
Senin, 19 Agustus 2013 - 0 komentar

Ali Limpah, Veteran Berumur 93 Tahun dari Aceh Utara


INDONESIA baru saja merayakan hari kemerdekaannya yang ke 68 tahun setelah pada tahun 1945 Indonesia dinyatakan merdeka. Hal tersebut tidak terlepas dari pejuang-pejuang yang melawan penjajah ketika dahulu Indonesia masih dalam jajahan pasukan Tentara Jepang dan Belanda, manusia bumi nusantara menamakan mereka Veteran, yaitu mantan pejuang kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ali Limpah MA, kakek tua ini adalah salah seorang sosok pejuang kemerdekaan Indonesia yang berasal dari Aceh, sama halnya Tengku Daud Beureueh. Beliau yang sekarang sudah sangat tua ini masih bisa mengetahui bahkan bisa menceritakan bagaimana perjuangannya merebut kemerdekaan dibawah komando Tengku Daud Beureueh.

Sesuai pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) umurnya sudah mencapai 93 tahun, sejak tiga tahun terakhir ini beliau sudah tidak sanggup lagi memenuhi undangan untuk menghadiri acara Upacara HUT Republik Indonesia seperti halnya Veteran lainnya yang umurnya lebih muda daripadanya. Pun demikian, daya ingat Ali tidak jauh berbeda dengan anak muda sekarang ini, kakek tua tersebut masih bisa menceritakan sejarah pra Kemerdekaan Indonesia, walaupun pendengaran dan penglihatannya sudah mulai terganggu.

Ali Limpah yang didampingi isteri keduanya Aisyah Yusuf (60) -isteri pertamanya sudah lama meninggal dunia-. Dari hasil perkawinannya dengan Aisyah, Ali dianugerahkan tiga orang anak, ketiganya laki-laki, masing-masing Nurdin Ali (32 tahun), Nasir Ali (30 tahun) dan Azhari Ali (28 tahun). Sesekali beliau menghisap rokok gudang garam merah yang telah dibakar ditangannya, serta meneguk kopi yang sudah disiapkan isterinya Aisyah dihadapannya.

Beliau yang hanya sekolah hingga kelas 3 sekolah rakyat ini hanya menjadi sebagai pasukan Tentara Indonesia kala itu, namun katanya, apabila dirinya bisa sekolah hingga kelas 5 kemungkinan setelah merdeka dulu bisa mendapatkan jabatan dari Presiden RI Soekarno. Kedekatannya dengan Tengku Daud Beureueh jelas dikatakannya kepada The Globe Journal yang mengunjungi kediamannya di gampong Nibong Baroh, Kecamatan Nibong Aceh Utara. Sabtu (17/8/2013).

"Ayah Beureueh (Daud Beureueh, red) sangat tangguh memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, bahkan ketika dinyatakan kemerdekaan Presiden Soekarno memanggilnya untuk audiensi kepresidenan," ungkapnya yang tidak bisa berbahasa Indonesia.



Daya ingat yang masih sangat luarbiasa menjadi daya tarik The Globe Journal untuk menanyakan sejarah-sejarah kelam yang pernah ia ketahui, mulai dari peperangan, penyergapan bahkan masalah transportasi seperti kereta api. Beliau yang mulai kesakitan tersebut dapat menjadi sumber kepada para pecinta sejarah Indonesia yang ingin mengetahui sejarah kemerdekaan Indonesia.

"Badan sudah mulai kesakitan, kalau saya belum meninggal mungkin masih bisa menceritakan sejarah yang saya tahu," ujarnya yang tidak mengetahui bahwa hari ini HUT RI yang ke 68 tersebut.[Theglobejournal.com]
- 0 komentar

Kisah Balita Korban Gempa Gayo

BANDA ACEH | ACEHKITA.COM – Tubuh mungil itu terkulai lemas. Mata terpejam, nafasnya pelan. Kaki kanannya dipasang infus, sementara kepala terbalut perban. Hafis Mahardika, 10 bulan, adalah seorang dari sejumlah balita yang menjadi korban gempa bumi 6,2 Skala Richter mengguncang Aceh, Selasa lalu.
Hafis Mahardika, 10 bulan, yang didampingi ibunya, Fitriani, dirawat intensif di RSUZA Banda Aceh, Jumat (5 Juli 2013). [NURDIN/ACEHKITA]
Hafis Mahardika, 10 bulan, yang didampingi ibunya, Fitriani, dirawat intensif di RSUZA Banda Aceh, Jumat (5 Juli 2013). [NURDIN/ACEHKITA]

