OLEH : ACEHKITA.COM
Raungan infrasonik membelah sunyi belantara. Bukan pertanda perang, melainkan riuh Po Meurah bercengkrama di sungai. Bulir air di antara semilir angin membasuh dedaunan.
Seakan bukan sekadar melepas gerah, gajah-gajah saling siram. Kawanan
ini dikenal dengan kelompok 13, sesuai jumlahnya. Sore terik itu,
jumlahnya bertambah.
Fahmi, Leader Conservasi Rescue Unit (CRU) Sarah Deu, kawasan Ulu
Masen, Aceh Jaya, menghitung jumlahnya sudah 14 ekor. Sejak awal bulan
lalu, bayi yang belum diketahui jenis kelamin, bergabung dalam kawanan.
”Saat itu kebetulan saya sedang berada di sungai dimana gajah-gajah
itu menghabiskan waktu untuk mandi, lalu saya memotret dan setelah
menyaksikan hasilnya ternyata jumlah mereka memang sudah bertambah,
dengan hadirnya bayi gajah,” jelas Fahmi, saat disambangi acehkita.com
di CRU Sarah Deu, pertengahan April lalu.
Sarah Deu sendiri ’medan perang’ antara manusia dan gajah paling
kesohor. Agar damai tercipta,” kita jadikan lahan konservasi, untuk
meminimalkan konflik,” jelas Fahmi.
Dari area menyeramkan, Sarah Deu disulap menjadi kawasan
menyenangkan. Kawasan ini dijadikan markas ’gajah polisi’, dilatih untuk
menghalau amuk gajah liar yang kerap melumat kebun warga.
Jelas manusia turut andil membuat gajah jadi berang. Agar adil, tak
hanya gajah yang dididik. Sarah Deu juga difungsikan sebagai ’taman
belajar’. ”Kawasan ini juga menjadi kawasan edukasi bagi warga untuk
menjaga lingkungannya,” kata Fahmi.
Sebenarnya, warga sekitar tak berhubungan langsung dengan gajah.
Namun aktifitas membuka lahan perkebunan yang terus menjorok ke dalam
hutan membuat gajah terusik. ”Karenanya kawasan konservasi didirikan
disini,” kata Fahmi.
Serupa gajah, warga juga dilatih menjadi ranger. Tugasnya
menjaga hutan. Menurut Fahmi, pihaknya juga mengajarkan masyarakat
memanfatkan hutan untuk peningkatan sumber ekonomi.”Misalnya bagaimana
menjadikan kotoran gajah sebagai pupuk biogas,” terang Fahmi.
Kini Fahmi dan rekan-rekannya memilki lima ekor gajah terlatih. Tiga
diantaranya menjadi pentolan seperti Ida, Suci dan Haris. Namun kelompok
lima ini, semuanya ’gajah polisi’. Sedikitnya tujuh mahot, alias pawang gajah disiagakan untuk melatih dan mendampingi.
”Setiap pagi gajah-gajah ini kita bawa ke hutan, dimana mereka bisa
menghabiskan waktunya di sana, dan ketika sore hari mereka kembali untuk
belajar, berlatih dan istirahat,” jelas Sofyan, sang mahot.
Bagi Sofyan, 30 tahun, mengawal gajah bukan hal baru. Pengalamannya menjadi mahot hampir 10 tahun, membuat Sofyan paham betul apa keinginan para gajah.
”Mereka hewan yang manis sebenarnya jika kita mau memahami
kehidupannya, buktinya gajah-gajah terlatih ini akan sangat menghibur
jika kita ada bersama mereka,” kata Sofyan
Menjadikan kawasan Sarah Deu sebagai wilayah konservasi merupakan
program perlindungan hutan yang dikelola Flora & Fauna International
(FFI) Aceh. Selain Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Besar dan Aceh Barat juga
menjadi target konservasi.
”Kita terus menyosialisasikan program ini, sehingga pemerintah
nantinya benar-benar akan mencanangkan kawasan Ulu Masen sebagai kawasan
yang harus dilindungi,” kata Fahmi.
Menurut Fahmi, pengusulan kawasan hutan Ulu Masen dimulai sejak tahun
2002. Kala itu, FFI telah menjalankan program di Aceh selama empat
tahun. Berdasarkan data yang dikumpulkan, bagian utara Aceh cukup syarat
memiliki kawasan konservasi.
Kegiatan program ini mulanya hanya fokus mengusung jenis Elephas maximus sumatranus (gajah sumatera) sebagai jenis utama (Flagship species) yang perlu dilindungi keberadaannya di habitat aslinya.
“Tapi saat ini tanpa meninggalkan jenis utama, tujuan pelestarian
Hutan Ulu Masen menjaga kesinambungan jasa lingkungan yang disediakan
untuk masyarakat Aceh, terutama penduduk lima kabupaten di sekitar
wilayah hutan ini,” tambah Fahmi.[][ACEHKITA.COM]
0 komentar:
Posting Komentar