-->
Kamis, 07 Februari 2013 - 0 komentar

Panglima Ishak Daud di mata saya (Bagian V)


Siang begitu terik ketika kami tiba di Desa Lhok Jok. Begitu kami akan menjangkau desa itu, mobil diberhentikan oleh pasukan GAM bersenjata lengkap untuk digeledah.
So here we are.. pikir saya nelangsa.
Saya membawa tas kamera besar (saya memang juga bekerja untuk European Press Photo Agency (EPA) saat itu)  yang berisi satu body kamera Canon D10, dua lensa, 6 buah batere kamera, 2 buah kartu memory card camera 512 megabytes, notes, handphone (yang sama sekali tidak bisa digunakan karena tidak ada sinyal), pulpen, kain batik panjang, sikat gigi, inheler ventolin (saya asma berat), 10 butir obat alergy salbutamol, senter kecil (warna hitam pemberian sobat saya wartawan BBC).
Anggota GAM bersenjata lengkap itu membawa kami menuju ke sebuah meunasah di Desa Lhok Jok.
Pat Teungku Ishak? (mana Teungku Ishak?)” tanya Munir yang sedari tadi sibuk mengambil gambar dengan handy cam-nya.
Abusyik siat trek troh Bang, neupreh mantong (Abusyik sebentar lagi datang, tunggu saja),” kata si prajurit.
Kami duduk di dekat Meunasah yang mulai ramai oleh masyarakat. Sebuah mobil sedan berhenti tak jauh dari kami. Pengacara Ishak Alfian turun membawa istri Ishak Daud, Cut Rostina dan dua anaknya.
Tak lama kemudian Ishak Daud muncul dari kejauhan bersama dengan belasan pasukan GAM bersenjata lengkap. saya yang mengambil gambar Ishak dengan lensa panjang saya cukup kaget melihat kondisi Ishak. Diakui atau tidak Panglima itu memang agak berubah. Kini beliau lebih kurus, lebih hitam dan kelihatan lelah.
Perbedaan lain, kini Teungku Ishak menenteng AK-47 untuk dirinya sendiri. Ada peluru cadangan di kantong celananya. Padahal sebelumnya saya melihat beliau hanya memakai pistol FN.  Ransel hitam di punggungnya kelihatannya sangat berat.
Namun senyumnya sama pada saat saya bertemu dengan beliau setahun yang lalu. Dan terus terang saja, kondisi itu malah membuat beliau makin tambah keren.
Ishak tidak menghampiri kami. Dia langsung menghampiri istri dan anaknya. Saya melihat Ishak memeluk anak laki-lakinya Ambiya dengan erat. Ada kerinduan yang bisa saya lihat dari moment pertemuan Ishak dan keluarganya.
Setelah itu barulah beliau menyalami para wartawan. Senyumlah langsung merekah begitu melihat saya. Seperti biasa dia menyalami saya buru-buru ketimbang teman wartawan laki-laki lainnya.
Nyan ban, menyo hana lagee nyan hana mungken tanyoe meurumpok. Betoi ken Nani (Nah kan, kalau tidak seperti ini mana mungkin kita bertemu. Iya kan Nani)?” kata Teungku Ishak.
Saya tersenyum kecut.
Kami ngobrol-ngobrol soal prosesi pembebasan Fery. Imam dan teman-teman lain mendominasi pembicaraan, sementara saya sibuk mengambil foto prajurit GAM yang mondar mandir.
Ishak mengatakan kalau prosesi penyerahan Ferry baru bisa dilakukan besok siang. Masalahnya bukan hanya Fery yang akan diserahkan ke ICRC tetapi juga ratusan masyarakat yang selama ini berlindung pada GAM karena diancam TNI. Masalah lain adalah karena jumlahnya ratusan, mereka berada di tempat-tempat berbeda-beda. Butuh waktu untuk membawa mereka semua ke Lhok Jok.
”Perlu waktu dua tiga hari lah,” kata Ishak santai.
Saya mengerutkan kening, dua tiga hari? Loh bukannya kami hanya menginap semalam?