Ditemani ibu kandungnya Fitriani, 23, Hafis dirawat intensif di ruang Jeumpa Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA) Banda Aceh, setelah Kamis dioperasi untuk menyatukan kembali tulang kepalanya yang bengkok dan masuk ke otak.
Hafis diterbangkan dengan pesawat ambulance PK MAN (MAF) Rabu sore karena tak mampu ditangani di Rumah Sakit Umum Manyang Kute di Kabupaten Bener Meriah, bersama empat bayi lainnya yang juga harus mendapatkan perawatan intensif di Banda Aceh.
Empat bayi lain itu adalah Angga, 4, Ali Zuriansyah, 4, Naili Shakila, 2,5 dan Sabilisma, 2 pekan. Mereka juga sedang dirawat intensif di RSUZA, karena mengalami luka parah di bagian kepala akibat terkena reruntuhan rumah yang ambruk digoyang gempa.
Menurut Fitriani, anaknya dalam kondisi stabil setelah menjalani operasi selama dua jam lebih. Sebelumnya, Hafis kerap menangis. “Tetapi sekarang sudah agak diam dan mau tidur,” katanya kepada acehkita yang menemuinya di RSUZA, Jumat kemarin.
Dikisahkan bahwa saat gempa kuat mengguncang, Hafis sedang digendong neneknya di dalam rumahnya Desa Blang Mancung, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah. Saat hendak lari keluar, tiba-tiba rumah ambruk dan sang nenek hanya bisa mencapai teras rumah.
Keduanya segera tertimpa atap teras dan darah segar muncrat dari kepala mereka. “Begitu gempa, rumah langsung ambruk. Gempa sangat kuat sekali hentak langsung merobohkan rumah,” kata Fitriani.
Saat itu, dia sedang berada di rumah tetangga yang tak begitu jauh. Segera Fitriani berlari pulang mencari buah hatinya. Ia dan suaminya Rahmadi, 26, mendapati anak mereka telah bersimbah darah dalam gendongan neneknya yang juga menderita luka parah di kepala. Sang nenek hingga kini masih dirawat di RSU Manyang Kute.
Dalam kepanikan, Rahmadi memacu sepeda motor. Fitriani duduk di belakang sambil menggendong buah cinta mereka yang terus mengeluarkan darah di kepala. Puluhan kilometer mereka tempuh jalan yang di beberapa lokasi terjadi longsor agar bisa tiba di RSU Manyang Kute.
“Saya hanya berdoa kepada Allah agar menyelamatkan anak kami. Saya benar-benar sedih,” kata Fitriani dengan mata sembab.
Setelah tiba di RSU Manyang Kute, ternyata Hafis tak bisa ditangani secara maksimal karena menurut dokter, tulang kepalanya bengkok, telah masuk ke otak. Lalu, Rabu siang, diputuskan untuk dirujuk ke RSUZA di Banda Aceh untuk dioperasi.
“Saya berharap anak saya bisa segera sembuh sehingga kami dapat pulang ke desa. Rumah kami sudah hancur. Tak tahu bagaimana nasib saudara-saudara saya di sana. Saya ingin segera berkumpul bersama anggota keluarga lain meski rumah kami telah hancur,” katanya.
Angga, 4, sesekali menangis. Bagian kanan kepalanya diperban. Dia juga korban yang dievakuasi ke RSUZA karena bagian kepalanya terbentur reruntuhan rumah di Desa Blang Mancung.
Erni Listiani, 24, menceritakan saat gempa anaknya sedang bermain di dalam rumah, sementara dia berada di halaman. “Saya berusaha lari ke rumah untuk mengambil Angga, tapi tidak bisa karena rumah langsung ambruk begitu gempa mengguncang,” katanya.
Dibantu beberapa tetangganya, Erni berusaha mencari Angga di antara puing rumah yang roboh. Perasaannya baru lega saat menemukan Angga yang menangis dengan kepala berlumuran darah.
“Angga diselamatkan oleh anak tetangga yang berhasil masuk ke reruntuhan rumah melalui celah jendela. Syukur anak saya selamat meski mengalami luka parah di kepala,” katanya.
Kisah nestapa hampir sama juga dialami Ali Zuriansyah, 4, yang juga dievakuasi ke Banda Aceh.
Menurut ibunya, Supari, saat gempa terjadi, Ali sedang menonton televisi bersama ketiga saudara kandungnya yang juga masih kecil. “Saat gempa saudaranya berhasil keluar. Sedangkan Ali terjebak di dalam,” kata Supari, yang juga warga Blang Mancung.
Ketika gempa menggucang, Supari sedang berada di kebun yang tak begitu jauh dari rumah. “Setelah gempa, saya segera pulang. Saya hanya mendapati rumah telah rata tanah,” katanya.
Dibantu saudaranya, Supari mencari Ali di antara puing rumah. Ali ditemukan telungkup. Bajunya basah darah yang terus mengucur dari kepalanya.
Melihat kondisi Ali tidak sadarkan diri, Supari melarikan anaknya ke Puskesmas Ketol. Karena tak bisa ditangani di Puskesmas, Ali dilarikan ke Rumah Sakit Manyang Kute Bener Meriah. Karena mengalami luka parah di bagian kepala, akhirnya dia dirujuk ke RSUZA Banda Aceh.
Sofi Az-Zahra, 5, juga dievakuasi ke RSUZA, Kamis sore, karena mengalami luka parah di bagian kepala akibat tertimpa rumah yang ambruk. Jumat dinihari, bayi asal Desa Kampung Baru, Kecamatan Takengon Barat, Aceh Tengah, itu akhirnya menghembus nafas terakhir saat dalam penanganan medis.
“Saat dibawa kemari, Sofi dalam kondisi koma. Akhirnya Jumat dinihari, dia meninggal dunia,” kata seorang petugas medis di Unit Gawat Darurat RSUZA.
Nasib sama juga dialami lima anak-anak yang sedang mengaji dan bermain di Masjid Blang Mancung. Mereka meninggal dunia akibat tertimba bangunan masjid berlantai dua yang ambruk. Kelima korban adalah Doni, 12, Putra, 16, Dirman, 16, Fadhil, 5 dan Jihan, 5.
Menurut data dari relawan di Aceh Tengah dan Bener Meriah, hampir setengah korban tewas adalah bayi dan anak-anak karena ketika gempa menggucang mereka sedang berada di dalam rumah sehingga tak sempat menyelamatkan diri.[Acehkita.com]
- 0 komentar

