OLEH: ACEHKITA.COM
KARPET merah bermotif Turki masih terhampar di ruang tamu Mess
Wali Nanggroe, Jalan Danubroto, Banda Aceh. Botol-botol air mineral
berserak. Kenduri baru selesai dilaksanakan, mengundang anak-anak yatim.
Doa didaraskan agar tuan rumah, Zaini Abdullah, bisa “menjalankan
amanah”.
Berpasangan dengan Muzakkir Manaf, Zaini bakal memikul “amanah” baru.
Hitung cepat oleh sejumlah lembaga survei memperkirakan mantan Menteri
Luar Negeri Gerakan Aceh Merdeka itu akan menjadi Gubernur Aceh untuk
lima tahun ke depan. Pasangan ini besar kemungkinan memenangi pemilihan
Senin pekan lalu dalam satu putaran.
Pada usia 72 tahun, Zaini berusaha tampil kasual ketika menemui
Tempo, Kamis pekan lalu. Ia mengenakan kemeja dan celana kain. Tapi,
pada saat pemotretan, ia memakai jas. Di kakinya, ia tetap mengenakan
sepatu Crocs. “Kami akan memangkas birokrasi, dan menekan korupsi,” ia
berjanji.
Toh, usia tak bisa disembunyikan. Bicaranya sering terdengar
bergetar. Beberapa kali, Muzakir Abdul Hamid, ajudan yang menemani
wawancara, menegaskan maksud ucapan bosnya. Ia juga sempat berpindah
kursi, dari sofa yang disebutnya “terlalu empuk” dan ia tak bisa duduk
di situ.
Sempat bergerilya di gunung, lalu lari ke Swedia, Zaini bakal
memimpin birokrasi. Ia didampingi Muzakkir, yang juga bekas gerilyawan
sebagai Panglima Militer Gerakan Aceh Merdeka. Pencalonan keduanya tak
lancar sejak awal, terutama karena perselisihan mereka dengan Irwandi
Yusuf, juga bekas anggota GAM, yang memimpin Aceh pada 2006-2011.
Perundingan, lobi-lobi, juga pertemuan dengan tokoh-tokoh Jakarta harus
dilakukan, termasuk pertemuan di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, menjelang
akhir tahun lalu.
l l l
KETEGANGAN meruap di Restoran Sumire, lantai empat Hotel Grand Hyatt.
Pentolan Partai Aceh, seperti Malik Mahmud, Zaini Abdullah, dan
Muzakkir Manaf, berhadapan dengan tim Kementerian Dalam Negeri yang
dipimpin Djohermansyah Djohan, Direktur Jenderal Otonomi Daerah.
Pertemuan pada 21 November 2011 malam itu membahas kesepakatan soal
pemilihan Gubernur Aceh. Ini pertemuan kesekian kali, dan sesungguhnya
sudah ada tiga butir kesepakatan yang diteken Djohan dan Muzakkir di
Restoran Shima, Hotel Aryaduta, sebulan sebelumnya.
Kesepakatan mentah ketika Muzakkir tiba-tiba menelepon Djohan. Ia
balik menolak butir ketiga kesepakatan yang membuka pintu bagi calon
independen pada pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. “Padahal
kami sebelumnya telah senang karena pemilihan bisa segera digelar,” kata
Djohan kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Kepada Djohan, Muzakkir beralasan, Undang-Undang Pemerintahan Aceh
hanya sekali membolehkan calon independen, yakni pada 2006, ketika
Partai Aceh belum terbentuk. Irwandi Yusuf, yang menggunakan jalur ini,
memenangi pemilihan. Namun Mahkamah Konstitusi kemudian merevisi Pasal
256 sehingga calon gubernur yang tak diusung partai boleh mendaftar.
Partai Aceh menuding pencabutan pasal itu sebagai “pengkhianatan
Jakarta” terhadap Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan kesepakatan damai
Helsinki 2005. Mereka lalu mengungkit “pengingkaran Jakarta” terhadap
Ikrar Lamteh, yang memantik perlawanan Daud Beureueh, pada 1958.
Djohan berusaha melunakkan sikap petinggi Partai Aceh. Ia menjelaskan
bahwa pencabutan itu keputusan lembaga yudikatif yang tak bisa
dicampuri kekuasaan eksekutif. Usahanya gagal. Pertemuan di Hotel Hyatt
buntu karena kedua pihak sama-sama bertahan. “Akhirnya, pemerintah
menyerahkannya ke Komisi Independen Pemilihan Aceh,” kata Djohan.
Kebuntuan itu rawan karena Komisi sudah membuka pendaftaran calon
independen. Jika ini tetap dilanjutkan, Partai Aceh menolak ikut
pemilihan. Akibatnya, situasi keamanan dan politik di Aceh bisa goyah
lagi. Partai lokal wadah bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka ini
menguasai hampir separuh kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. “Order
Presiden cuma satu: bikin Aceh aman,” ujar Djohan.