Ishak sepertinya mengetahui pikiran teman-teman wartawan. Dia tertawa.
”Orang-orang itu sama seperti Fery, mereka butuh perlindungan ICRC jadi harus diperlakukan sama,”  katanya. ”Dan karena kalian semua sudah disini, kalian harus menunggu proses sampai selesai,”
Ishak kemudian menambahkan kalau dia akan melakukan kenduri (acara makan-makan) di Lhok Jok dalam prosesi penyerahan Fery.  Semua sudah siap, termasuk konsumsinya.
Saya mencoba untuk tidak mengeleng-gelengkan kepala. Ampyunnnn.. Dalam kondisi begini masih sempat-sempatnya acara kenduri. Jangan-jangan Teungku Ishak lupa kalau diluar sana TNI sedang sebel-sebelnya menunggu prosesi ini agar cepat selesai….
Imam kelihatan cemas. Saya tahu alasannya. TNI hanya memberikan waktu tidak lama untuk prosesi pembebasan Fery. Nah kalau sampai dua tiga hari bisa bahaya..
Rekan-rekan wartawan akan menginap di meunasah bersama prajurit GAM lain. Ishak menoleh ke saya.
Nani dem bak rumoh masyarakat beh. Mangat lebeh mangat eh (Nani nginep di rumah masyarakat ya. Supaya tidurnya lebih enak),” katanya.
Saya langsung menolak. Kalau mau tidur enak jelas dirumah sendiri di Sigli sana bukannya di sini. Dalam kondisi seperti ini lagi.
Lon bah disinoe teungku. Meusapat ngon yang laen (saya biar disini Teungku, barengan sama yang lain),” kata saya.
Betoi? disinoe le nyamok (beneran? Disini banyak nyamuk),” dia seolah tak percaya.
Betoi, tapi jeut lon lakee bantai saboh (Benar, tapi boleh minta bantal satu)? Kata saya cengengesan.
Setengah jam kemudian saya mendapatkan bantal yang lumayan empuk. Sarung bantalnya merah jambu dan baunya sangat bersih. Pasti dari masyarakat di sekitar. Bukan hanya saya, teman-teman lain juga mendapatkan bantal.
Sementara Teungku Ishak sudah menghilang. Kata anak buahnya dia menginap di rumah salah satu kerabatnya di Lhok Jok bersama anak dan istrinya.
Sore menjelang. Kami bersama beberapa anggota GAM menuju tempat untuk cuci muka dan mandi. Saya tidak mandi, hanya cuci muka saja. Beberapa dari prajurit GAM malah sudah bercelana pendek dan mandi di sumur yang bersih itu. Senjata mereka diletakkan tak jauh dari pakaian mereka. Sepertinya mereka balas dendam dengan banyak memakai air. Saya berdiri agak jauh dari mereka. Risih saya.
”Jarang-jarang kami dapat air Kak, makanya kalau ada air ya kami mandi puas-puas,” kata salah satu prajurit GAM yang menemani saya menunggu rekan-rekannya mandi.
Saya mangut-mangut. Dari jauh saya melihat beberapa dari prajurit sepertinya keramas karena busa shampoonya banyak sekali.
Selesai mandi dan sudah dalam kondisi wangi (bau sabun, shampoo dan colonge entah apa mereknya).
Sore makin gelap. Kondisi perkampungan kini gelap gulita. Tidak ada listrik di kampung itu karena sudah lama pihak GAM memutus aliran listrik. PLN tidak berani masuk ke kampung itu karena terkenal sebagai basis GAM. Kampung itu sering didatangi GAM karena lokasinya dekat dengan perbukitan.
Meunasah itu diterangi oleh gengset yang suaranya membuat kepala saya sakit. J
Para prajurit GAM itu melakukan shalat magrib berjamaah dengan khusuk. Setelah itu hidangan makan malam terhidang menunggu untuk disantap.Saya lupa menu malam itu. Tetapi kami makan dengan perasaan senang.
Ishak datang mengunjungi kami seusai shalat Isya. Dia membawa serta Ambiya anaknya. Kami ngobrol macam-macam, mulai dari darurat militer, perdamaian yang gagal, kronologis penyanderaan Fery versi Ishak Daud, dan yang sudah saya duga soal wartawan yang dianggap memihak ke tentara.
”Seharusnya wartawan itu mencari berita turun langsung ke masyarakat, bukan malah dari tentara. Itu kan namanya tidak objektif,” katanya serius.
Kami yang hadir mangut-mangut takzim.
”Kalau hanya dari militer bagaimana kalian tahu kebenaran yang terjadi. Masyarakat sudah banyak yang jadi korban, masa kalian pura-pura tidak tahu,” balasnya lagi.
Menjelang pukul 9 malam, Ishak pamit dan meminta kami semua istirahat. Salah satu anggota GAM memberikan lotion anti nyamuk kepada kami.
”Nyamuk disini besar-besar, ini bisa membantu,” katanya sambil tersenyum ramah.
Saya merebahkan diri di lantai pojokan meunasah yang dialasi tikar. Menutup tubuh saya dengan kain batik panjang. Cukup lama juga saya tidak bisa tidur. Bahkan saat gengset itu akhirnya dimatikan dan sekeliling menjadi begitu gelap. Yang terlihat kini hanyalah beberapa bayangan prajurit GAM berjaga di bawah sinar bulan… (bersambung)
Sumber : Naniafrida.wordpress.com

0 komentar:

Posting Komentar