Tarung Layang Berubah Jadi Petaka

KETOL (ACEH TENGAH) | ACEHKITA.COM – Tarung layang-layang di atap beton masjid itu terhenti saat guncangan kuat menghentak Blang Mancung. Masjid Babussalihin berguncang hebat. Sepuluh anak-anak yang tengah asyik bermain layang-layang lari kucar-kacir.
Agus Rianda sedang diobati di Posko Kesehatan Gampong Blang Mancung, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, Kamis (4 Juli 2013). Lima rekannya yang sedang bermain layang-layang tewas setelah masjid desa itu ambruk akibat gempa, Selasa lalu. [RADZIE/ACEHKITA]
Agus Rianda sedang diobati di Posko Kesehatan Gampong Blang Mancung, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, Kamis (4 Juli 2013). Lima rekannya yang sedang bermain layang-layang tewas setelah masjid desa itu ambruk akibat gempa, Selasa lalu. [RADZIE/ACEHKITA]
Belum lagi langkah mereka tiba di tangga, bangunan masjid runtuh seketika. Anak-anak ikut terjatuh bersama reruntuhan masjid. Agus Rianda, 12 tahun, salah satu di antara mereka. Dia jatuh di antara puing-puing beton masjid yang sedang dalam proses pembangunan. Tangan kirinya tertimpa beton.
Gempa berkekuatan 6,2 Skala Richter yang mengguncang Aceh, Selasa lalu, merobohkan masjid itu. Pusat gempa itu di Bener Meriah dengan kedalaman 10 kilometer. Gempa kuat menewaskan puluhan orang dan ratusan lainnya mengalami luka-luka karena tertimpa bangunan rumah yang roboh. Belasan ribu warga Bener Meriah dan Aceh Tengah kehilangan tempat tinggal.
Di samping kanannya, Agus mendapati seorang temannya, Doni bersimbah darah. Kepalanya bocor. Darah segar terus mengalir. “Doni, Doni, bangun,” Agus memanggil. Tak ada jawaban. Lalu, Agus menarik tangan kirinya yang terhimpit beton dan batu.
Tak berapa lama, dia mendengar seorang perempuan, Zainabon, memanggil nama anaknya, Fadhil. Perempuan itu menanyakan nasib Fadhil pada Agus, yang berada di antara puing-puing bangunan masjid tersebut.
“Tidak ada, Bu,” kata Agus.
Zainabon lantas menyuruh Agus keluar melalui sebuah lubang berukuran 40 sentimeter. “Saya keluar melalui lubang dengan tangan berdarah,” ujarnya kepada acehkita yang menemuinya, Kamis lalu.
Di luar, dia mendapati Aditya, 7 tahun, buntung kaki. Di sekelilingnya, dia menemukan masjid telah rata dengan tanah. Anehnya, Agus tak merasakan sakit atau nyeri pada luka sikunya.
Dia bergegas menjumpai ibu dan neneknya yang tengah berada di tempat kenduri. Di sana, ia hanya bertemu neneknya, Ngatemi, 45 tahun.
Ngatemi membawa Agus ke Puskesmas di desa pedalaman Kecamatan Ketol itu. Sayang, di sana Ngatemi tidak mendapati siapa-siapa, selain bidan yang terpana melihat rumahnya telah rata tanah.
Hingga sore, luka Agus tak juga terobati. Baru sekitar pukul 17.00 WIB, dia membawa Agus ke Lampahan, Kecamatan Timang Gajah, berjarak sekitar 25 kilometer kampungnya. Di sana, luka di siku Agus dijahit enam kali.
Lima teman Agus yang ikut bermain layang, meninggal dunia: Doni, Dirman, Putra, Fadhil, dan Jihan. Agus merasa beruntung selamat dari petaka itu.
Sebelum bumi mengguncang, Agus melihat teman-temannya bermain layang-layang di atas atap masjid. Ia yang biasanya bermain bola kaki, siang itu, sekitar pukul 14.00 WIB ikut tergiur bergabung dengan teman-teman sebaya. Namun, Agus tak punya layang. Ia hanya menonton Doni, menerbangkan layang-layang.
Menurut Agus, siang itu mereka sangat terhibur dengan atraksi layang aneka warna di langit Blang Mancung. Ada enam layangan yang mereka terbangkan siang itu. Satu layang terputus dan lenyap. Tapi itu tidak menghilangkan keceriaan mereka bermain layang-layang.
Bagi Nurmiati dan Ngatemi, Agus selamat dari masjid runtuh bak mukzijat. “Saya menangis terus mengingat cucu saya selamat,” kata Ngatemi saat dijumpai acehkita di rumahnya yang berkonstruksi kayu.
“Ini anugerah terbesar diberikan Allah untuk keluarga kami. Saya berpikir sudah tidak bisa melihat Agus lagi.”
Ia tak percaya Agus bisa selamat dari kejadian di luar akal sehat itu. “Aku heran kok cucuku selamat. Terimakasih Tuhan,” sebutnya. Ia mengaku terus menerus menangis saat proses evakuasi lima korban meninggal di masjid itu.
“Ini kayak dalam mimpi,” kenang Agus, bocah yang baru saja diterima di SMP Negeri 12 Aceh Tengah. “Alhamdulillah, saya selamat dan bisa sekolah lagi. Tapi saya sedih, banyak kawan saya yang meninggal. Saya kehilangan kawan main.”
“Kasihan Aditya, dia tak punya kaki lagi,” ujarnya lagi, sambil berusaha menahan tangis atas kepergian teman-teman sepermainannya.[acehkita.com]
- 0 komentar

