OLEH : ACEHKITA.COM
Setelah lama menguras hutan, eks pasukan dan para pembalak
itu, kini beralih kerja menjadi penjaga Ulu Masen. Harapan keselamatan
gunung di bagian utara Aceh itu kini sebagaian berpangku di pundak
mereka.
***
***
MENGENAKAN kostum lengkap ala tentara, –tanpa senjata dengan carrier
menggunung– 18 anggota Jantho Ranger menempuh perjalan dalam kelebatan
hutan, sekitar satu bulan lalu. Dipimpin sang komandan, Mulyadi, mereka
mulai bergerak perlahan. Tujuan kali ini adalah patroli monitoring
hutan.
Perjalanan operasi hari itu tidak sia-sia. Setelah menempuh
perjalanan jauh dari Jantho, mereka berhasil memergoki pelaku perambahan
hutan di pegunungan Panca, Lembah Seulawah, sekitar 20 kilometer dari
Kota Jantho.
“Saat itu kita kasih pangarahan tentang akibat dari kerusakan hutan,
dan mereka menerima pengarahan kita dengan baik,” kata Mulyadi,
Komandan Jantho Ranger, yang dijumpai di Jantho, Sabtu pekan lalu.
Ranger, merupakan organisasi yang dibentuk Fauna & Flora
International (FFI) Aceh Programme, untuk menjaga, dan melindungi hutan
Aceh, khususnya Hutan Ulu Masen. Setiap bulannya, para ranger selalu
berpatroli monitoring hutan di wilayah kerja masing-masing.
“Kita rutin melakukannya di kawasan Hutan Jantho,” ujar Mulyadi.
Selain melakukan monitoring, Mulyadi bersama ‘pasukannya’, juga harus
menangani konflik satwa, yang belakangan sering terjadi di Aceh.
“Kami pernah turun ke Lhong saat konflik satwa, untuk mendata berapa korban, dan titik koordinat kejadian,” tambah mulyadi.
Pembentukan ranger diinisiasi sejak moratorium logging yang
dicanangkan oleh Pemerintah Aceh, 2007 silam. Mereka yang direkrut
adalah masyarakat wilayah kemukiman dari tempat ranger itu bekerja,
sehingga ranger yang dipilih dari masyarakat bisa bekerja kembali untuk
masyarakat.
“Kita mempekerjakan mereka yang bekas kombatan, pemuda, bisa juga
mantan logger (pembalak liar). Dalam hal ini kita juga mengajak polhut,
dan instansi pemerintah yang bertanggung jawab terhadap hutan,” kata
Matthew Linkie, Tehnical Manager FFI-Aceh, yang dijumpai dikantornya,
akhir November lalu.
Karena direkrut dari masyarakat, diharapkan para ranger bisa memberi
dampak positif secara langsung kepada masyarakat. Selama ini, kata
Linkie, apabila terjadi konflik satwa gajah, maka masyarakat akan
memburu gajah tersebut. Padahal, ada undang-undang yang melindungi
gajah, sebagai satwa yang terancam punah.
“Salah satu kerja Ranger adalah menyelamatkan satwa. Jadi kita
membuat program semacam pemberdayaan untuk warga, agar mereka ada
kesibukan, dan tidak lagi memotong kayu. Jadi habitat gajah dan satwa
lainnya tidak terganggu,” ujar Linkie lagi.
Sebelum Ranger dibentuk, masyarakat mengatakan, banyak terjadi
kegiatan illegal loging di pegunungan, khususnya Jantho. Seperti yang
diceritakan Munzir, warga Jantho Baru. Ia mengisahkan, sekitar beberapa
tahun yang lalu, aktifitas perambahan hutan yang terjadi di pegunungan
Jantho begitu parah. Akibatnya satwa liar turun hingga ke perkampungan
penduduk.
“Kami merasakannya secara langsung akibat dari illegal logging itu.
Harimau turun ke pinggiran gampong. Malah pernah naik ke kandang saya,”
kata Munzir.
Keberadaan ranger, memang dirasakan langsung oleh para penduduk. Di
Jantho, perambahan hutan mulai berkurang, bahkan bisa dikatakan tidak
lagi terjadi.
“Kita rutin melakukan kegiatan monitoring di kawasan hutan Jantho.
Illegal loging untuk saat ini sudah sedikit berkurang, bahkan sejak kita
melakukan monitoring, kita sudah jarang menemukan bekas illegal loging
yang baru. Mungkin ini bentuk kesadaran dari masyarakat,” kata Ibrahim,
Anggota Divisi Monitoring Jantho Ranger, 12 November lalu.
Pernyataan Ibrahim, ikut diperkuat Mulyadi. Dia menyebutkan, setiap
melakukan operasi, timnya, sudah sangat jarang menjumpai logger, karena
pelaku illegal logiing tersebut sudah sangat sulit bisa diketemukan di
pegunungan Jantho, khususnya.
“Untuk para tukang angkut kayu ada kita jumpa, tapi logger sudah
nggak jumpa lagi. Karena di kota Jantho ini sudah sangat berkurang
sudah.”
Mulyadi juga menyebutkan, kondisi hutan Jantho sebelum dibentuknya
Community Ranger, rusak berat. Setelah adanya ranger, hutan mulai aman
dari suara mesin chain saw. “Penyebab lain, dulu masyarakat membuka
lahan berpindah-pindah. Kita kasih sosialisasi, sehingga masyarakat
tidak lagi berpindah-pindah, dan menetap di satu lahan saja,” kata
Mulyadi.