Tak mau situasi jadi tak menentu, Djohan mengajak Malik, Zaini, dan
Muzakkir berunding lagi. Untuk meyakinkan mereka, Djohan meminta bantuan
mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Di kalangan tokoh Partai Aceh, Jusuf
Kalla cukup dihormati.
Kalla adalah perintis dan tokoh di balik kesepakatan damai Helsinki.
Hingga kini, tokoh-tokoh Aceh terus menjalin kontak dengannya. “Saya
menelepon Malik Abdullah agar mau berunding lagi,” kata Kalla kepada
Tempo, Rabu pekan lalu. Sebagai Wali Nanggroe, Malik disegani di
kalangan mantan gerilyawan GAM, terutama setelah Hasan di Tiro meninggal
pada 2010.
Malik melunak oleh bujukan Kalla. Mereka sepakat bertemu lagi dengan
tim Djohan di Hotel Sahid pada 12 Desember 2011. Waktu itu, jadwal
pemilihan kepala daerah sudah diundurkan satu bulan menjadi 24 Desember.
Jusuf Kalla, dengan bantuan orang-orang dekatnya, termasuk mantan
Menteri Hukum Hamid Awaludin, juga mencoba menjelaskan asal-usul aturan
calon independen kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam pertemuan berikutnya dengan tim Djohermansyah, tim Malik
bersedia berkompromi. Mereka menerima dua pasal penundaan jadwal
pemilihan sampai urusan pemilihan ini disahkan dalam qanun. Mereka juga
setuju ada penunjukan penjabat Gubernur Aceh setelah masa jabatan
Irwandi Yusuf berakhir pada 8 Februari 2012.
Tanpa diduga, mereka juga menerima pasal tiga soal calon independen.
Tapi mereka meminta catatan tambahan, yang menjamin tak ada lagi
perubahan isi Undang-Undang Pemerintah Aceh tanpa konsultasi dengan DPR
Aceh. Muzakkir dan Djohan meneken nota kesepakatan butir keempat ditulis
tangan.
Kengototan Partai Aceh soal calon independen ini merupakan ekor
perseteruan mereka dengan Irwandi Yusuf sejak awal pemerintahannya pada
2006. “Selama lima tahun memimpin Aceh, dia tak pernah sowan kepada
kami, menjalankan program sesuka hati. Dia durhaka kepada kami,” kata
Zaini Abdullah.
Dengan pemilihan diundurkan hingga masa jabatannya berakhir, Irwandi
tak lagi bisa memakai fasilitas pejabat untuk berkampanye. Ini merupakan
kemenangan Zaini dan Muzakkir atas Irwandi. Kemenangan sesungguhnya
diperoleh Senin pekan lalu, pada hari pemilihan. Berdasarkan hitung
cepat perolehan suara, Zaini-Muzakkir diperkirakan menang dalam satu
putaran. Mereka meraih 55 persen suara dari tiga juta lebih pemilih.
l l l
PADA masa kampanye, tiga pensiunan jenderal mendukung Partai Aceh:
bekas Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda Mayor Jenderal
Purnawirawan Soenarko dan Mayor Jenderal Purnawirawan Djali Yusuf serta
bekas Kepala Staf Kodam Iskandar Muda Brigadir Jenderal Purnawirawan M.
Yahya. Ketiganya bahkan menjadi juru kampanye.
Menurut Zaini, tiga jenderal itu datang menyatakan bergabung dengan
kubunya tahun lalu. Sejak deklarasi pencalonan Zaini-Muzakkir hingga
kampanye selama Maret-April kemarin, ketiganya selalu duduk di barisan
terdepan. “Saya kenal secara pribadi dengan mereka sejak zaman GAM,”
kata Soenarko.
Soenarko mengklaim membujuk Muzakkir mendaftar dalam pemilihan
gubernur setelah Partai Aceh menolak ikut pemilihan. Padahal, saat masih
aktif di TNI, Soenarko termasuk keras menentang GAM.
“Sekarang saya
mengerti mereka memberontak karena ingin Aceh maju,” ujarnya.
Irwandi Yusuf, lawan Zaini, menyebutkan Soenarko datang membawa
kepentingan Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra.
Soenarko adalah bekas bawahan Prabowo di Komando Pasukan Khusus. “Dia
membawa misi Prabowo untuk pemilihan presiden 2014 dan bisnisnya di
Aceh,” kata Irwandi.