Tenggelamnya Kampung Kami

SEREMPAH (ACEH TENGAH) | ACEHKITA.COM – Di pelukan saudaranya, Fatimah menangis. “Ke mana aku harus pergi,” jeritnya. Saudaranya itu terus berupaya menenangkan Fatimah saat menyaksikan sebagian kampungnya telah hilang, lenyap akibat gempa 6,2 Skala Richter yang mengguncang Aceh pada Selasa, 2 Juli lalu.
Fatimah (dua dari kiri) tak mampu menahan tangis dalam pelukan saudaranya saat melihat kampungnya yang hancur akibat gempa 6,2 Skala Richter Selasa lalu di Kampung Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, Jumat (5 Juli 2013). [RADZIE/ACEHKITA]
Fatimah (dua dari kiri) tak mampu menahan tangis dalam pelukan saudaranya saat melihat kampungnya yang hancur akibat gempa 6,2 Skala Richter Selasa lalu di Kampung Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, Jumat (5 Juli 2013). [RADZIE/ACEHKITA]
“Bagaimana aku membiayai sekolah anak-anakku,” perempuan sembilan anak itu terus menangis. Lagi-lagi, suadaranya berupaya menenangkan Fatimah, yang mengenakan pakaian gelap.
Bukan tanpa alasan ia histeris. Rumah abang kandungnya, Daud Beureu’eh, tak berbekas. Bukan hanya tanpa meninggalkan puing-puing, tanah tempat rumah abangnya itu pun kini tak berjejak, setelah sebagian Desa Serempah, Kecamatan Ketol, Aceh Tengah, ambrol ditelan bumi.
Gempa siang Selasa lalu yang getarannya dirasakan hampir seluruh wilayah Aceh, bahkan hingga Malaysia, itu telah menenggelamkan perkampungan pedalaman Aceh Tengah tersebut. Sedikitnya 12 rumah –termasuk klinik Polindes— tenggelam bersama runtuhnya tanah perbukitan yang memang labil.
Fatimah masih ingat betul petaka siang itu. Ia bersama keluarganya duduk santai di rumah. Pada pukul 14.37 WIB, bumi berguncang. Fatimah tak bisa beranjak. Hentakan itu disertai suara gemuruh. Orang-orang menjerit. Ia berupaya keluar dan melemparkan pandangan ke depan rumahnya. Betapa terkejutnya, tanah di depan rumah amblas. Rumah abangnya seketika ambrol. Ia shock. Pasalnya, di dalam rumah tersebut terdapat abang kandung dan keponakannya.
“Saya berlari ke depan dan melihat ponakan saya menjerit meminta tolong,” kenang Fatimah. Tak banyak bisa dilakukannya. Ia hanya menyaksikan rumah dan keluarga abang kandungnya ditelan bumi.
“Tapi saya bersyukur, Alhamdulillah, semuanya selamat,” kata dia. “Mereka hanya mengalami luka-luka dan cidera.”
Rumah Fatimah sendiri tidak mengalami kerusakan parah. Sebab, rumahnya yang terletak di pinggir jalan desa terbuat dari kayu. Ia beruntung, rumahnya termasuk salah satu bangunan yang tersisa di kampung itu. Setelah melihat keluarganya tenggelam, ia bersama anak-anaknya melarikan diri ke atas bukit di belakang rumah. Itu pun, tanahnya mengalami retak-retak.
***
PANDANGAN Mariati hampa. “Rumahku di situ,” tunjuknya. Ia menunjuk lokasi tanah longsor yang berada di depannya. Di tempat yang ditunjuk itu, sekitar 200 meter tanah amblas. Mariati bersyukur bisa menyelamatkan diri dari marabahaya. “Lakiku (suami) sudah tidak ada lagi,” ujarnya.
Bencana gempa dan tanah longsor di kampungnya merenggut nyawa suaminya, Abdul Karim, 45 tahun, yang saat itu tengah memperbaiki rumah tetangga tak jauh dari rumahnya. Mariati ingat betul ketika bumi bergetar hebat. Ia tengah duduk di rumahnya besama anak-anak. Sekali hentakan kuat, tanah pertapakan rumahnya merongsot ke bawah. Ia berupaya meraih anaknya.
“Tanah terus turun dan rumah kami habis ke bawah,” ujarya. “Kugendong dua anakku dan lari ke sawah bersama orang-orang kampung.”
Gempa yang berpusat tak jauh dari Bener Meriah itu menyebabkan Mariati kehilangan suami, rumah, dan dua keponakannya. Ia juga masih ingat saat suaminya ditemukan setengah tertimbun tanah. “Di leher suami saya mengeluarkan banyak darah. Ia juga patah punggung,” kata dia.
