OLEH : ACEHKITA.COM
DARI kejauhan, sayup-sayup terdengar lantunan ayat suci Al-Quran
melalui pengeras suara Masjid Babuttaqwa. Komandan peleton memberikan
aba-aba, untuk bersiap. Ayi dan para punkers lain mengambil posisi
siaga, sebelum akhirnya melangkahkan kaki, meninggalkan lapangan di atas
bukit.
Siang itu, punkers cowok beragama Islam akan melaksanakan ibadah
salat Jumat perdana di Masjid Babuttaqwa, yang terletak di luar kompleks
SPN Seulawah. Dari barak, masjid hanya terpaut 400 meter. Tetapi, para
pembina tak membolehkan mereka jalan kaki menuju masjid.
Mengenakan baju koko dan berkain sarung, mereka diangkut menggunakan
dua truk polisi. Di masjid, cukup mudah mengenali mereka di antara
jamaah lain: kepala plontos, berbaju koko, dan bersarung. Sebagian ada
yang bertato di tangan, kaki atau leher. Baju koko mereka yang masih
baru berwarna putih, coklat tua, hitam, dan kuning. Sarung yang
dikenakan bermotif garis-garis.
Begitu memasuki masjid, sebelum khatib berada di atas mimbar,
sejumlah punkers melaksanakan salat sunat dua rakaat. Tapi banyak di
antara mereka yang langsung duduk, membentuk saf sesama punkers.
Beberapa dari mereka terlihat saling berbisik sesama teman di
sampingnya.
Kala khatib di mimbar, sejumlah punkers mendengarkan isi khutbah
–yang di akhir khutbah sempat menyorot kehidupan punk yang dinilainya
“sampah” masyarakat– dengan tekun sambil tertunduk kepala. Ada pula yang
tertidur.
Usai salat Jumat, beberapa punkers terlihat melaksanakan salat sunat
dua rakaat. Ada juga yang memanjatkan doa. Di jalan luar masjid, dua
truk telah siaga, untuk membawa kembali ke ‘pusat pembinaan’.
Sejumlah anak punk terlihat akrab berbicara dengan polisi yang
mendominasi jamaah salat Jumat di masjid itu. Kalangan jurnalis
mewawancarai mereka. Sedangkan, fotografer sibuk memotret anak-anak punk
yang telah “berubah” penampilan.
Yudi terbilang ramah dan santun. Mengenakan koko putih, dia melangkah
keluar masjid. Dia sempat menyalami kawannya. “Di sini kami tidak
dipukul,” katanya.
Ketika tiba ke SPN Seulawah, Yudi sempat meronta saat rambut
mohawknya akan dicukur. “Saya nangis waktu kemarin kepala digunduli,”
jelasnya.
Yudi berharap bisa segera “bebas” dan bergaul dengan teman-teman lain
di Takengon atau Medan. Ia menolak jika disebut punkers sebagai para
pembuat anarkis. “Kami tidak ganggu orang lain,” kata dia.
Bagi tamatan SMU di Medan ini, punk adalah jalan hidup. “Saya
mencintai punk,” ujar Yudi, yang punya keahlian menyablon baju. Dari
kerja nyablon, dia bisa menghidupi diri sendiri.
Ketika berada di atas truk, Andre mengaku capek mengikuti “pembinaan”
di SPN Seulawah. Remaja asal Kabupaten Binjai, Sumatera Utara, yang
sejak kecil telah hidup di jalanan secara tegas mengakui, dia akan
kembali menjadi punk setelah keluar dari “pembinaan”.
“Saya akan tetap menjadi punk setelah selesai di sini, karena sudah
menjadi pilihan hidup saya. Mereka tak mungkin mengubah jalan pilihan
hidup saya,” ujar remaja berusia 18 tahun ini.
Hal yang sama juga diungkapkan Intan Natalia, 20 tahun. Perempuan
Medan ini menjadi seorang punker sejak 2009 lalu, ketika menempuh
pendidikan di sebuah perguruan tinggi di Jakarta. Perempuan yang sempat
kuliah selama tiga semester masuk punk karena merasa kebersamaan yang
tinggi di antara komunitas itu.
“Saya merasa cocok dengan punk. Di sini, ada kebersamaan. Kalau ada,
sama-sama ada. Tapi kalau tidak ada, kami dibantu oleh punker lain,”
ujarnya.
Intan menolak jika punkers diperlakukan seperti penjahat. “Punk itu
bukan kriminal. Jadi, kenapa kami ditangkap? Apa salah kami? Jangan
melihat kami dari sisi negatif,” katanya.
Bagi Intan, tidak adil jika menilai punkers sebagai pembuat onar yang
hidup urakan di jalanan. “Ada juga sisi positif punk. Kami punya
keahlian masing-masing, seperti membuat tato, piercing, dan nyablon,”
tuturnya.
