"Andai Ayah bisa dibeli, aku ingin ia kembali kesini melihat nasib kami, nasib anak pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang telah dilupakan oleh mereka, oleh sahabat-sahabat Ayah kala masih mengangkat senjata. Kala itu Ayah sangat dihormati oleh mereka, Ayah adalah kepala Kepolisian GAM wilayah Matang Teungoh. Seolah kami ini bukan bagian dari mereka ketika Ayah telah tiada, padahal Ayah menaruh nyawa saat memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Hingga nyawa Ayah pun melayang ditembak musuh dari pasukan TNI yang sangat kejam memberantas pasukan bentukan Hasan Tiro untuk memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari NKRI kala itu"
Pasukan GAM dari wilayah Samudra Pasee memang dikenal sangat tangguh, salah satunya Jamaluddin AR Bin Abu Rani, teman-teman seperjuangan memanggilnya Din Rani, beliau gugur dalam peperangan pada 23 November 2000. Benar, inilah Ayah kandung Hendra (28 tahun) yang menceritakan kehidupan keluarganya pasca Aceh melapangkan dadanya untuk duduk satu meja, menghilangkan perbedaan dan membicarakan masa depan yang terbaik bagi Aceh dan nusantara ini di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 silam.
The Globe Journal tiba di Gampong Cibrek Kecamatan Tanah Luas pedalaman Aceh Utara, sekira pukul 16.00 WIB sore kemarin, Rabu (14/8/2013). Hendra yang didampingi Ibunya Fatimah (61 tahun) menyambut hangat kedatangan kami ke kediamannya, mengapa tidak? Mereka memang menunggu kedatangan media untuk mencurahkan isi hatinya kepada Pemerintah dan rekan seperjuangan suaminya untuk memperdulikan nasib janda dan yatim korban konflik. “Bantuan yang kami terima cuma waktu Meugang aja, itupun Cuma 150 ribu atau 200 ribu itupun kan setahun sekali,” katanya diawal pertanyaan.
Didepan gubuk 3x5 meter, penulis dipersilahkan duduk. Awalnya penulis mengira gubuk tersebut hanya sebuah kios untuk berjualan, namun didalam gubuk ini terdapat 2 anak manusia yang sedang menonton televisi, mereka adalah Muhammad Reza (20) dan Lia Nursa’dah(16) keduanya adalah adiknya Hendra, buah pernikahan Jamaluddin AR dengan Fatimah. Penulis sempat meneteskan air mata ketika mendengar curahan hati Fatimah yang didampingi Hendra, mereka seolah terabaikan dalam hal penerimaan bantuan untuk korban konflik, tercatat sudah 5 kali mereka memasukkan proposal untuk pembangunan rumah mereka, seperti halnya korban konflik lain yang rumahnya dibangun dari hasil bantuan untuk korban konflik.
Tangisan memang tak dapat dibendung ketika keduanya bercerita tentang rumah, ternyata rumah yang diurus melalui proposal tersebut telah diberikan namun tidak sampai ke tangan mereka, “pengurusan rumah tersebut sudah selesai, rumah pun telah disalurkan namun tidak sampai ke kami,” ungkap Hendra yang diangguk ibunya, Fatimah. Seraya menambahkan, “saya tahu siapa yang telah mengambil rumah kami, rumahnya besar, tapi yasudahlah kita serahkan kepada yang Maha Adil,” tambah Hendra yang matanya mulai berkaca-kaca.
Hendra seperti menaruh rasa dendam dan kebencian kepada Eks Kombatan, perjuangan Ayahnya sangat tidak dihargai ketika Aceh telah dipimpin oleh rekan-rekan Ayahnya dari pasukan perjuangan Aceh Merdeka, “Ketika saya berjumpa, mereka berpaling. Padahal dulu ketika perang mereka dirumah kami makan minumnya, mereka dulu cuma pemegang radio untuk memberikan informasi ke Ayah,” ujar Hendra ketika membicarakan seseorang Eks Kombatan anak buah ayahnya.
Mereka masih berharap bantuan pembangunan rumahnya, jangan hanya diiming-imingkan mendapatkan rumah namun tidak pernah kesampaian untuk merasakan kenikmatan dibawah pucuk pimpinan rekan Ayahnya yang dulu menenteng senjata demi perjuangannya memisahkan Aceh dari NKRI. “Kalau memang mau dikasih bantuan Rumah, Alhamdulillah. Kalaupun bantuannya dalam bentuk uang pasti juga kami akan membangun rumah,” ungkap Fatimah.
Hal yang sama juga dirasakan Nila Wati (47 tahun) isteri dari Tgk Nurdin, Tgk Nurdin dikenal dengan nama Tgk Din Keh yang menjabat sebagai Juru Penerangan GAM wilayah Pasee. Dua lembar Bendera Bintang Bulan masih terpasang pada tiang disebuah jembatan sebelum tiba dirumahnya yang berada di Gampong Manyang Matang Teungoeh, Tanah Luas, Aceh Utara. Tgk Din Keh sendiri belum ditemukan mayatnya yang dibunuh oleh Pasukan TNI pada 19 Desember 2004 lalu.
Nila Wati yang dikaruniani 6 orang anak dari buah pernikahannya dengan Tgk Din Keh, bercerita panjang lebar mengenai nasibnya sekarang. Dirinya sempat menjual sawah demi mencari keberadaan makam suaminya yang telah dibunuh saat Aceh masih dilanda kabut perang, namun tidak membuahkan hasil. Hingga saat ini mereka pun tidak tahu dimana keberadaan makam sang Juru Penerangan GAM yang sangat dihargai oleh pasukan di wilayah Pasee.
Sama halnya dengan keluarga almarhum Jamaluddin AR Bin Abu Rani, Nila Wati juga tidak pernah mendapatkan bantuan apapun, padahal menurut ceritanya, dirinya juga sempat mengurus rumah bantuan untuk korban konflik, namun rumah tersebut telah disalurkan tapi tidak sampai ke tangannya sehingga sampai saat ini dirinya masih harus membesarkan anak-anaknya di gubuk yang terbuat dari papan tersebut.
“Waktu masih perang, saya disini di depan rumah ini tiap hari harus mandi abu, disuruh guling-guling ditanah. Tidak sanggup memikirkan kalau Aceh masih konflik, tapi setelah damai kami juga merasakan pedihnya tinggal di Aceh,” ungkap Nila Wati terbata-bata. Seraya menambahkan, “Andai saja Tengku masih hidup, mungkin kehidupan kami tidak seperti ini,” tambahnya.
Hari semakin gelap, suara pengajian terdengar dari beberapa balai di gampong itu, penulis pamit pulang. Nila Wati berharap diujung pembicaraan. Janji damai itu mestinya tidak saja di atas kertas. “Semoga pintu hati mereka terbuka melihat nasib kami,” demikian isteri mantan Juru Penerangan. [theglobejournal.com]
0 komentar:
Posting Komentar