Bersama orang kampungnya, ia mengevakuasi suaminya yang saat itu masih bernyawa. “Suami saya luka parah. Saat dibawa ke rumah, ia tanya kenapa dirinya tidak diobati ke dokter,” kenangnya.
Mengenang peristiwa itu, Mariati menitikkan air mata. Ia bilang, jika saja kampungya tidak terisolasi, “Mungkin nyawa suami saya masih bisa ditolong.”
Gempa darat telah meluluhlantakkan Serempah. Tanah sepanjang 200 meter mengalami longsor yang menyebabkan 12 rumah hancur. Pantauan acehkita di lokasi, puing-puing rumah terlempar sekitar 200 meter dari letak dasarnya. Sebuah polindes, terlihat telah berada di dasar sungai. 12 penduduknya hilang. Lima di antaranya telah ditemukan tak bernyawa. Sedangkan tujuh lainnya, masih dinyatakan hilang.
Personel TNI, polisi, dan tim Badan Search and Rescue baru bisa menjangkau daerah itu, Jumat pagi. Dua peleton –sekitar 60 personel TNI dari Kompi Senapan C Yonif 144 Satria Musara dikerahkan untuk melakukan proses pencarian korban. Mereka dibantu tim SAR dan personel polisi. Sejak pukul 08.30 WIB Jumat, tim evakuasi menyusuri setiap jengkal tanah longsor. Walhasil, mereka berhasil menemukan jasad Lilis, 11 tahun. Bocah itu tewas tertimbun tanah longsor.
“Hanya terlihat kepalanya saja di pinggir sungai,” kata Sersan Satu Andra Fahlevi, petugas TNI yang terlibat pencarian korban.
Andra menyebutkan, proses pencarian korban akan dilakukan hingga 17 Juli, selama proses tanggap darurat yang ditetapkan pemerintah. “Kami kesulitan mencari korban karena medan yang berat, bukit terjal dan rawan longsor. Air sungainya juga sangat deras,” ujarnya.
Pascagempa, Serempah tak lagi ramah untuk dihuni. Padahal, kampung itu sangat subur. Serempah menawarkan pemandangan alam yang indah. Ia terletak di atas jejeran pegunungan Bukit Barisan. Sehari-hari, warga di sana menggantungkan hidup pada berkebun dan bertani.
Untuk menjangkau daerah ini, kita harus melewati jalan sempit, dengan naik turun tanjakan terjal. Jalannya tak mulus, hanya aspal bopeng. Jika hujan mengguyur, jalanan becek dan licin. Kiri kanannya adalah tebing curam dan lembah terjal. Longsor mengintai kala hujan mengguyur.
Pascagempa, Serempah menjadi sejarah kelam. Ia bukan lagi kampung yang nyaman untuk didiami. Bupati Aceh Tengah Nasaruddin menyebutkan, Serempah tak lagi layak huni. Penduduknya, yang kini mengungsi di Desa Bernung, Kecamatan Ketol, berjarak sekitar 7 kilometer dari Serempah, akan direlokasi. Namun, belum diketahui ke mana mereka akan dipindahkan.
Fatimah mengakui Serempah tak lagi cocok untuk dihuni. “Kami tidak mau lagi tinggal di sini. Takut,” katanya. “Terserah kami mau dipindahkan ke mana.”
Gempa siang itu menyisakan trauma bagi Mariati, Fatimah dan penduduk kampung pedalaman itu. “Kalau ada suara gemuruh motor saja saya suka takut,” ujar Mariati, yang harus merelakan sang suami tercinta pergi untuk selamanya.[acehkita.com]
- 0 komentar

Dayah Al Aziziyah, Markas Penghapus Dendam Konflik

AZAN zuhur baru saja berkumandang saat Lukman bergegas menuju ke tempat wudhu. Ia kemudian menuju sebuah balai kayu untuk melaksanakan salat zuhur berjemaah. Usai salat yang dilanjutkan dengan zikir dan doa, Lukman bersama temannya menyebar ke beberapa balai untuk mengikuti pengajian.

Remaja 19 tahun itu merupakan satu dari 180 santri yang mondok di pesantren Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, Lueng Bata, Banda Aceh. “Selama puasa, kami mengaji usai salat zuhur dan malam,” kata Lukman kepada acehkita.com akhir Juli 2013.