Menurut Irwandi, Prabowo memiliki konsesi hutan tanaman industri yang
mengelilingi Danau Lot Tawar sepanjang Kabupaten Bener Meriah hingga
Aceh Tengah seluas 97.300 hektare. PT Tusam Hutani Lestari beroperasi
sejak 1997, memasok kayu untuk PT Kiani Kertas Pulp & Paper. “Dia
minta perpanjangan izin, tapi saya tolak,” katanya.
Soenarko tak menyangkal kedekatannya dengan Prabowo. Orang-orang
dekatnya menyatakan Soenarko pernah diajak Prabowo bertemu dengan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas membicarakan pemilihan di
Aceh ini. “Prabowo juga menyumbang (buat pasangan Zaini-Muzakkir),” kata
Sofyan Dawood, bekas juru bicara GAM, yang menjadi anggota tim sukses
Irwandi.
Djali Yusuf, bekas anggota staf khusus presiden, yang dimintai
konfirmasi soal misi Soenarko, tak menyangkal atau membenarkan. “Pak
Soenarko bukan anggota Gerindra, tapi kalau di 2014 dia mau masuk
partai, itu hak dia,” katanya.
Prabowo belum bisa dimintai komentar. Sejumlah orang dekatnya menolak
pernyataannya dikutip, dengan alasan “bukan merupakan bagian
pekerjaan”-nya.
Kedua kubu juga berusaha menggandeng pengusaha Tomy Winata. Tahun
lalu, dua kali Irwandi menemui petinggi Grup Artha Graha itu untuk
meminta bantuan dana kampanye. Keduanya akrab setelah Irwandi sebagai
gubernur menuding Tomy membeli lima harimau Sumatera dari Aceh untuk
hutan di Lampung pada 2008.
Tomy, menurut Irwandi, berusaha mengontaknya setelah itu. Ia menolak
dan meminta Tomy mengembalikan harimau ke Aceh. Tomy menolaknya. “Saya
lawan,” kata Irwandi, lalu melanjutkan: “Dia (dituduh sebagai) mantan
mafia, tapi saya mantan pemberontak. Derajatnya lebih tinggi,
ha-ha-ha….”
Saat terserang stroke dan dirawat di Singapura, Irwandi mengatakan
Tomy memberinya biaya pengobatan Rp 70 juta dan menyediakan apartemen.
Sejak itu, mereka berteman. Jika ke Jakarta, Irwandi menginap di Hotel
Borobudur milik perusahaan Tomy.
Irwandi juga tak sungkan memakai pesawat Cassa milik Tomy untuk
memantau kondisi Aceh. Ia sendiri kadang yang mengemudikannya karena
pernah belajar menyetir pesawat ketika kuliah di Amerika Serikat.
“Untuk
pemilu ini, dua kali saya menagih dia di ruangannya di Artha Graha,”
kata Irwandi.
Tomy, kata Irwandi, hanya mengiyakan, tapi tak memenuhinya. Sampai
pemilihan berlangsung, ia menyatakan, tak sepeser pun Tomy mengeluarkan
uang. Irwandi mengaku habis Rp 14 miliar untuk kampanye dan persiapan
pemilu. Dari sakunya, ia mengeluarkan Rp 6 miliar. Sisanya pinjam
sana-sini. “Sekarang pusing juga bagaimana membayarnya,” ujarnya.
Tak mengucurkan duit untuknya, Irwandi mendengar, Tomy malah bertemu
dengan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Irwandi mengatakan tak paham
terhadap alasan Tomy mendukung Zaini, kecuali dugaan taipan pemilik
kawasan bisnis Sudirman, Jakarta, ini berminat bisnis padi di Tangse,
Aceh Tengah.
Muzakkir mengakui bertemu membahas dana kampanye dengan Tomy Winata
pada November tahun lalu.
Seusai pertemuan, kata dia, Tomy tak langsung
mengeluarkan uang. “Baru pada saat Lebaran Haji, ajudannya memberi saya
Rp 20 juta,” ujarnya. “Mungkin untuk ongkos atau apa saya tak tahu.”
Hingga tulisan ini selesai, Tomy Winata tak merespons permintaan
konfirmasi yang dikirimkan ke telepon selulernya.
Muzakkir mengatakan tak menerima sepeser pun dari Prabowo. “Tapi tak
tahu kalau dia memberikannya ke yang lain,” katanya. Ia menyatakan hanya
pernah sekali bertemu dengan Prabowo Subianto di Hotel Santika Bogor,
Januari lalu. “Kami membicarakan pertanian di Aceh,” ujarnya.
Soal sokongan dari banyak tokoh Jakarta, Zaini mengatakan, “Dukungan
mereka tanpa konsensus. Mereka tak bertanya kami akan memberikan apa.”
[TEMPO/Bagja Hidayat, Kartika Candra, Angga Wijaya (Jakarta), Mustafa Silalahi, Adi Warsidi (Aceh)]
0 komentar:
Posting Komentar