Ia mengaku sangat sedih saat rambutnya dipotong. Dia sempat menangis
kala rambut kesayangannya dipangkas. “Tapi mau gimana lagi. Saya mau
protes juga tak ada gunanya, ya saya ikhlas saja rambut kesayangan saya
dipotong,” katanya.
Intan mengaku sengaja datang ke Banda Aceh untuk ikut berpartisipasi
pada konser musik penggalangan dana buat anak yatim panti asuhan.
“Saat acara sedang berlangsung, tiba-tiba saya ditangkap. Saya tidak
tahu apa alasannya saya ditangkap sebab saya tak melanggar hukum,”
katanya sambil menundukkan kepala.
Selama ikut “pembinaan” di SPN Seulawah, dia berusaha menyesuaikan
diri dengan keadaan. Di sini, dia diajari cara berdisiplin, cara
beradaptasi dengan lingkungan, agama.
“Saya sudah mulai disiplin. Ada perubahan kecil setelah saya di sini.
Yang tadinya urak-urakan, kini mulai disiplin waktu. Butuh proses untuk
berubah, step by step,” lanjutnya.
Aldi, 17 tahun, yang hanya tamat SMP juga mengatakan setelah
“pembinaan” itu, dia akan kembali menjadi punk. “Setelah dari sini akan
tetap jadi punk karena saya suka pola kehidupan punk. Saya bukan
kriminal, mencuri bukan punk. Kalau kerjanya mencuri, buat apa saya
masuk punk,” katanya, seraya menambahkan untuk biaya makan sehari-hari,
dia bekerja menyamblon baju dan membuat stiker.
Muhammad Alhamda, pengacara dari LBH Banda Aceh yang mengunjungi anak
punk di SPN Seulawah, hari Jumat itu, mengatakan bahwa pendekatan yang
dilakukan pemerintah keliru karena tidak mungkin mengubah pilihan hidup
seseorang.
“Saya yakin mereka akan kembali menjadi punk setelah keluar dari
sini. Saya tadi sempat berbincang dengan beberapa orang dari mereka yang
mengaku akan kembali menjadi punk,” katanya.
Seharusnya, jelas Alhamda, pemerintah mengajak anak punk berdialog.
Bila perlu mereka diajak ikut berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
kemanusiaan dan sosial yang dilaksanakan pemerintah. Dengan begitu,
mereka merasa tidak “dipinggirkan” seperti yang terkesan selama ini.
Evi dari Koalisi NGO HAM juga tak yakin dengan pola “pembinaan”
seperti itu akan bisa menghilangkan komunitas punk di Aceh. Buktinya,
setelah penangkapan pada Februari lalu, jumlah anak punk di Banda Aceh
bukan berkurang, melainkan semakin bertambah.
“Punk itu adalah cara mereka mengekspresikan kebebasan dan perbedaan.
Itu normal dan ada di berbagai belahan dunia lain. Seharusnya, mereka
diajak dialog untuk mengetahui kenapa mereka berperilaku begitu. Tapi,
mereka seperti itu kan hak mengekpresikan kebebasan. Tidak ada yang
salah dari anak punk,” katanya.
Namun, Wakil Walikota Banda Aceh tetap bersikukuh untuk “memberantas”
anak punk dari Banda Aceh. Kebijakan pemerintah itu mendapat dukungan
dari Kapolres Kota Banda Aceh, Kombes Pol Armensyah Thay.
“Niat polisi baik, ingin membina mereka menjadi lebih baik. Apalagi
di Aceh memberlakukan syariat Islam. Perilaku-perilaku menyimpang
seperti anak punk, tidak boleh hidup di Aceh,” kata Armensyah.
Menurut dia, polisi hanya membantu Pemerintah Kota Banda Aceh karena
aparat Satpol PP dan WH belum mampu mengatasi anak punk. “Kita hanya
dukung program pemerintah. Kita ingin amankan Banda Aceh dari kegiatan
yang tidak sesuai syariat Islam,” katanya.
Setelah “pembinaan” di SPN Seulawah, jelas Illiza, punkers dari luar
Aceh akan dipulangkan ke daerahnya masing-masing. Sedangkan, anak punk
Aceh terus dipantau perkembangannya.
“Setelah pembinaan, kita panggil kepala daerah asal anak punk dan
orangtuanya. Bila tidak ada orangtua lagi, dipanggil kepala desa
sehingga nanti mereka bertanggungjawab memantau anak punk sampai sadar,”
katanya.
Bagaimanapun, ideologi punk telah betul-betul merasuki hidup para
remaja itu. Sehingga tidak salah jika Andre, Aris Munandar, Intan, Yudi
dan puluhan punkers yang sedang “dibina” di SPN Seulawah akan kembali ke
komunitas mereka setelah pendidikan 10 hari selesai.
“Punk’s not dead…!!! (Punk tak pernah mati –red.),” teriak Andre dari
atas truk yang membawanya kembali ke barak “pembinaan”. [tamat][ACEHKITA.COM]
0 komentar:
Posting Komentar