Lukman sudah delapan tahun mondok di pesantren yang sebelumnya dikhususkan untuk korban konflik ini. Pemuda asal Alue Papuen, Kecamatan Nisam, Aceh Utara, ini merupakan satu dari puluhan anak-anak korban konflik yang ada di pesantren ini.

Ia ingat betul peristiwa yang menewaskan ayahnya, Usman. “Ayah saya ditembak saat sedang salat magrib di sebuah meunasah (surau) pada tahun 2000,” jelasnya. Ayahnya ditembak pasukan pemerintah.

Berselang empat tahun setelah ayahnya meninggal, Lukman kemudian diajak oleh seseorang untuk tinggal di Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah –yang artinya pusat sentral perdamaian. Bukan tanpa alasan Lukman mondok di pesantren ini. Saat konflik masih berkecamuk, anak korban konflik merasa tidak aman hidup di kampung halamannya.

“Saya memilih mondok di sini karena di kampung waktu itu tidak aman. Apalagi jika ada salah seorang anggota keluarga merupakan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM),” kata Lukman.

Saat pertama mondok, Lukman yang masih kelas IV sekolah dasar ditempatkan satu kamar dengan anak seorang Brimob yang juga korban konflik Aceh, yang ayahnya dibunuh pasukan gerilyawan. Mulanya tak mudah memupus kebencian terhadap aparat pada diri Lukman. Bahkan, Ia kerab berantam dengan teman sekamarnya kala itu. Namun lama kelamaan, mereka saling memahami. Rasa benci dan dendam yang sebelumnya membara dalam diri Lukman, akhirnya hilang.

“Sekarang saya tidak benci lagi sama TNI dan Brimob. Kami di sini sekarang sudah berteman dengan anak-anak korban konflik lainnya,” jelas Lukman.

Selama di pesantren, Lukman bersama puluhan santri lainnya diwajibkan untuk salat lima waktu secara berjemaah. Setelah salat, mereka harus mengikuti zikir, doa dan melanjutkan pengajian rutin. Mereka juga diwajibkan untuk salat tahajud pada malam hari.

“Dengan salat tahajud jiwa mereka bisa tenang, mereka bisa merenung tentang diri mereka,” kata Teungku Bulqaini Tanjongan, pemimpin Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah.

Selain itu, santri juga memiliki serangkaian kegiatan ekstrakulikuler seperti belajar zikir barzanji, tarian sufi khas Aceh Rabbani Wahid, olahraga dan lainnya.

***

Usai salat zuhur, Teungku Bulqaini Tanjongan, pemimpin Dayah Markaz Al Ishlah Al Aziziyah, melanjutkan salat sunat dua rakaat dan kemudian membaca zikir dan doa. Sejurus kemudian, ia mulai mengajari santri tentang ilmu agama.

Pada mulanya, dayah yang ia didirikan pada 2002 silam itu hanya dikhususkan untuk menampung anak-anak yang kehilangan orangtuanya akibat konflik antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Tak hanya anak warga sipil yang ditampung, namun anak kedua belah pihak yang bertikai juga turut ditampung.

“Saya mendirikan pesantren ini untuk menghilangkan rasa dendam di dalam benak anak-anak korban konflik,” kata Bulqaini.

Konflik bersenjata yang terjadi di Aceh telah merenggut banyak nyawa. Ribuan anak kelihangan orang tua dan orang-orang terdekatnya. Tentu saja, anak-anak ini masih menyimpan dendam terhadap orang-orang yang telah membunuh orang tua mereka. Menurut Bulqaini, dendam adalah masalah serius di Aceh. Jika dendam ini tak bisa dihilangkan, konflik baru akan pecah di bumi Serambi Mekkah.

“Tinggal kita sulut anak-anak ini, perang akan terjadi kembali di Aceh. Karena rata-rata anak ini masih menyimpan dendam. Tapi bukan itu yang kita inginkan,” jelas mantan ketua Rabithah Thaliban Aceh ini.

Menurut Bulqaini, dendam dapat diatasi dengan dua hal yaitu ilmu agama dan ilmu umum. Di pesantren yang dipimpinnya itu, para santri diajarkan ilmu agama dengan metodenya mengadopsi gaya pesantren salafi. Sedangkan untuk sekolah, santri yang masih duduk di bangku sekolah dasar dimasukkan ke sekolah terdekat dan mereka yang sudah di jenjang sekolah menengah akan disekolahkan di Madrasah Tsanawiyah atau Aliyah terdekat. Semuanya gratis, ditanggung dayah.

“Selesai Aliyah mereka ada yang melanjutkan kuliah di beberapa universitas di Aceh,” ungkapnya.

Bulqaini membiayai pendidikan dan kehidupan anak-anak ini dari sumbangan orang-orang dermawan. “Biaya di sini kadang ada kadang tidak,” ujarnya.