Panyebab konflik satwa, seperti dikatakan Mulyadi, akibat habitatnya
dalam hutan yang sudah rusak.
“Makanan pun sudah habis, sehingga dia
turun ke gampoeng cari makan. Yang kita lakukan bila jumpa dengan
pemburu satwa, memberi tahu, jangan terlalu sering memburu rusa yang
merupakan makanan satwa seperti harimau di hutan. Kalau nggak, ya dia
cari di gampong, sasarannya ya punya masyarakat.”
Mahdi Ismail, Coordinator Community Ranger FFI menjelaskan,
organisasi yang dibentuk ditingkat kemukiman ini diharapkan bisa
mengkaderkan masyarakat, agar pro terhadap konservasi. “Awalnya kita
merekrut ranger dari mereka yang mendapatkan manfaat langsung dari
pembalakan liar,” kata Mahdi.
Jadi, sebagian anggota ranger, merupakan mereka yang eks kombatan,
dan mereka yang pernah terlibat langsung dengan aktivitas perambahan
hutan. “Secara tidak langsung, mereka tidak kembali kepada pekerjaannya
yang lama. Secara signifikan sudah terkurang lagi aktifitas illegal
logging,” ucap Mahdi.
Dengan membina para pembalak hutan menjadi penjaga, otomatis tingkat
kerusakan Ulu Masen bisa lebih kecil, “Jadi setelah kita rekrut, kita
bina mereka, dan mereka mulai melakukan eduaksi-edukasi yang sifatnya
kecil terhadap orang tua, kerabat, dan keluarga-keluarga mereka. Minimal
kita mengharapkannya kesana. Setidaknya pembalak hutan ini sudah
menjadi ranger, dan kita memberikan edukasi secara kontinyu,” kata
Mahdi.
Walau bekerja sebagai aktivis lingkungan yang bertugas menjaga hutan,
kerja ranger berbeda dengan polisi hutan (polhut). Ranger tak punya
kuasa untuk menindak para logger (pelaku illegal logging). “Apabila
mendapati pekerja yang menurunkan kayu, maka kita hanya bisa memberikan
nasihat saja, dan tidak menindak,” kata Mulyadi.
Timnya, seperti kata Mulyadi, juga kontinyu melakukan operasi setiap
bulan. Untuk sekali patroli, Comunnity Ranger menghabiskan waktu 5,
sampai 10 hari ditengah hutan. Mereka menempuh jarak 45 kilometer,
dengan berjalan kaki.
“Kita memberi penyadaran. Kalau polisi hutan bisa langsung
menangkap,” sebut Mulyadi. Apabila sudah diberikan pengarahan sekali,
tapi terulang, maka ranger hanya berhak melaporkan kepada pihak
berwajib, untuk menanganinya.
Waktu mendekati malam. Sayup-sayup lantunan ayat suci terdengar dari
Jalin, sekitar satu kilometer dari markas Jantho Ranger. Aktifitas mulai
sepi. Beberapa ranger terlihat memberi umpan kambing, sebuah usaha
pemberdayaan perekonomian yang dijalankan ranger, disokong FFI. Disisi
kandang kambing, sebuah tempat pembibitan tampak tegak berdiri.
Disanalah para ranger menanam bibit pohon, untuk meneyemai gunung Jantho
dari kerusakan.
“Kita ingin organisasi ini independen. Independen baik dalam bekerja
untuk konservasi, maupun dalam segi
perekonomiannya. Kita mensupport
skill konservasinya, dan juga yang kita sebut lifelihood (pemberdayaan
ekonomi),” kata Mahdi Ismail.
***
WILAYAH hutan Ulu Masen menyimpan kekayan yang beragam. Dihutan
seluas 738.856 Ha. Ini, terdapat hampir 2000 spesies burung, termasuk 20
endemik Sumatera, dan 6 endemik Aceh. Selain itu, di hutan yang
terletak di Pegunungan Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, dan
Pidie Jaya ini, juga terdapat sekitar 773 binatang amphibi dan reptil.
Sayangnya, seperti dituliskan dalam buku Selayang Pandang Hutan Aceh,
seluruh jenis binatang tersebut hidup dalam keterancaman, akibat
banyaknnya pelaku illegal logging yang terjadi.
Sebagai salah satu suksesor penjaga hutan, sampai saat ini, Comunity
Ranger sudah terbentuk di empat kabupaten, untuk melindungi semua satwa
tersebut dari kepunahan. Di Aceh Besar diberi nama Jantho Ranger, Aceh
Barat, dengan Kreung Bajikan Ranger, Purba Ranger di Aceh Jaya, dan
Blang Raweu Ranger di Pidie. Hingga kini, jumlah ranger di empat
kabupaten tersebut adalah 73 anggota, ditambah, 10 personil Training Of
Trainer (TOT).
“Keinginan kita, pada tahun depan akan kita buat persemaian. Kita
akan ajak masyarakat untuk menanam pohon yang sudah gundul di kawasan
pegunungan kita. Sehingga untuk ancaman banjir dan langsor akan
berkurang. Karena sekitar 2 juta penduduk aceh sangat bergantung pada
keberadaan hutan Ulu Masen, yang menyediakan pasokan air bersih untuk
pertanian, maupun hutannya untuk mencegah terjadinya longsor,” demikian
yang menjadi harapan Mulyadi dan ranger lainnya. [][ACEHKITA.COM]
0 komentar:
Posting Komentar