Teungku Bulqaini bercerita tentang ikhwal berdirinya pesantren ini. Ketika konflik memanas sekitar tahun 2000, ia masih menjabat sebagai ketua Rabithah Thaliban Aceh, sebuah organisasi kemanusiaan yang digerakkan para santri, untuk membantu advokasi hak-hak korban.

Suatu ketika, ia berkunjung ke tempat penampungan pengungsian korban konflik di kawasan Beureunuen, Pidie. Di sana, ia berbaur dengan anak-anak korban konflik. Sejurus kemudian, ia memperlihatkan sebuah Tabloid ADIL yang covernya memuat gambar seorang komandan sebuah pasukan elit di negara ini.

“Kemudian saya bertanya sama mereka ‘siapa yang di foto ini?’” kenang pria yang disapa anak didiknya dengan panggilan Tu ini.

Jawaban yang didengarnya cukup mengagetkan. Serentak anak-anak itu menjawab, “Itu pai, (sebutan untuk TNI semasa masih konfllik –red). Orang yang telah membunuh orang tua kami.”

Mendengar jawaban itu, bumi yang dipijaknya serasa gempa. Ia terkejut bukan kepalang. Hatinya saat itu sedih mengingat nasib Aceh masa depan.

Bukan tanpa alasan anak-anak itu mengatakan demikian. Di cover tabloid itu, jendral itu mengenakan seragam TNI. Beberapa anak-anak di kamp pengungsian itu masih trauma dengan tentara.

“Setelah mendengar jawaban dari mereka, saya sedih. Mengingat potensi pertumpahan darah sangat besar ke depan jika ini tidak segera diatasi. Karena dendam di Aceh sangat besar,” jelasnya.

Setelah pulang dari sana, Teungku Bulqaini bertekad mendirikan pesantren dengan tujuan untuk memutuskan mata rantai dendam di dalam dada anak-anak korban konflik ini. “Saya ingin anak-anak ini tidak lagi benci terhadap orang-orang yang telah membunuh orang tua mereka,” ungkapnya.

Tekad Bulqaini untuk mendirikan pesantren ini terwujud selepas ia pulang dari Amerika serikat pada 2001. Ia bertandang ke negeri Abang Sam untuk memenuhi undangan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Sepulang dari sana, ia merogoh simpanannya sekitar Rp40 juta untuk membeli sepetak tanah rawa di Lueng Bata. Pada tahun 2002, pembangunan pesantren ini baru dilakukan.

Setelah pesantren itu berdiri, ia kemudian mulai mengumpulkan anak-anak yang orang tuanya dibunuh oleh TNI/Polri maupun GAM. Pada saat pertama didirikan, bangunan di pesantren ini hanya terbuat dari kayu. Bahkan ada sebagian kayu yang digunakan untuk pesantren ini merupakan sumbangan dari seorang pendeta.

“Saat itu, pendeta itu menghubungi saya dan menawarkan sumbangan berupa kayu bekas pembongkaran sekolah Methodis,” ungkapnya.

Awalnya, tak mudah bagi Teungku Bulqaini untuk meleburkan “dua dendam” anak-anak korban konflik ini. Namun, dengan mengajarkan ilmu agama, lama kelamaan dendam yang ada di benak anak-anak ini hilang.

“Dengan agama semua beres. Agama ini bisa menyatukan anak korban konflik sehingga tidak ada lagi rasa dendam terhadap orang-orang yang berbeda pandangan dengan orang tua mereka,” jelasnya.

Bulqaini punya trik khusus untuk menyatukan anak-anak ini. Selain dengan ilmu agama, mereka juga ditempatkan satu kamar dengan anak-anak yang orang tuanya beda pandangan. “Di sini, anak GAM saya tempatkan sama anak Brimob maupun TNI,” kata Teungku Bulqaini.

Selain itu, trik yang digunakan Bulqaini untuk memutuskan dendam di benak mereka adalah dengan cara memberi wawasan kepada mereka di sela-sela waktu luang. Bahkan, kadang Bulqaini meminta anak didiknya itu untuk memijit seluruh badannya. Di saat itulah ia kemudian meminta kepada anak didiknya untuk menceritakan peristiwa yang dialami orang tuanya.

Mendengar kisah dari anak-anak itu, Bulqaini kerap bercucuran air mata. “Saat saya minta mereka bercerita, seluruh lampu saya padamkan. Kemudian mereka bercerita secara terbuka tentang peristiwa yang dialami oleh orang tua mereka,” jelasnya.

Bahkan, kata Bulqaini, ada seorang anak yang membeberkan nama-nama orang yang telah membunuh ibunya. Semuanya, ada ada sekitar 15 orang. Anak itu kemudian bercita-cita ingin menjadi tentara untuk membalas dendam kematian ibunya. Bulqaini sangat mendukung cita-cita anak ini. Menurutnya anak-anak yang sedang bercerita dengan serius tidak boleh dibantah.

“Kita harus support dulu terhadap anak yang membenci orang yang telah membunuh orang tuanya. Tapi setelah itu baru kita masuk tentang agama bahwa dosa orang tua kamu ditanggung oleh orang yang telah membunuh orang tau kamu,” ujarnya.

Pascatsunami menerjang Aceh 2004 silam, Markaz Al Ishlah Al Aziziyah dibuka untuk umum. Kini, pesantren itu menampung anak-anak korban konflik, yatim tsunami dan anak yatim muallaf.

Pun demikian, Bulqaini masih menyimpan impian yang belum terwujud di antaranya yaitu ingin mendirikan perguruan tinggi agama di komplek pesantren. “Bantuan untuk mendirikan perguruan tinggi ini sudah ada. Tapi yang menjadi masalah sekarang adalah tanahnya belum ada,” ungkapnya.

***

Lukman sekarang mondok di pesantren ini bersama adik kandungnya, Saridin, 12 tahun. Kini, ia yang baru saja lulus SMK Negeri 2 Banda Aceh jurusan kelistrikan itu tak lagi berpikir soal balas dendam terhadap orang yang telah mengakhiri hidup ayahnya. Ia kini hanya sibuk mengabdi di dayah yang sudah membesarkannya dan membuka wawasannya tentang ilmu agama dan ilmu hidup.

“Biasanya, siswa yang sudah lulus sekolah harus mengabdi dulu di sini selama dua tahun. Nanti setelah itu, baru saya pikir apakah melanjutkan kuliah atau bekerja,” ungkap Lukman.

Teungku Bulqaini pun tak henti-hentinya memberi wawasan tentang ilmu agama dan ilmu umum untuk mereka. Ia berharap kelak, tak ada lagi perang baru di Aceh akibat dendam konflik ini.

“Cara satu-satunya untuk mengatasi konflik baru adalah dengan memberi dua ilmu itu. Kalau mereka sudah saling kenal, bertemu setiap hari dan bermain bersama, Insya Allah mereka akan berdamai,” kata dia. [acehkita.com]
- 0 komentar

Zakaria, Si Pandai Besi dari Gampong Blang Seupeng

Duduk mengawasi tumpukan besi dan plat dihadapannya, Zakaria, seorang pandai besi yang disambangi oleh The Globe Journal, Senin, 19 Agustus 2013, menjelaskan satu persatu alat-alat yang ia produksi. Dia berbagi cerita di sebuah balai sederhana yang terbuat dari dahan bambu dan beratapkan daun rumbia.
Tampak beberapa orang berdatangan membawa parang dan sabit. Benda-benda tersebut, dibakar dan dipertajam oleh Zakaria. Para pelangganya menunggu dan duduk di bangku bambu di bawah pohon-pohon melinjo yang rindang.
“Saya membuat tembilang, linggis, skrop, bunga pagar, dan memperbaiki mata sabit serta parang,” kata lelaki kelahiran Gampong Blang Seupeng, 30 Desember, 1961 itu.
Zakaria adalah salah satu pandai besi yang ada di Gampong Seupeng, Kecamatan Peukan Baro, Pidie. Profesi itu, kata dia, telah ia lakoni sejak Sekolah Dasar dan merupakan pekerjaan turun-temurun keluarganya.
“Dulu sepulang sekolah saya bantu-bantu orang tua. Alah bisa karena biasa. Hingga hari ini saya masih meneruskan profesi ini,” kata dia sambil meneruskan pekerjaannya.
Memproduksi alat-alat, seperti tembilang, linggis, dan skrop, ujar Zakaria, membutuhkan bahan baku yang berupa besi atau plat, arang batok kelapa. Awalnya, besi yang akan digunakan, dipanaskan dengan arang dari batok kelapa selama sepuluh menit. Lalu, dibentuk dengan menggunakan alat pembentuk khusus. Dan setelah terbentuk, akhirnya alat-alat tersebut ditajamkan dengan grenda.
Menurutnya, usaha yang telah ia lakoni tersebut, mampu untuk menopang kehidupan dirinya dan keluarga. Barang-barang yang ia produksi dibeli oleh agen-agen dan dipasarkan ke Banda Aceh hingga ke Medan, Sumatera Utara.
“Plat, saya beli di toko bangunan, seharga Rp 700 ribu. Itu biasanya untuk tiga hari kerja. Nah, kalau besi-besi bekas, saya beli dari agen-agen besi bekas. Untuk setiap alat yang saya produksi, saya menjualnya seharga Rp 50 ribu. Itu habis biasanya diborong ama agen. Seluruh Aceh, ada barang-barang yang saya produksi. Lumayanlah untuk penghasilan saya, setidaknya cukup untuk keluarga,” katanya.
***
Di sudut atas balai tempat kerjanya, terpampang sebuah papan nama, berukuran kecil. Di papan tersebut tertulis: Pemerintah Aceh; Dinas Sosial dan Tenaga Kerja, Program Pemberdayaan Fakir Miskin. Kelompok: Abee Dapu, Blang Seupeng, Peukan Pidie, Pidie, 2010.
Ditanyai mengenai papan tersebut, Zakaria hanya tersenyum tipis dan berkata, “Itu sudah lama. 2010 lalu. Dibantu cuma sekali, per kelompok diberi Rp 10 juta. Satu kelompok terdiri dari 10 pandai besi,” kata Zakaria menerangkan. “Sekarang tidak ada lagi.”